Cinta boleh datang
begitu saja. Tapi bagaimana ia bisa menghilang begitu saja?
Saya sudah
merasakan kekaburan perasaan itu sejak berbulan-bulan lalu. Saat kamu muncul di
hadapan saya dengan warna yang berbeda. Tak ada lagi senyum berharga itu. Kamu
menjelma menjadi sosok asing. Kamu ada di hadapan saya, saya bisa merasakan
nafasmu, denyut nadimu, kehidupan dalam kedua matamu, namun saya tak bisa
merasakan kehadiranmu. Kita seperti berjarak ribuan tahun cahaya, padahal kamu duduk
di sebelahku. Kita menonton siaran televisi, menyinyiri tontonan tak mutu itu,
namun saya merasa kamu begitu jauh. Saya tahu kamu tidak ada disana, di samping
saya. Sejak kapan hal itu terjadi?
Ada
apa,
Saya bertanya.
Kamu menoleh menatap
saya dengan alis bertaut, ada apa.
Kamu mengulang pertanyaan saya. Apanya
yang ada apa?
Barangkali kamu
belum menyadarinya, tapi saya sudah. Betapa mengerikannya perasaan saya ini,
yang mempu menyadari keganjilan ini, sementara kamu sendiri belum menyadarinya.
Apa saya ini keturunan cenayang? Tapi mungkin saja saya hanya benar-benar
memahami kamu. Saya tahu saya tidak bisa mengerti isi pikiran selain milik saya
sendiri. Namun tentu kita setuju bila kebersamaan dalam waktu yang lama dapat
membuat saya menghafal kebiasaan kamu, memahami semua gestur dan sentuhanmu,
dan cukup peka untuk menangkap bahwa ada yang tidak biasa. Tahukan kamu, bahwa
mampu memahami orang adalah sesuatu yang mengerikan? Karena kita bisa
menerjemahkan kode dari berbagai cara. Namun masalahnya, ada kalanya saya tidak
ingin mengetahui kode itu, yang saya tahu akan menghancurkan saya.
Saya
mau tidur, saya pilih menghindar, mematikan tivi dan
masuk ke kamar. Lalu saya dengar suara pintu depan menutup, kamu pulang.
Rasa sepi mulai
menyergap saya.
Pada pertemuan
kita selanjutnya, saya memutuskan untuk bertanya padamu. Saya pikir, segala
sesuatu memang harus dibicarakan, supaya segera selesai. Saya yakin, dengan
segala keterbukaan kita, semuanya akan beres. Semuanya akan baik-baik saja.
Apa
kamu mencintai orang lain, Saya bertanya. Apa kamu berselingkuh di belakang saya?
Kamu menatap
saya dengan kedua alis bertaut. Barangkali heran dengan pertanyaan saya yang
tidak biasa. Apa maksudmu, begitu
kamu bertanya. Tentu saja tidak.
Saya menelan
ludah. Barangkali saya terlalu keras menggigit bibir, menahan perasaan saya
sendiri, sampai lidah saya berdarah. Betapa saya menghancurkan hati saya ketika
menanyakan ini kepadamu. Saya merasa seperti seseorang yang kalah, yang
menunggu kepastian hukum.
Ludah saya terasa asin.
Apa
kamu…masih mencintai saya? Saya bertanya lagi,
mengabaikan nyeri di hati.
Kamu bilang, tentu saja, kenapa bertanya seperti itu?
Namun sadarkah
kamu ketika kamu menjawab, kamu menatap telinga kiri saya, bukan mata saya.
Apa
kamu masih cinta sama saya? saya mengulang
pertanyaan saya.
Kali ini kamu
tidak menjawab. Namun saya tahu itulah jawabanmu.
Ada perasaan tak
menentu dalam diri saya. Sudah lamakah rasa itu hilang dari hatimu? Sudah
lamakah saya meninggalkan hatimu? Saya tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apa
yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu bosan? Apakah saya yang berubah dan kamu
tidak menyukainya? Apa yang membuat kamu tidak lagi mencintai saya? Sudah
lamakah saya menjadi badut dalam kehidupanmu, merasa menjadi orang yang kamu
cintai, namun tidak lebih dari orang yang tanpa arti dalam hatimu?
Saya
sangat mencintaimu, kata saya perlahan. Saya ingin
menangis, namun mati-matian saya tahan. Sejak
kapan?
Kamu masih tidak
menjawab. Saya tahu kamu pria baik. Mungkin kamu akan terus berpura-pura
mencintai saya, jika saya tidak pernah menanyakannya. Saya tahu, kamu pilih
mati daripada menyakiti saya. Namun kamu tidak paham, bahwa yang lebih
mematikan adalah pemahaman bahwa kamu hanya bersama saya karena kamu tidak mau
menyakiti saya. Karena dengan begitu, sayalah yang menyakiti kamu. Dan sayalah
yang menyakiti diri saya sendiri dengan terus-terusan menjadi badut kehidupan.
Kenapa?
Apa salah saya
yang membuat kamu kehilangan rasa cinta itu? Saya merasa berdosa. Saya merasa
ada yang salah dalam diri saya yang membuat saya tidak diinginkan. Saya merasa
begitu tidak berharga, tidak berarti selain sebagai orang yang harus dijaga
perasaannya. Sama seperti orang-orang lain.
Bagaimana
supaya kamu mencintai saya lagi?
Saya tahu bahwa
tidak ada yang abadi di dunia ini. Saya juga tahu bahwa apapun bisa berubah
dalam hitungan detik. Namun saya sungguh tak mengira bahwa perasaan cinta yang
telah terpahat sekian lama bisa hilang begitu saja. Saya pikir cinta kami
selamanya. Saya pikir mencintai orang lain adalah mustahil.
Saya
tidak punya orang lain, begitu katamu.
Kamu mungkin
tidak mencintai orang lain. Namun kamu juga tidak lagi mencintai saya. Tahukah
kamu betapa hancurnya saya? Saya bisa saja menyelamatkan diri saya sendiri
dengan memaksamu tetap di sisi saya, atas nama semua yang telah kita lewati dan
saya rasakan. Saya bisa saja memohon, meyakinkanmu bahwa semuanya akan segera
membaik. Segalanya akan segera kembali seperti semula. Tapi saya sendiri tak
yakin. Saya tak yakin cinta itu akan kembali. Saya tak yakin apa yang telah
memudar akan kembali. Saya tak yakin apapun. Termasuk perasaan saya sendiri.
Saya begitu ingin mempertahankan semuanya. Tapi saya tak yakin saya bisa
bertahan.
Mari
kita akhiri, saya memutuskan.
Kamu tidak
menjawab.
Kamu
tidak bisa bersama orang yang tidak kamu cintai, bukan?
Saya
minta maaf, katamu sambil menggenggam tangan
saya, dan mencium kening saya. Semuanya
akan baik-baik saja. Maafkan saya…
Saya menggeleng.
Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang harus minta maaf. Ini bukan
sesuatu yang bisa dimaafkan lalu berbaikan. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi
juga saya, dan hal-hal yang tak pernah bisa kita mengerti.
Berhenti
mencintai bukanlah kesalahan, kata saya sambil
menarik tangan saya dari genggamanmu. Saya
tidak mungkin memaafkan kamu, karena kamu memang tidak bersalah.
Tapi saya tak
bisa berhenti bertanya. Jika cinta menghilang begitu saja, salah siapa?
Ponorogo,
25 Januari 2014
*gambar diambil dari blog ceritakatacinta.blogspot.com