Halo, para pengrajin kayu dan pemecah batu dan penjahit benang dan pembuat puisi dan penghitung dosa. Apa kabar dunia hari ini? Percayakah, bila tadi siang kita bersimpangan di pintu masuk kedai kopi? Seharusnya kita menyapa, sebagai yang harus ditampilkan warga dunia seperti kita. Ada, sebuah acara yang namanya 'ramah tamah'. Apa fungsinya? Aku tidak tahu. Apakah dunia sudah tidak ramah lagi sekarang, sampai dibuat suatu acara-sengaja yang bernama ramah tamah? Dulu kupikir ramah tamah adalah sebuah perbuatan-tak-sengaja-yang-tahu-tahu-terjadi. Mungkin sekarang telah mengalami pegeseran makna.
Lalu ada juga panggung-panggung komedi semi drama tragis yang sengaja diputar di jam-jam tertentu untuk menemani para pengikut Marx istirahat. Mungkin dunia ini memang sudah begitu dingin ya, hingga drama komedi tragis itu bermunculan seperti jamur panu yang tak segera mendapat obat. Sama sepertimu, aku telah lama tak menyimak dunia.
Pernahkah kamu bepikir untuk berhenti berpikir? (bisa kan, kau pahami kalimatku? maaf, aku tak pandai merangkai kata-kata)
Biar kuceritakan sesuatu. Di sebuah belahan bumi bagian timur, sedikit serong ke selatan, ada semangkuk kolak pisang yang sedang bermimpi menjadi manusia. Iya, manusia berkaki dua dan berpikir dengan otak.
Tapi mungkin juga dia bukan kolak pisang. Mungkin saja dia serangga yang sedang bermimpi menjadi 'kolak pisang yang bermimpi menjadi manusia'. Apapunlah. Tak penting juga.
Si manusia kolak pisang ini sepertinya punya kelaian di otaknya yang tidak pernah berhenti berpikir. Otak kecilnya yang jauh sedikit lebih besar volumenya daripada simpanse itu terus berputar, memikirkan hal-hal remeh temeh menjadikannya hal besar yang terkadang layak diperbincangkan. Si manusia kolak pisang bukannya tidak tahu bahwa yang dia pikirkan adalah hal sepele. Masalahnya, dia tidak bisa berhenti berpikir, itu saja.
Si manusia kolak pisang selalu mendebatkan hal-hal tidak penting yang membuat orang gerah, lalu memikirkannya dalam-dalam, lalu ketakutan sendiri dengan pemikirannya. Manusia kolak pisang ini bahkan tidak tahu apa itu berpikir. Ketika dia berpikir, entah itu yang bermain hatinya atau otaknya atau apanya. Dimana letak kesadarannya pun, dia tidak paham. Itu yang membuatnya berpikir dirinya adalah manusia.
Malam ini, si manusia kolak pisang sedang mengkhayal duduk di depan sebuah layar yang memancarkan cahaya, ditemani secangkir berisi cairan lobulus frontalus yang berwarna kecokelatan dengan sedikit buih dan asap tipis yang mengepul ramah. Manusia asli biasanya menyebut cairan itu sebagai kopi. Namun si manusia kolak pisang kan tidak tahu apa-apa. Jadi dia menyebut apapun sesuka hatinya.
Bersama cairan Lobulus Frontalus dan tembang-tembang lawas yang tidak pernah lagi diputar di radio, manusia kolak pisang menulis sesuatu di layar ajaibnya...
....jika aku berhenti berpikir, aku akan menemukan apa?
Apa dia akan menjadi budha yang berhasil mencapai nirvana, yang artinya meninggalkan segala hasrat keduniawian?
Apa dia akan menjadi kaum epicureanisme dan stoa yang mencapai kebahagiaan karena tidak lagi menginginkan apa-apa?
Apa dia akan menjadi orang gila yang tak lagi risau tentang siapa yang memimpin negara?
Apa dia akan menjadi Kurt Cobain?
Apa dia akan menjadi siapapun selain dirinya?
Dor.
Manusia kolak pisang tersenyum kecil.
...sudahlah, malam ini aku tak ingin berpikir.
...tapi bisakah aku tak berpikir?
Ini bukan perkara mudah. Di dunia yang perlu ramah tamah dan komedi drama tragis, seharusnya siapapun bisa menjadi manusia kolak pisang.