Aku
selalu bertanya-tanya, apa salahnya berimajinasi?
Aku
tak menemukan dosanya orang berimajinasi, bahkan sampai yang paling tidak masuk
akalpun? Lagipula seberat-beratnya imajinasi, hanya akan berefek pada diriku
sendiri. Misalnya, aku jadi lupa waktu, aku lupa makan, aku lupa dunia (yang
katanya) nyata, dan aku tersesat dalam imajinasiku. Tapi kan aku tidak
merugikan siapapun, yah, selain ibu-ibu warteg yang tidak lagi kukunjungi
karena aku sibuk berimajinasi. Tapi tetap saja, tidak ada pasal-pasal dalam
undang-undang yang mampu menghukum sesuatu yang hanya ada dalam pikiranku. Aku
yakin, karena aku telah mempelajarinya selama 4 bulan. Aku aman. Imajinasiku
kebal hukum.
Aku
suka membayangkan segala sesuatu. Termasuk apa yang kira-kira akan terjadi dua
menit ke depan. Apa aku masih hidup? Apa aku masih bernapas? Ataukah aku mati?
Jika aku mati, kira-kira karena apa? Dan bagaimana reaksi keluargaku ketika aku
mati? Berapa lama aku akan hidup, ngomong-ngomong? Aku tidak mau hidup yang
sebentar. Juga hidup yang terlalu lama. Yang sedang-sedang saja. Yang penting
aku harus melakukan segala hal yang kuinginkan sebelum aku mati dan melepaskan
semuanya.
Aku
selalu membayangkan bagaimana kehidupanku nanti. Sekarang aku masih enak-enakan
hidup di kota besar, dengan tugas yang hanya satu: belajar. Hidupku sudah
ditentukan. Jam sekian sampai jam sekian aku harus ke kampus untuk menyimak
kuliah yang terkadang asik terkadang membosankan. Jam sekian aku harus sudah
berada di kos, sebelum Ibu kosku yang galak mengunci pintu dan membiarkanku
tidur di luar sampai pagi. Akhir pekan aku harus mencuci bajuku yang sudah
seperti gununga Himalaya, dan mengepel kamarku agar tuntutan lingkungan sehat
dari menteri kesehatan terpenuhi. Sesekali aku juga memasak jika aku bosan
dengan masakan ibu warteg yang itu-itu saja dan sering keasinan untuk lidah
jawa ku yang kental. Setelah semua beres, aku bisa jalan-jalan melepas penat
setelah lima hari sebelumnya berkutat dengn buku-buku. Biasanya aku ke toko
buku. Memborong beberapa buku secukup sisa uang bulanan dari orang tua. Lalu
aku akan menghabiskan dua sampai tiga jam untuk duduk di sebuah kafe yang
menjual donat dan kopi bohong-bohongan. Kubeli dua potong donat dan secangkir
kopi, kuhabiskan perlahan demi wifi gratis. Persis seperti iklan kartu perdana
di televise.
Sejak
tingkat tiga kuliahku, aku seperti kehilangan hasrat untuk membentuk peer-grup.
Aku tak lagi berminat nongkrong-nongkrong dengan temanku, menghabisan sisa uang
bulanan dengan wisata kuliner atau cuci mata di mall yang berjejeran seperti
jamur panu. Entah kenapa, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan diriku
sendiri. Ketika kuceritakan pada temanku yang mengambil jurusan psikologi,
tentang keenggananku untuk berinteraksi dengan orang lain, temanku itu hanya
ternganga. Baginya, aku ini aneh sekali. Katanya aku ramah dan asik untuk
diajak hang out. Dia tak menyangka sebenarnya aku hanya basa-basi saja
melakukan itu semua. Aku hanyalah orang yang kesulitan berkata tidak ketika
temanku mengajak jalan. Namun sebenarnya, aku lebih suka menghabiskan waktu dan
uang dengan diriku sendiri.
Kehidupan
masa kuliahku benar-benar aman. Tidak ada gejolak apapun. Uang bulanan yang
cukup, tugas-tugas yang terselesaikan, jam-jam yang telah tertata rapi setiap
harinya. Aku tak perlu risau memikirkan harus apa jam sekian dan harus apa jam
sekian. Aku cukup menjalankan jadwal-jadwal yang telah dipersiapkan.
Tidakkah
itu menyenangkan? Aku hanya tinggal menjalani saja yang sudah diaturkan. Tidak
perlu memutuskan sendiri. Tidak perlu memikirkan sendiri. Jikalau ada resiko
atas yang kulakukan, toh, itu bukan salahku. Aku hanya melakukan yang
seharusnya kulakukan.
Bandingkan
jika aku sudah lulus nanti. Tidak ada jadwal kuliah, tidak ada aturan-aturan
untukku karena aku dianggap sepenuhnya dewasa. Lantas aku harus memutuskan
sendiri hidupku selanjutnya. Apa yang harus kulakukan untuk melanjutkan
hidupku. Tidak mungkin aku terus-terusan bergantung kepada uang bulanan orang
tuaku bukan? Bahkan begitu lulus, namaku juga akan tercoret dari daftar askes orang
tuaku yang pegawai negeri. Aku harus mencari askesku sendiri.
Bagaimana
aku mencari askesku? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku bekerja yang sesuai
dengan minatku dengan gaji kecil yang akan habis hanya di pertengahan bulan?
Ataukah aku harus mencari pekerjaan besar, dengan gaji yang mampu membiayaiku
ke luar negeri setiap bulan, namun tidak sesuai dengan minatku? Lalu aku akan
menambah daftar orang yang meninggal akibat stroke dan serangan jantung akibat
stress berkepanjangan. Semua itu, aku yang akan memutuskan. Tidakkah itu
mengerikan? Tidak ada orang lain yang bisa campur tangan dengan hidupku. Apa
yang terjadi, apa yang kulakukan, berasal dari diriku sendiri. Katanya, aku
bebas. Bebas untuk terus membiarkan diriku bebas maupun bebas untuk membiarkan
diriku kembali menjadi robot dalam rutinitas.
Jika
aku memilih untuk (katanya) bebas, aku akan bekerja sesuai dengan minatku.
Mungkin di sebuah penerbitan kecil dengan gaji tak seberapa, hanya hanya mampu
menyewa kamar kos kecil dengan kamar mandi di luar. Tidak ada anggaran untuk ke
luar negeri.
Aku
tahu, orang-orang memandang hidupku seperti rutinitas membosankan. Seperti
robot yang tak punya kebebasan. Apalagi bagi orang-orang yang memuja kebebasan
dan menghujat orang-orang takut susah yang bersembunyi di balik tembok
rutinitas yang nyaman. Stasiun tivi berlomba-lomba menayangkan pekerjaan
alternative bagai para pegawai yang bosan dengan rutinitasnya. Juga dengan
petualangan-petualangan liar di alam-alam bebas. Mereka semua mencari
kebebasan. Betapa kebebasan begitu didewakan dan dianggap sebagai sesuatu yang
luhur, yang pantas diperjuangkan dan dicari.
Namun
di usiaku yang masih belia ini, aku hanya bertanya-tanya, apa itu kebebasan?
Adakah kebebasan? Jika ada, mungkinkah manusia, aku, kita, mencapainya? Dan jika sudah tercapai, apakah itu berlaku permanen atau temporer? Dan jika permanen, tidakkah yang permanen itu juga membosankan? Mungkinkah suatu saat nanti para
pemuja kebebasan merasa jenuh dengan kebebasannya dan mencari rutinitas? Lantas
apa bedanya kebebasan dan rutinitas?
Tak perlu kau jawab. Seperti biasa, aku hanya meracau.