‘Ada yang mati sore
tadi.’
‘Siapa?’
‘Orang kampung sebelah.
Ah, kata tetangga-tetangganya, si almarhum masih kerja di sawah siangnya. Dan
menjelang sore, mungkin Cuma dua jam sebelum dia mati, dia masih minum kopi di
warung. Aneh sekali.’
‘Ah. Maut, seperti juga cinta. Tak
pernah tertebak kapan dan dimana.’
‘Iya, dan itu
mengerikan.’
‘Kau takut mati?’
‘Siapa yang tidak?’
‘Kenapa kau takut padanya?’
‘Yaaah semacam
ketidakrelaan meninggalkan dunia ini.’
‘…’
‘Banyak hal yang
belum kuselesaikan di dunia ini.’
‘Maksudmu masalah pekerjaan?’
‘Bukan. Aku tidak
pernah memikirkan masalah pekerjaan saat membicarakan masalah ini. Aku hanya
memikirkan…kau tahu? Hidupku ini adalah pencarian. Jangan tanya pencarian akan
apa, karena aku sendiri juga tidak tahu tepatnya. Kusebut saja, pencarian akan
Aku, diriku, yang kadang aku tak tahu juga kemana arah pencarian ini. Kau tahu?
Hidup itu adalah proses kan? Aku yang ada di depanmu ini bukanlah Ara, hanya
seseorang yang sedang menjadi Ara. Sedang berproses menjadi Ara. Aku takut
kematian menjemputku sebelum aku menemukan Ara dalam diriku. ‘
‘Baiklah. Aku paham.’
‘Tidak, kau tidak
pernah paham. Akupun tidak.’
‘Tapi, hidup itu apa sih? Kalau orang
jawa bilang, hidup itu ibarat Cuma mampir ngombe. Cuma numpang minum. Misalkan
kita dalam perjalanan, kita haus, lalu kita mampir ke warung membeli kopi. Tapi
kau kan tidak bisa selamanya ada di warung itu? Kau kan harus melanjutkan
perjalananmu bukan?’
‘Kamu tidak takut
mati?’
‘Takut tidak takut, aku akan tetap mati
suatu saat nanti. Jadi untuk apa takut pada sesuatu yang sudah pasti seperti
itu?’
‘Tapi kematian itu
tidak pasti datangnya. Tidak ada yang tahu kan kita mati kapan dan dimana?
Itulah yang mengerikan. Aku selalu memikirkan bagaimana kematianku nanti.
Bagaimana jika aku mati ketika aku sedang berada di dalam angkot, dengan tidak
ada seorangpun yang mengenalku? Atau bagaimana jika aku mati ketika aku sedang
piknik sendirian di gunung, dan tak ada yang menemukan mayatku hingga membusuk?
Kematian itu tidak pasti. Tidak bisa dipersiapkan.’
‘Ya ya ya, aku mengerti pikiranmu. Dulu
aku juga berpikir seperti itu ketika aku seumuranmu. Tapi kalaupun tidak di
angkot atau di gunung, kamu juga akan mati. Dimanapun. Dengan atau tanpa ada
yang mengenalmu. Ketakutan akan kematian itu sia-sia, karena takut-tidak takut tidak
akan menghilangkan kemungkinannya. Boleh kamu merisaukan hal-hal seperti yang
kamu sebutkan tadi, tapi jangan berlarut-larut. Buat apa? Toh, pas kita mati
nanti kita tidak akan tidak akan mengetahui apa-apa lagi. Wes enek sing ngatur.
Seharusnya ketakutan akan mati itu malah menjadi suatu semangat’
‘Semangat?’
‘Ya. Kau bilang tadi mati itu tidak
bisa dipersiapkan. Siapa bilang? Dengan memahami bahwa kau akan mati suatu saat
nanti, itu adalah persiapannya. Maka lakukanlah hal-hal yang ingin kamu lakukan
sebelum kamu mati. Lakukan sebaik-baiknya dan ingatlah karena setelah kamu
mati, kamu tidak bisa lagi melakukan hal itu.’
‘Hal seperti apa?’
‘Kalau orang beragama, maka lakukanlah
amalan-amalan yang mewujudkan kecintaanmu kepada Tuhanmu. Dekatkanlah dirimu
pada Tuhanmu, agar nanti ketika kematian tiba, kau akan senang menyambutnya.
Dan jika kamu seorang pekerja keras, maka teruskan pekerjaanmu. Tetap semangat.
Lakukan pekerjaanmu semaksimal mungkin dan capailah hal-hal yang ingin kau capai.
Berusahalah terus menerus sampai kematian menjemputmu sebagai kawan lama.
Bukankah sebagai manusia, hanya itu yang bisa kita lakukan?’
‘Jadi kamu tidak
takut mati?’
‘Yang penting aku berusaha. Masalah
nanti aku mati, dan aku memang pasti mati, itu adalah urusan Gusti Allah.’
‘Jadi kamu tidak
takut mati?’
‘Percayalah, selama kita masih hidup,
kematian itu tidak akan datang. Dan ketika kematian datang, kita sudah tidak
ada.’
‘Maksudmu, kita
tidak pernah berjumpa dengan kematian?’
‘Anggap saja begitu bila itu lebih
mudah.’
Sebuah rekaman dialog dalam
kepala di tengah malam
01/10/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar