Kepalaku pusing. Ribuan jarum yang mendadak menikam setiap pori-pori medulla Oblongataku. Tiba-tiba semuanya buram. Kesakitan yang begitu menyiksa terasa di ulu hatiku. Aku ingin teriak. Tapi tak ada apapun yang mau keluar dari mulutku.
Lalu waktuku seolah diputar ulang. Muncul kilasan-kilasan aneh di memoryku. Mulai dari awal hidupku, yang sekaligus sebagai awal dari rasa sakit yang menyiksaku ini. Siapa aku? Aku tak tau. Yang aku tau, ada sesuatu yang salah dengan otakku.
‘Mereka memanggilku dengan sebutan ‘Si Jenius’. Kadang juga julukan ‘Si Kreatif’ nangkring diatas bahuku. Tapi kadangkala, mereka menyebutku ‘Si Aneh dan misterius’. Sama sekali nggak bermasalah.’
‘Aku memang jenius, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Aku bisa mengetahui jumlah sekawanan burung yang terbang diatasku hanya dengan sekali lirik saja. Aku juga bisa menghapal ratusan rumus yang baru kubaca semalam tadi. Aku juga bisa menguasai berbagai bahasa, padahal aku hanya mempelajarinya secara otodidak dengan kamus sepuluh ribuan yang kubeli di kaki lima. Dan biasanya aku mengerjakan dua puluh soal ulangan hanya dalam lima belas menit, sementara sisa waktunya kupergunakan untuk tidur.’
‘Semua pelajaran eksak hanya a piece of cake buatku. Palajaran hafalan pun bukan masalah besar. Apalagi soal seni dan olahraga. Aku pandai membuat puisi, suaraku pun tidak buruk, aku mampu berlari cepat, dan aku mahir menciptakan tembakan three point ke ring basket. Semuanya bisa kulakukan dengan sempurna dan tanpa sedikitpun kesulitan.’
Rintihan lirih mulai terdengar dari mulutku. Terlalu lirih, sampi-sampai kupikir pasti Cuma diriku sendiri yang mampu mendengarrya. Tulangku mulai terasa linu. Semua rasa sakit yang tak ada sebabnya ini mulai menggerogotiku. Seperti ada sayatan-sayatan tak kasat mata di sekijur tubuhku. Aku menggigil.
‘Aku bosan. Semua hal itu terasa begitu mudah di mataku. Aku menunggu yang jauh lebih sulit. Tapi sayangnya sampai saat ini belum juga datang. Tak ada yang heran saat tiba waktu penerimaan rapor, nilaiku melesat jauh meninggalkan teman-teman sebayaku. Bahkan guru-guru sering mengalami dilemma. Peraturan bilang tidak boleh ada nilai sepuluh di rapor. Tapi kenyataannya, nilaiku memang mempunyai sikma dan rata-rata sepuluh.’
‘Mereka menyebutku si kreatif. Jujur saja, otakku memang dipenuhi jutaan ide yang menuntut untuk kuwujudkan. Ide-ide cemerlang yang mungkin orang lain tak pernah mengira bahwa ide secemerlang itu muncul dari seorang anak berusia enam belas tahun sepertiku. Tenang saja, aku tak butuh pengakuan. Aku hanya butuh sedikit bantuan untuk mewujudkan ide-ide jenius nan cemerlang itu. Sayangnya, seringkali orang-orang tak mengerti dengan maksudku. Mereka tak mengerti dengan kecemerlangan ideku. Dan aku terpaksa menanganinya sendirian. Berusaha setengah mati mewujudkan ideku sendiri dengan caraku sendiri. Sialnya aku tak mampu. Ideku berlari cepat meninggalkan kemampuanku untuk mewujudkannya. Kadang aku terengah-engah, padahal aku tidak sedang mengikuti lomba lari seribu meter. Aku juga tidak sedang bertanding basket. Aku terengah-engah semata-mata hanya karena aku kelelahan mengejar ide-ide yang berlarian di otakku. Mereka berlari cepat, tanpa peduli napasku yang sudah kembang kempis.’
Mungkinkan sebelumnya ada yang pernah mendengar tentang ide yang mampu membunuh? Ataukah ini bawaan dari ke abnormalanku? Keabnormalan yang membawaku ke ambang pertahanan. Keabnormalan yang sebagian orang impikan tapi juga keabnormalan yang membuatku sering gigit jari menahan sakit yang tak bernama namun ada.
‘Aku bisa berbicara sangat cepat dan dengan kata yang mungkin tak banyak diketahui orang. Akupun juga tak mengerti bagaimana aku bisa mengenal bahasa-bahasa aneh itu. Seolah kata-kata itu sudah ada begitu saja di kepalaku dan menunggu untuk kupergunakan. Tulisanku buruk sekali. Kadang aku harus membacakannya agar orang lain mengerti. Jangan salahkan aku, pikiranku berlari sangat cepat. Aku harus menulis dengan ekstra kilat agar dia tidak meninggalkanku. Itulah sebabnya tulisanku buruk sekali’
‘Mereka bilang aku idelis. Salah. Aku tidak idealis. Aku hanya berpikir sebagaimana mestinya orang lain berpikir. Aku malah tidak mengerti kenapa semua orang tak bisa mengerti jalan pikiranku. Padahal menurutku itu wajar.’
‘Aku menyukai kesendirian. Bagiku dalam kesendirian selalu dibarengi alunan bethoven sevent simphony yang membuatku nyaman.’
‘Di sekolah, mustahil bagimu untuk menemukanku di dalam sebuah Geng remaja popular yang keren-keren dan yang selalu up to date soal fashion atau info-info terbaru tentang dunia remaja. Mustahil juga kamu menemukanku di kantin atau tempat lain semacam itu. Bila ingin melihatku, datanglah ke perpustakaan, maka kau akan menemukanku tersiksa setengah mati disana.’
‘Mereka menyebutku aneh. Tentu saja. Siapa yang mau mempunyai otak sepertiku? Mereka bilang IQ diatas seratus empat puluh lima itu keajaiban. Mereka bilang itu anugerah. Mereka bilang aku beruntung sekali memiliki kelebihan ini. Kadang juga mereka menyanjungku.Tapi kenapa aku justru merasakan yang sebaliknya? Sungguh menyiksa rasanya ketika kau bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat, mendengar apa yang orang lain tak dengar, dan berpikir yang orang lain tak mengerti’.
‘Aku merasa selalu sendirian.’
Sakit ini terus menghantamku. Ngilu, ngilu, dan ngilu. Air luirku mulai terasa asin. rasanya da seuatu yang mengganjal di tenggorokanku yang membuatku mual. Ketakutan ini membuatku mual. Aku harus melakukan sesuatu. Harus! Rasa sakit ini harus kuhentikan sebelum aku mati konyol tanpa sebab.
Lalu kutemukan dia disana, di dalam kotak pensilku Entah mengapa benda itu terlihat begitu indah di mataku. Begitu damai, dan begitu menyenangkan. Tanganku tergerak meraih cutter merah jambu itu. Terasa ringan ketika aku menorehkan ujung benda indah itu ke ujung jariku.
Sret…
Darah mengalir menyusuri jemariku. Secara ajaib rasa sakit dan takut yang sekian lama menderaku mulai berkurang. Betapa menyenangkan melihat aliran darahku sendiri.napasku melonggar. Kepalaku terasa lebih ringan. Rasanya seperti berada di taman Eden, tempat dimana kau tidak bisa merasakan apapun selain kebahagiaan.
Luka kecil di ujung jariku inilah obat yang aku cari. Tapi aku belum puas. Yang aku mau, rasa sakit sialan ini pergi sepenuhnya dari hidupku dan tak lagi mengusik hidupku.
Pasti akan menyenangkan kalo kutoreh cutter manis ini ke pergelangan tanganku. Pasti akan ada banyak darah yang mengalir. Dan pasti rasa sakit ini akan hilang selamanya.
Sret…sret…sret…
Mataku terpejam menikmati kebahagiaan ini. Darahku sebentar lagi pasti habis. Tapi aku tak pernah sebahagia ini. Selamat tinggal rasa sakit…
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
<Lilinlilinkecil_031209>