... bahwa dinding jendela ini sudah tak lagi berdebu. Sejak aku termanggu, membersihkan setiap jengkal debu dengan secarik ayat-ayat. Sebagaimana kubersihkan isi kepalaku dan kuisi namamu. Seperti kubuang jauh-jauh prasangka yang membuat hati ini karatan. Lalu akan kutulis namamu seribu kali, tak sebagai hukuman, melainkan sebagai kerinduan. Tapi siapa namamu?
Aku sudah duduk di sini bertahun-tahun. Menatap keluar jendela, pada langit yang biru tak sempurna. Mungkin semalam hujan turun lagi. Resahku kukirimkan pada sang Jatayu, yang menjaga Shinta dari incaran Rahwana. Pergilah, menjauhlah, biarkan aku sendiri. Biarkan Rahwana mendapatkan hak yang telah dijanjikan padanya. Tapi siapakah namamu, Rahwana?
Bukankah kita makhluk fantasi yang, sialnya, terjebak di dunia nyata? Karenanya aku mencipta dunia tempatku memenjarakan sajak, cerita, dan monolog gelisah yang tak pernah bisa kusampaikan padamu. Selamat datang.
Selasa, Desember 17, 2013
Tahukah Kau...
Minggu, November 17, 2013
Surat untuk Tuan Dokter
Kepada yth: Tuan dokter di tempat
Selamat malam. Sebelumnya saya mohon maaf jika surat ini mengganggu. Saya menemukan rubrik anda dalam sebuah surat kabar di tahun 60an. Kedua orang tua saya masih kanak-kanak waktu itu. Apakah anda seorang psikiater? Banyaknya orang yang mengeluh pada anda tentang perasaan tak menentu yang dialaminya, serta jawaban-jawaban anda, saya simpulkan jika anda adalah seorang psikiater. Maaf jika saya salah, tapi saya butuh bantuan anda. Asal anda tahu, saya perlu waktu hingga dua minggu untuk memberanikan diri menyampaikan surat ini. Karena mengakui ada kelaian dalam diri sendiri bukankah itu memalukan?
Tuan dokter yang terhormat, bagaimana cara menghilangkan hati?
Terkadang,
pada saat-saat bahagia yang keterlaluan, atau sedih yang berkepanjangan, dan
barangkali saat tak terjadi apa-apa, saya merasa ada yang salah dengan diri
saya. Saya merasa seperti pengkhianat. Walau sungguh mati saya tak tahu siapa
yang saya khianati. Mungkin diri saya sendiri. Tapi untuk apa saya mengkhianati
diri sendiri?
Saya
sering gelisah. Merasa tiba-tiba ingin menangis, lalu terdiam, karena saya tahu
tak ada yang perlu saya tangisi. Tapi saya masih ingin menangis. Bisakah saya
menangisi ketiadaan sebab saya untuk menangis? Saya orang yang bodoh. Bodoh dan
pintar. Saya tidak mengenali diri saya sendiri untuk tahu apa yang membuat saya
ingin menangis. Tapi bukankah saya cukup pintar karena mengetahui bahwa diri
saya ingin menangis?
Saya
sering merasa kehilangan. Tapi tidak tahu kehilangan apa. Mungkin karena itu
saya ingin menangis. Freud mengatakan ini adalah reaksi melankolia, saat
seseorang kehilangan sesuatu namun dia tidak tahu apa dan bahkan tidak
menyadarinya. Melankolia berbeda dengan mourning, yaitu kehilangan sesuatu yang
obyeknya jelas. Ya seperti ketika anda kehilangan kekasih. Tapi Melankolia,
kehilangan itu tidak berbentuk. Tapi berbekas. Bekas yang barangkali tak pernah
disadari oleh otak anda. Tahu-tahu, anda menjadi psikopat. Ah, tapi mungkin itu
kata saya saja, bukan Freud. Salah satu dosen saya bisa menjadi sangat relijius
karena kehabisan kata makian dan menggantinya dengan istiqfar jika saya menulis
sebuah teori ngawur dan mengambing hitamkan salah seorang filsuf. Ah, rasanya sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan dosen itu. Saya kan sudah lulus. Lulus dengan predikat cum laude. Tuan dokter, kadang saya bertanya-tanya, apakah predikat cum laude itu yang membuat kegelisahan tak jelas dalam diri saya ini?
Saya
membenci Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian
tanpa manusia lain. Tapi saya membenci manusia lain. Saya merasa diri saya
mengkerut, seperti parasut kisut setiap kali berada di antara manusia lain. Saya
sering berimajinasi bahwa dalam diri saya ada banyak manusia lain. Sehingga
saya cukup berinteraksi dengan mereka, tidak perlu keluar dari diri saya. Toh,
meski banyak manusia, semuanya masih dalam control saya. Tapi barangkali saya
justru membenci diri saya sendiri. Mungkin saya merasa diri saya ini seperti
sebuah bisul yang mengganggu dan merusak keharmonisan alam. Makanya saya
menarik diri saya dari kegiatan sosial dan mengunci diri saya sendiri dalam
kegelapan total diiringi dengung kipas angin yang nyaris pensiun. Saya mencoba
kembali kepada diri saya sendiri. Atau jangan-jangan saya memang bukan manusia?
Saya
ini orang tidak tahu diri. Saya diberi kehidupan yang luar biasa tapi sering
merasa hidup saya seperti sampah. Saya merasa ada yang tidak beres dengan
kehidupan yang saja jalani, tapi saya terus menjalaninya, membiarkan
ketidakberesan-ketidakberesan itu menjadi sesuatu yang seolah beres. Saya
merasa hidup saya beres meski saya tahu hidup saya tak beres.Mungkin karena itu
saya ingin menangis. Terkadang saya mengutuk keberadaan hati dalam diri saya.
Hati membuat segalanya menjadi ruwet. Saya harus peduli kepada anda, dia,
mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan. Tidakkah itu menjemukan?
Saya harus peduli, walau saya tahu anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang
saya jumpai di jalan tidak pernah peduli pada saya. Hati membuat saya merasa
berkhianat pada suatu kesalahan orang yang puluhan juta tahun cahaya jaraknya
dengan saya. Tidakkah saya ini orang aneh yang membuang-buang tenaga? Saya
tahu. Makanya saya berandai-andai, bagaimana caranya menghilangkan hati dalam
diri saya ini. Pada saat itu, barangkali saya bisa membuktikan bahwa Melankolia
itu memang hanya kata karangan saya saja, dan Freud adalah sosok tak berdosa
yang saya kambing hitamkan.
Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.
Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua.
Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.
Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.
Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua.
Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.
Hormat saya
m(anusia).
m(anusia).
Kamis, Oktober 17, 2013
Rumus Adikuasa: Bahagia (dengan B besar)
Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit
mendebarkan, seseorang asing bertanya kepadaku. Apa itu Bahagia?
Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima.
Pertanyaan yang sepanjang empat tahun telah kugeluti, bersamaan dengan migrain permanen akibat bergadang setiap
malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun
pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku
untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus
trans-Jogja yang sedikit oleng.
Apa itu Bahagia?
Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan
dengan mudah menjawabnya. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor,
dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado
dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik
delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping pak kusir yang
sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-10 tahun itu.
Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang
setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.
Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan
kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah
ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah
itu aku akan menangis kecil, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta,
yang pada saat itu sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku
harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah
diterjemahkan. Barangkali sesungguhnya, aku ingin mengatakan bahwa bahagia itu
bisa bersama dengan orang yang kucintai dan balas mencintaiku, dan berjanji
tidak akan menyakitiku. Barangkali juga, sesungguhnya semboyan ‘cinta tak harus
memiliki’ itu adalah kamuflase dari keharusan memiliki dari cinta. Penolakan
sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mendapatkan cinta. Bingung? Aku juga.
Tapi setidaknya aku tahu apa itu bahagia.
Kalau flashback hingga tiga tahun lalu saja, aku juga masih
bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah
kampur ternama, dengan biaya yang tak terlalu banyak. Orang tuaku bangga, aku
senang, dan aku seolah melihat masa depanku cerah mendadak.
Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa
depanku cerah, dan si orang asing sialan bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari
bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia
dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang
ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di trans-jogja yang mendebarkan
ini.
Apa itu Bahagia (dengan B besar)?
Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang
sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia
dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan
bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b
kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi
bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B
besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.
Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado,
punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku
bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai
yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku
bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu
ternyata tak berperi kemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa
digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B
besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia
dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting
bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan
sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku
tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat
kebetulan dan temporer-temporer yang membuat frustasi semata.
Di tengah kecamuk frustasiku dan desingan otakku yang
berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah
tujuan hidup manusia.
Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.
Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya
segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan sialan itu. Atau jika
tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria
itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah
ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami.
Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.
Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika
orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah
terpenuhi, jawabku sok
filosofis. Jadi batas akhirnya adalah
ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah
penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.
Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah
menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa
bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha
memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia
bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?
Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit
dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah
pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan
dengan orang asing dengan topik seaneh dan semenyebalkan keBahagiaan dengan B besar. Ataukan pria ini seorang
agen dari reality show yang akan
memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus
mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat
dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku
tamat kawan.
Apa itu Bahagia dengan B besar? Apa
batas awal dan batas akhir Bahagia? Apakah seseorang yang berusaha memertahankan
kebahagiaannya masih bahagia? Itu daftar pertanyaan dari pria ini. Kuserahkan padamu,
karena aku telah sampai di halte tujuanku.
Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir
lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa
pusing-pusing mencari Bahagia dengan B besar, jika bahagia dengan b kecil sudah
cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan
membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak
ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.
Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus
memikirkannya?
Pondok Cina
21.40 WIB
#nowplaying: Aku Dimana—Dialog Dini Hari
Rabu, Oktober 02, 2013
Pernyataan (ber)salah
Aku menyalahkan Tuhan
lagi hari ini.
Hariku sudah kacau
sejak matahari terbit. Jam wekerku berhenti berbunyi dan membiarkanku tidur
pulas hingga tengah hari. Kurasa aku mabuk semalam. Terlalu bersemangat
merayakan rencana pernikahan salah satu teman yang terkenal playboy. Pulang
ketika orang-orang sedang sholat tahajud dan tidak ingat apa-apa hingga bosku
menelfon. Aku dipecat, karena ini sudah ke lima kalinya aku telat. Sialan. Lalu
sore harinya, pacarku marah-marah karena aku dipecat. Katanya aku terlalu menyia-nyiakan
hidup dan tak serius dengan hubungan kami. Katanya kalau aku serius aku pasti
akan serius bekerja demi masa depan kami selanjutnya. Lalu dia memutuskanku.
Begitu saja. Bisakah kau bayangkan aku menerima pemecatan dua kali dalam
sehari? Seperti jadwal minum antibiotik dari dokter akibat flu berkepanjangan.
Bosku jelas tidak tahu
bahwa aku sudah membuang nominal besar di tabunganku yang pasti akan kuperoleh
jika aku memilih bekerja di perusahaan mutinasional setahun yang lalu, hanya untuk
penerbitan kecil sialan itu. Pacarku juga pasti tidak tahu aku telah membuang
pacarku yang dulu demi dirinya. Padahal aku yakin pacarku yang dulu tidak
sepenuntut dirinya. Hanya karena aku begitu terlena oleh keindahan pacarku, dan
terbutakan oleh hasrat sesaat, lantas aku berpikir bahwa pacarku adalah yang
terbaik. Tak apa-apa kalau dia memang memutuskanku. Tapi tak bisakah ia
melakukan itu esok hari? Supaya aku bisa mengatasi kesedihanku ini satu
persatu? Sekarang bayangkan, temanku yang playboy itu akan segera memasuki
jenjang pernikahan, sementara aku yang sangat setia ini justru akan memasuki
jenjang kesendirian di usia tiga puluh tahun. Ada di mana keadilan yang katanya
diperuntukkan bagi ornag-orang baik sepertiku?
Aku menyalahkan Tuhan
atas semuanya. Aku menolak menyalahkan diriku sendiri karena aku adalah makhluk
ciptaannya. Aku hanya aktor sementara dia sutradara. Kenapa pula aktor harus
bertanggung jawab atas jalan cerita yang tak ia tahu menahu sebelumnya.
Memangnya kenapa wekerku tak mau berbunyi di jam 7 pagi padahal ia telah
menjalankan tugasnya dengan baik selama lima tahun jika bukan Tuhan yang
menggerakannya? Memangnya kenapa bosku yang biasanya pemaaf dan memaklumiku
karena prestasi kerjaku yang gilang gemilang menjadi sadar bahwa etika kerja
lebih dibutuhkan ketimbang skill dan akademis, jika bukan Tuhan yang memberinya
hidayah dan calon-calon karyawan baru yang lebih kompeten dariku? Memangnya
hidayah dari siapa yang menuntunku untuk memilih penerbitan kecil ini dibanding
sederet perusahaan multinasional, jika bukan Tuhan yang menggerakan hatiku
untuk memilih mana yang menjadi passionku? Memangnya kenapa pacarku yang
biasanya asik-asik aja dengan gaya hidupku, mendadak sadar bahwa usianya sudah
banyak dan cinta kami saja tak cukup untuk hidup bersama, jika bukan Tuhan yang
mengarahkannya pada kesadaran akan dosa dan hidup yang sia-sia? Memangnya siapa
yang membuat temanku yang playboy harus menikah sementara aku harus patah hati?
Sekarang bayangkan,
bagaimana ku harus menghidupi hidupku yang sendirian ini setelah ini? Lantas
apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku di kampung sana mengenai kiriman
bulan ini yang absen karena aku tak lagi bergaji? Darimana aku harus mulai
mencari pekerjaan baru dan pacar baru untuk memasuki kehidupan baru? Ha?
Bisakah Tuhan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini?
Kenapa aku tidak boleh
menyalahkan Tuhan atas kacaunya hidupku sementara Dia adalah penciptaku?
Bukankah Dia penggerak yang tidak digerakkan? Bukankah Dia penyebab awal dan
penyebab final atas segala sesuatu? Bukankah Dia hanya memerlukan ‘kun fayakun’
untuk membalik gunung Himalaya dan menjadikannya samudera baru? Lantas mengapa
Dia tidak menciptakan skenario yang asik-asik saja untukku?
Aku bertemu dengan
tukang sapu di jalan. Ia menguliahiku tentang kehendak bebas yang dimiliki
manusia, ketika aku curhat padanya tentang kesialanku seharian ini, dan mungkin
beberapa hari ke depan. Katanya, Tuhan hanya mengatur balasan-balasan dari apa
yang kulakukan. Aku yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Apa yang Tuhan
berikan setimpal dengan apa yang telah kulakukan. Ah, omong kosong!
Berani-beraninya tukang sapu itu bicara tentang balasan setimpal pada setiap
perbuatan kita, sementara dia tak tahu apa yang telah kulakukan hingga di titik
ini. Dia tak tahu betapa aku berani mengambil keputusan beresiko di masa lalu,
yang tak semua orang berani mengambilnya. Aku berani mengambil keputusan.
Seharusnya Tuhan menyiapkan ending yang menyenangkan untuk orang-orang berani
sepertiku.
Seorang ustadz
mengatakan aku kafir ketika aku datang padanya dan menyalahkan Tuhan. Ya, terus
saja mengafirkan aku. Toh dia tidak mengalami kekacauan hidup seperti yang
kualami. Memangnya kepada siapa aku harus meminta pertanggung-jawabkan
kehancuran hidupku yang tak bisa kupertanggung-jawabkan sendiri ini selain
kepada penciptaku? Siapa yang menciptakan aku? Siapa yang minta diciptakan?
Aku benci menyadari betapa
menyedihkannya aku sebagai manusia, hingga terus mencari kambing hitam, karena
terlalu pengecut menghadapi perbuatan sendiri. Betapa kecilnya aku. Betapa
lemah dan tak diperhitungkannya. Aku benci menyadari bahwa aku menyalahkan
Tuhan atas segalanya bukan karena aku selalu benar, tetapi justru karena aku
begitu lemah dan selalu salah. Aku menyalahkan Tuhan karena aku terlalu
pengecut untuk menyalahkan diriku sendiri.
Aku begitu mempercayai
Tuhan itu Maha Kuasa, dan karena itulah aku menyalahkan-Nya atas segalanya.
Silakan kau menyalahkan aku atas pernyataan ini, dan aku akan menyalahkah Tuhan
karena membiarkanku mengeluarkan pernyataan ini. Bukankah sudah kubilang, bahwa
aku ini manusia lemah yang selalu mencari kambing hitam?
23.01 WIB
Dalam iringan lagu Utopia, dan
buku sejarah Indonesia
Jumat, September 06, 2013
Pertanyaan Untuk Masa Depan
Aku
selalu bertanya-tanya, apa salahnya berimajinasi?
Aku
tak menemukan dosanya orang berimajinasi, bahkan sampai yang paling tidak masuk
akalpun? Lagipula seberat-beratnya imajinasi, hanya akan berefek pada diriku
sendiri. Misalnya, aku jadi lupa waktu, aku lupa makan, aku lupa dunia (yang
katanya) nyata, dan aku tersesat dalam imajinasiku. Tapi kan aku tidak
merugikan siapapun, yah, selain ibu-ibu warteg yang tidak lagi kukunjungi
karena aku sibuk berimajinasi. Tapi tetap saja, tidak ada pasal-pasal dalam
undang-undang yang mampu menghukum sesuatu yang hanya ada dalam pikiranku. Aku
yakin, karena aku telah mempelajarinya selama 4 bulan. Aku aman. Imajinasiku
kebal hukum.
Aku
suka membayangkan segala sesuatu. Termasuk apa yang kira-kira akan terjadi dua
menit ke depan. Apa aku masih hidup? Apa aku masih bernapas? Ataukah aku mati?
Jika aku mati, kira-kira karena apa? Dan bagaimana reaksi keluargaku ketika aku
mati? Berapa lama aku akan hidup, ngomong-ngomong? Aku tidak mau hidup yang
sebentar. Juga hidup yang terlalu lama. Yang sedang-sedang saja. Yang penting
aku harus melakukan segala hal yang kuinginkan sebelum aku mati dan melepaskan
semuanya.
Aku
selalu membayangkan bagaimana kehidupanku nanti. Sekarang aku masih enak-enakan
hidup di kota besar, dengan tugas yang hanya satu: belajar. Hidupku sudah
ditentukan. Jam sekian sampai jam sekian aku harus ke kampus untuk menyimak
kuliah yang terkadang asik terkadang membosankan. Jam sekian aku harus sudah
berada di kos, sebelum Ibu kosku yang galak mengunci pintu dan membiarkanku
tidur di luar sampai pagi. Akhir pekan aku harus mencuci bajuku yang sudah
seperti gununga Himalaya, dan mengepel kamarku agar tuntutan lingkungan sehat
dari menteri kesehatan terpenuhi. Sesekali aku juga memasak jika aku bosan
dengan masakan ibu warteg yang itu-itu saja dan sering keasinan untuk lidah
jawa ku yang kental. Setelah semua beres, aku bisa jalan-jalan melepas penat
setelah lima hari sebelumnya berkutat dengn buku-buku. Biasanya aku ke toko
buku. Memborong beberapa buku secukup sisa uang bulanan dari orang tua. Lalu
aku akan menghabiskan dua sampai tiga jam untuk duduk di sebuah kafe yang
menjual donat dan kopi bohong-bohongan. Kubeli dua potong donat dan secangkir
kopi, kuhabiskan perlahan demi wifi gratis. Persis seperti iklan kartu perdana
di televise.
Sejak
tingkat tiga kuliahku, aku seperti kehilangan hasrat untuk membentuk peer-grup.
Aku tak lagi berminat nongkrong-nongkrong dengan temanku, menghabisan sisa uang
bulanan dengan wisata kuliner atau cuci mata di mall yang berjejeran seperti
jamur panu. Entah kenapa, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan diriku
sendiri. Ketika kuceritakan pada temanku yang mengambil jurusan psikologi,
tentang keenggananku untuk berinteraksi dengan orang lain, temanku itu hanya
ternganga. Baginya, aku ini aneh sekali. Katanya aku ramah dan asik untuk
diajak hang out. Dia tak menyangka sebenarnya aku hanya basa-basi saja
melakukan itu semua. Aku hanyalah orang yang kesulitan berkata tidak ketika
temanku mengajak jalan. Namun sebenarnya, aku lebih suka menghabiskan waktu dan
uang dengan diriku sendiri.
Kehidupan
masa kuliahku benar-benar aman. Tidak ada gejolak apapun. Uang bulanan yang
cukup, tugas-tugas yang terselesaikan, jam-jam yang telah tertata rapi setiap
harinya. Aku tak perlu risau memikirkan harus apa jam sekian dan harus apa jam
sekian. Aku cukup menjalankan jadwal-jadwal yang telah dipersiapkan.
Tidakkah
itu menyenangkan? Aku hanya tinggal menjalani saja yang sudah diaturkan. Tidak
perlu memutuskan sendiri. Tidak perlu memikirkan sendiri. Jikalau ada resiko
atas yang kulakukan, toh, itu bukan salahku. Aku hanya melakukan yang
seharusnya kulakukan.
Bandingkan
jika aku sudah lulus nanti. Tidak ada jadwal kuliah, tidak ada aturan-aturan
untukku karena aku dianggap sepenuhnya dewasa. Lantas aku harus memutuskan
sendiri hidupku selanjutnya. Apa yang harus kulakukan untuk melanjutkan
hidupku. Tidak mungkin aku terus-terusan bergantung kepada uang bulanan orang
tuaku bukan? Bahkan begitu lulus, namaku juga akan tercoret dari daftar askes orang
tuaku yang pegawai negeri. Aku harus mencari askesku sendiri.
Bagaimana
aku mencari askesku? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku bekerja yang sesuai
dengan minatku dengan gaji kecil yang akan habis hanya di pertengahan bulan?
Ataukah aku harus mencari pekerjaan besar, dengan gaji yang mampu membiayaiku
ke luar negeri setiap bulan, namun tidak sesuai dengan minatku? Lalu aku akan
menambah daftar orang yang meninggal akibat stroke dan serangan jantung akibat
stress berkepanjangan. Semua itu, aku yang akan memutuskan. Tidakkah itu
mengerikan? Tidak ada orang lain yang bisa campur tangan dengan hidupku. Apa
yang terjadi, apa yang kulakukan, berasal dari diriku sendiri. Katanya, aku
bebas. Bebas untuk terus membiarkan diriku bebas maupun bebas untuk membiarkan
diriku kembali menjadi robot dalam rutinitas.
Jika
aku memilih untuk (katanya) bebas, aku akan bekerja sesuai dengan minatku.
Mungkin di sebuah penerbitan kecil dengan gaji tak seberapa, hanya hanya mampu
menyewa kamar kos kecil dengan kamar mandi di luar. Tidak ada anggaran untuk ke
luar negeri.
Aku
tahu, orang-orang memandang hidupku seperti rutinitas membosankan. Seperti
robot yang tak punya kebebasan. Apalagi bagi orang-orang yang memuja kebebasan
dan menghujat orang-orang takut susah yang bersembunyi di balik tembok
rutinitas yang nyaman. Stasiun tivi berlomba-lomba menayangkan pekerjaan
alternative bagai para pegawai yang bosan dengan rutinitasnya. Juga dengan
petualangan-petualangan liar di alam-alam bebas. Mereka semua mencari
kebebasan. Betapa kebebasan begitu didewakan dan dianggap sebagai sesuatu yang
luhur, yang pantas diperjuangkan dan dicari.
Namun
di usiaku yang masih belia ini, aku hanya bertanya-tanya, apa itu kebebasan?
Adakah kebebasan? Jika ada, mungkinkah manusia, aku, kita, mencapainya? Dan jika sudah tercapai, apakah itu berlaku permanen atau temporer? Dan jika permanen, tidakkah yang permanen itu juga membosankan? Mungkinkah suatu saat nanti para
pemuja kebebasan merasa jenuh dengan kebebasannya dan mencari rutinitas? Lantas
apa bedanya kebebasan dan rutinitas?
Tak perlu kau jawab. Seperti biasa, aku hanya meracau.
Langganan:
Postingan (Atom)