Akhir-akhir ini burung terbang ke selatan. Suaranya bungah, bercicit riuh membuat berisik. Ekspresinya bahagia, seperti menjemput takdir yang tak lama lagi sampai. Apa yang mereka cari di Selatan? Akhir-akhir ini si kucing sering keluar malam. Barangkali dia sadar kodratnya sebagai hewan nocturnal. Langkahnya mengendap-endap, namun suaranya mendengung menyebar ancaman. Ladang pertempuran harga diri atas penerimaan cinta si betina, ditebus oleh luka-luka dan tidur siang berkepanjangan. Apa yang ia cari di tengah pekatnya malam? Akhir-akhir ini detak jam terasa kosong. Seperti detikan bola salju dengan kecepatan konstan, namun mampu melindas apapun yang dilaluinya. Pada yang kosong itu, ia selalu bertanya-tanya: Kemanakah waktu akan bermuara? Sebab, gerigi bosan telah menancapkan taringnya pada budak-budak tak berdaya. Sebab, terlalu banyak yang tak bisa ia cerna. Sebab, bagi sang budak: kebebasan ternyata tak seindah belenggu tuannya.
Absurditus
Bukankah kita makhluk fantasi yang, sialnya, terjebak di dunia nyata? Karenanya aku mencipta dunia tempatku memenjarakan sajak, cerita, dan monolog gelisah yang tak pernah bisa kusampaikan padamu. Selamat datang.
Senin, Maret 03, 2014
Rindu Muara
Rabu, Februari 19, 2014
Persimpangan
Cinta boleh datang
begitu saja. Tapi bagaimana ia bisa menghilang begitu saja?
Saya sudah
merasakan kekaburan perasaan itu sejak berbulan-bulan lalu. Saat kamu muncul di
hadapan saya dengan warna yang berbeda. Tak ada lagi senyum berharga itu. Kamu
menjelma menjadi sosok asing. Kamu ada di hadapan saya, saya bisa merasakan
nafasmu, denyut nadimu, kehidupan dalam kedua matamu, namun saya tak bisa
merasakan kehadiranmu. Kita seperti berjarak ribuan tahun cahaya, padahal kamu duduk
di sebelahku. Kita menonton siaran televisi, menyinyiri tontonan tak mutu itu,
namun saya merasa kamu begitu jauh. Saya tahu kamu tidak ada disana, di samping
saya. Sejak kapan hal itu terjadi?
Ada
apa,
Saya bertanya.
Kamu menoleh menatap
saya dengan alis bertaut, ada apa.
Kamu mengulang pertanyaan saya. Apanya
yang ada apa?
Barangkali kamu
belum menyadarinya, tapi saya sudah. Betapa mengerikannya perasaan saya ini,
yang mempu menyadari keganjilan ini, sementara kamu sendiri belum menyadarinya.
Apa saya ini keturunan cenayang? Tapi mungkin saja saya hanya benar-benar
memahami kamu. Saya tahu saya tidak bisa mengerti isi pikiran selain milik saya
sendiri. Namun tentu kita setuju bila kebersamaan dalam waktu yang lama dapat
membuat saya menghafal kebiasaan kamu, memahami semua gestur dan sentuhanmu,
dan cukup peka untuk menangkap bahwa ada yang tidak biasa. Tahukan kamu, bahwa
mampu memahami orang adalah sesuatu yang mengerikan? Karena kita bisa
menerjemahkan kode dari berbagai cara. Namun masalahnya, ada kalanya saya tidak
ingin mengetahui kode itu, yang saya tahu akan menghancurkan saya.
Saya
mau tidur, saya pilih menghindar, mematikan tivi dan
masuk ke kamar. Lalu saya dengar suara pintu depan menutup, kamu pulang.
Rasa sepi mulai
menyergap saya.
Pada pertemuan
kita selanjutnya, saya memutuskan untuk bertanya padamu. Saya pikir, segala
sesuatu memang harus dibicarakan, supaya segera selesai. Saya yakin, dengan
segala keterbukaan kita, semuanya akan beres. Semuanya akan baik-baik saja.
Apa
kamu mencintai orang lain, Saya bertanya. Apa kamu berselingkuh di belakang saya?
Kamu menatap
saya dengan kedua alis bertaut. Barangkali heran dengan pertanyaan saya yang
tidak biasa. Apa maksudmu, begitu
kamu bertanya. Tentu saja tidak.
Saya menelan
ludah. Barangkali saya terlalu keras menggigit bibir, menahan perasaan saya
sendiri, sampai lidah saya berdarah. Betapa saya menghancurkan hati saya ketika
menanyakan ini kepadamu. Saya merasa seperti seseorang yang kalah, yang
menunggu kepastian hukum.
Ludah saya terasa asin.
Apa
kamu…masih mencintai saya? Saya bertanya lagi,
mengabaikan nyeri di hati.
Kamu bilang, tentu saja, kenapa bertanya seperti itu?
Namun sadarkah
kamu ketika kamu menjawab, kamu menatap telinga kiri saya, bukan mata saya.
Apa
kamu masih cinta sama saya? saya mengulang
pertanyaan saya.
Kali ini kamu
tidak menjawab. Namun saya tahu itulah jawabanmu.
Ada perasaan tak
menentu dalam diri saya. Sudah lamakah rasa itu hilang dari hatimu? Sudah
lamakah saya meninggalkan hatimu? Saya tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apa
yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu bosan? Apakah saya yang berubah dan kamu
tidak menyukainya? Apa yang membuat kamu tidak lagi mencintai saya? Sudah
lamakah saya menjadi badut dalam kehidupanmu, merasa menjadi orang yang kamu
cintai, namun tidak lebih dari orang yang tanpa arti dalam hatimu?
Saya
sangat mencintaimu, kata saya perlahan. Saya ingin
menangis, namun mati-matian saya tahan. Sejak
kapan?
Kamu masih tidak
menjawab. Saya tahu kamu pria baik. Mungkin kamu akan terus berpura-pura
mencintai saya, jika saya tidak pernah menanyakannya. Saya tahu, kamu pilih
mati daripada menyakiti saya. Namun kamu tidak paham, bahwa yang lebih
mematikan adalah pemahaman bahwa kamu hanya bersama saya karena kamu tidak mau
menyakiti saya. Karena dengan begitu, sayalah yang menyakiti kamu. Dan sayalah
yang menyakiti diri saya sendiri dengan terus-terusan menjadi badut kehidupan.
Kenapa?
Apa salah saya
yang membuat kamu kehilangan rasa cinta itu? Saya merasa berdosa. Saya merasa
ada yang salah dalam diri saya yang membuat saya tidak diinginkan. Saya merasa
begitu tidak berharga, tidak berarti selain sebagai orang yang harus dijaga
perasaannya. Sama seperti orang-orang lain.
Bagaimana
supaya kamu mencintai saya lagi?
Saya tahu bahwa
tidak ada yang abadi di dunia ini. Saya juga tahu bahwa apapun bisa berubah
dalam hitungan detik. Namun saya sungguh tak mengira bahwa perasaan cinta yang
telah terpahat sekian lama bisa hilang begitu saja. Saya pikir cinta kami
selamanya. Saya pikir mencintai orang lain adalah mustahil.
Saya
tidak punya orang lain, begitu katamu.
Kamu mungkin
tidak mencintai orang lain. Namun kamu juga tidak lagi mencintai saya. Tahukah
kamu betapa hancurnya saya? Saya bisa saja menyelamatkan diri saya sendiri
dengan memaksamu tetap di sisi saya, atas nama semua yang telah kita lewati dan
saya rasakan. Saya bisa saja memohon, meyakinkanmu bahwa semuanya akan segera
membaik. Segalanya akan segera kembali seperti semula. Tapi saya sendiri tak
yakin. Saya tak yakin cinta itu akan kembali. Saya tak yakin apa yang telah
memudar akan kembali. Saya tak yakin apapun. Termasuk perasaan saya sendiri.
Saya begitu ingin mempertahankan semuanya. Tapi saya tak yakin saya bisa
bertahan.
Mari
kita akhiri, saya memutuskan.
Kamu tidak
menjawab.
Kamu
tidak bisa bersama orang yang tidak kamu cintai, bukan?
Saya
minta maaf, katamu sambil menggenggam tangan
saya, dan mencium kening saya. Semuanya
akan baik-baik saja. Maafkan saya…
Saya menggeleng.
Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang harus minta maaf. Ini bukan
sesuatu yang bisa dimaafkan lalu berbaikan. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi
juga saya, dan hal-hal yang tak pernah bisa kita mengerti.
Berhenti
mencintai bukanlah kesalahan, kata saya sambil
menarik tangan saya dari genggamanmu. Saya
tidak mungkin memaafkan kamu, karena kamu memang tidak bersalah.
Tapi saya tak
bisa berhenti bertanya. Jika cinta menghilang begitu saja, salah siapa?
Ponorogo,
25 Januari 2014
*gambar diambil dari blog ceritakatacinta.blogspot.com
Selasa, Desember 17, 2013
Tahukah Kau...
... bahwa dinding jendela ini sudah tak lagi berdebu. Sejak aku termanggu, membersihkan setiap jengkal debu dengan secarik ayat-ayat. Sebagaimana kubersihkan isi kepalaku dan kuisi namamu. Seperti kubuang jauh-jauh prasangka yang membuat hati ini karatan. Lalu akan kutulis namamu seribu kali, tak sebagai hukuman, melainkan sebagai kerinduan. Tapi siapa namamu?
Aku sudah duduk di sini bertahun-tahun. Menatap keluar jendela, pada langit yang biru tak sempurna. Mungkin semalam hujan turun lagi. Resahku kukirimkan pada sang Jatayu, yang menjaga Shinta dari incaran Rahwana. Pergilah, menjauhlah, biarkan aku sendiri. Biarkan Rahwana mendapatkan hak yang telah dijanjikan padanya. Tapi siapakah namamu, Rahwana?
Minggu, November 17, 2013
Surat untuk Tuan Dokter
Kepada yth: Tuan dokter di tempat
Selamat malam. Sebelumnya saya mohon maaf jika surat ini mengganggu. Saya menemukan rubrik anda dalam sebuah surat kabar di tahun 60an. Kedua orang tua saya masih kanak-kanak waktu itu. Apakah anda seorang psikiater? Banyaknya orang yang mengeluh pada anda tentang perasaan tak menentu yang dialaminya, serta jawaban-jawaban anda, saya simpulkan jika anda adalah seorang psikiater. Maaf jika saya salah, tapi saya butuh bantuan anda. Asal anda tahu, saya perlu waktu hingga dua minggu untuk memberanikan diri menyampaikan surat ini. Karena mengakui ada kelaian dalam diri sendiri bukankah itu memalukan?
Tuan dokter yang terhormat, bagaimana cara menghilangkan hati?
Terkadang,
pada saat-saat bahagia yang keterlaluan, atau sedih yang berkepanjangan, dan
barangkali saat tak terjadi apa-apa, saya merasa ada yang salah dengan diri
saya. Saya merasa seperti pengkhianat. Walau sungguh mati saya tak tahu siapa
yang saya khianati. Mungkin diri saya sendiri. Tapi untuk apa saya mengkhianati
diri sendiri?
Saya
sering gelisah. Merasa tiba-tiba ingin menangis, lalu terdiam, karena saya tahu
tak ada yang perlu saya tangisi. Tapi saya masih ingin menangis. Bisakah saya
menangisi ketiadaan sebab saya untuk menangis? Saya orang yang bodoh. Bodoh dan
pintar. Saya tidak mengenali diri saya sendiri untuk tahu apa yang membuat saya
ingin menangis. Tapi bukankah saya cukup pintar karena mengetahui bahwa diri
saya ingin menangis?
Saya
sering merasa kehilangan. Tapi tidak tahu kehilangan apa. Mungkin karena itu
saya ingin menangis. Freud mengatakan ini adalah reaksi melankolia, saat
seseorang kehilangan sesuatu namun dia tidak tahu apa dan bahkan tidak
menyadarinya. Melankolia berbeda dengan mourning, yaitu kehilangan sesuatu yang
obyeknya jelas. Ya seperti ketika anda kehilangan kekasih. Tapi Melankolia,
kehilangan itu tidak berbentuk. Tapi berbekas. Bekas yang barangkali tak pernah
disadari oleh otak anda. Tahu-tahu, anda menjadi psikopat. Ah, tapi mungkin itu
kata saya saja, bukan Freud. Salah satu dosen saya bisa menjadi sangat relijius
karena kehabisan kata makian dan menggantinya dengan istiqfar jika saya menulis
sebuah teori ngawur dan mengambing hitamkan salah seorang filsuf. Ah, rasanya sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan dosen itu. Saya kan sudah lulus. Lulus dengan predikat cum laude. Tuan dokter, kadang saya bertanya-tanya, apakah predikat cum laude itu yang membuat kegelisahan tak jelas dalam diri saya ini?
Saya
membenci Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian
tanpa manusia lain. Tapi saya membenci manusia lain. Saya merasa diri saya
mengkerut, seperti parasut kisut setiap kali berada di antara manusia lain. Saya
sering berimajinasi bahwa dalam diri saya ada banyak manusia lain. Sehingga
saya cukup berinteraksi dengan mereka, tidak perlu keluar dari diri saya. Toh,
meski banyak manusia, semuanya masih dalam control saya. Tapi barangkali saya
justru membenci diri saya sendiri. Mungkin saya merasa diri saya ini seperti
sebuah bisul yang mengganggu dan merusak keharmonisan alam. Makanya saya
menarik diri saya dari kegiatan sosial dan mengunci diri saya sendiri dalam
kegelapan total diiringi dengung kipas angin yang nyaris pensiun. Saya mencoba
kembali kepada diri saya sendiri. Atau jangan-jangan saya memang bukan manusia?
Saya
ini orang tidak tahu diri. Saya diberi kehidupan yang luar biasa tapi sering
merasa hidup saya seperti sampah. Saya merasa ada yang tidak beres dengan
kehidupan yang saja jalani, tapi saya terus menjalaninya, membiarkan
ketidakberesan-ketidakberesan itu menjadi sesuatu yang seolah beres. Saya
merasa hidup saya beres meski saya tahu hidup saya tak beres.Mungkin karena itu
saya ingin menangis. Terkadang saya mengutuk keberadaan hati dalam diri saya.
Hati membuat segalanya menjadi ruwet. Saya harus peduli kepada anda, dia,
mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan. Tidakkah itu menjemukan?
Saya harus peduli, walau saya tahu anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang
saya jumpai di jalan tidak pernah peduli pada saya. Hati membuat saya merasa
berkhianat pada suatu kesalahan orang yang puluhan juta tahun cahaya jaraknya
dengan saya. Tidakkah saya ini orang aneh yang membuang-buang tenaga? Saya
tahu. Makanya saya berandai-andai, bagaimana caranya menghilangkan hati dalam
diri saya ini. Pada saat itu, barangkali saya bisa membuktikan bahwa Melankolia
itu memang hanya kata karangan saya saja, dan Freud adalah sosok tak berdosa
yang saya kambing hitamkan.
Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.
Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua.
Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.
Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.
Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua.
Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.
Hormat saya
m(anusia).
m(anusia).
Kamis, Oktober 17, 2013
Rumus Adikuasa: Bahagia (dengan B besar)
Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit
mendebarkan, seseorang asing bertanya kepadaku. Apa itu Bahagia?
Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima.
Pertanyaan yang sepanjang empat tahun telah kugeluti, bersamaan dengan migrain permanen akibat bergadang setiap
malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun
pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku
untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus
trans-Jogja yang sedikit oleng.
Apa itu Bahagia?
Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan
dengan mudah menjawabnya. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor,
dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado
dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik
delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping pak kusir yang
sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-10 tahun itu.
Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang
setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.
Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan
kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah
ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah
itu aku akan menangis kecil, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta,
yang pada saat itu sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku
harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah
diterjemahkan. Barangkali sesungguhnya, aku ingin mengatakan bahwa bahagia itu
bisa bersama dengan orang yang kucintai dan balas mencintaiku, dan berjanji
tidak akan menyakitiku. Barangkali juga, sesungguhnya semboyan ‘cinta tak harus
memiliki’ itu adalah kamuflase dari keharusan memiliki dari cinta. Penolakan
sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mendapatkan cinta. Bingung? Aku juga.
Tapi setidaknya aku tahu apa itu bahagia.
Kalau flashback hingga tiga tahun lalu saja, aku juga masih
bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah
kampur ternama, dengan biaya yang tak terlalu banyak. Orang tuaku bangga, aku
senang, dan aku seolah melihat masa depanku cerah mendadak.
Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa
depanku cerah, dan si orang asing sialan bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari
bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia
dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang
ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di trans-jogja yang mendebarkan
ini.
Apa itu Bahagia (dengan B besar)?
Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang
sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia
dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan
bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b
kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi
bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B
besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.
Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado,
punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku
bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai
yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku
bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu
ternyata tak berperi kemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa
digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B
besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia
dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting
bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan
sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku
tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat
kebetulan dan temporer-temporer yang membuat frustasi semata.
Di tengah kecamuk frustasiku dan desingan otakku yang
berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah
tujuan hidup manusia.
Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.
Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya
segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan sialan itu. Atau jika
tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria
itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah
ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami.
Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.
Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika
orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah
terpenuhi, jawabku sok
filosofis. Jadi batas akhirnya adalah
ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah
penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.
Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah
menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa
bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha
memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia
bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?
Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit
dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah
pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan
dengan orang asing dengan topik seaneh dan semenyebalkan keBahagiaan dengan B besar. Ataukan pria ini seorang
agen dari reality show yang akan
memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus
mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat
dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku
tamat kawan.
Apa itu Bahagia dengan B besar? Apa
batas awal dan batas akhir Bahagia? Apakah seseorang yang berusaha memertahankan
kebahagiaannya masih bahagia? Itu daftar pertanyaan dari pria ini. Kuserahkan padamu,
karena aku telah sampai di halte tujuanku.
Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir
lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa
pusing-pusing mencari Bahagia dengan B besar, jika bahagia dengan b kecil sudah
cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan
membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak
ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.
Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus
memikirkannya?
Pondok Cina
21.40 WIB
#nowplaying: Aku Dimana—Dialog Dini Hari
Langganan:
Postingan (Atom)