Aku menyalahkan Tuhan
lagi hari ini.
Hariku sudah kacau
sejak matahari terbit. Jam wekerku berhenti berbunyi dan membiarkanku tidur
pulas hingga tengah hari. Kurasa aku mabuk semalam. Terlalu bersemangat
merayakan rencana pernikahan salah satu teman yang terkenal playboy. Pulang
ketika orang-orang sedang sholat tahajud dan tidak ingat apa-apa hingga bosku
menelfon. Aku dipecat, karena ini sudah ke lima kalinya aku telat. Sialan. Lalu
sore harinya, pacarku marah-marah karena aku dipecat. Katanya aku terlalu menyia-nyiakan
hidup dan tak serius dengan hubungan kami. Katanya kalau aku serius aku pasti
akan serius bekerja demi masa depan kami selanjutnya. Lalu dia memutuskanku.
Begitu saja. Bisakah kau bayangkan aku menerima pemecatan dua kali dalam
sehari? Seperti jadwal minum antibiotik dari dokter akibat flu berkepanjangan.
Bosku jelas tidak tahu
bahwa aku sudah membuang nominal besar di tabunganku yang pasti akan kuperoleh
jika aku memilih bekerja di perusahaan mutinasional setahun yang lalu, hanya untuk
penerbitan kecil sialan itu. Pacarku juga pasti tidak tahu aku telah membuang
pacarku yang dulu demi dirinya. Padahal aku yakin pacarku yang dulu tidak
sepenuntut dirinya. Hanya karena aku begitu terlena oleh keindahan pacarku, dan
terbutakan oleh hasrat sesaat, lantas aku berpikir bahwa pacarku adalah yang
terbaik. Tak apa-apa kalau dia memang memutuskanku. Tapi tak bisakah ia
melakukan itu esok hari? Supaya aku bisa mengatasi kesedihanku ini satu
persatu? Sekarang bayangkan, temanku yang playboy itu akan segera memasuki
jenjang pernikahan, sementara aku yang sangat setia ini justru akan memasuki
jenjang kesendirian di usia tiga puluh tahun. Ada di mana keadilan yang katanya
diperuntukkan bagi ornag-orang baik sepertiku?
Aku menyalahkan Tuhan
atas semuanya. Aku menolak menyalahkan diriku sendiri karena aku adalah makhluk
ciptaannya. Aku hanya aktor sementara dia sutradara. Kenapa pula aktor harus
bertanggung jawab atas jalan cerita yang tak ia tahu menahu sebelumnya.
Memangnya kenapa wekerku tak mau berbunyi di jam 7 pagi padahal ia telah
menjalankan tugasnya dengan baik selama lima tahun jika bukan Tuhan yang
menggerakannya? Memangnya kenapa bosku yang biasanya pemaaf dan memaklumiku
karena prestasi kerjaku yang gilang gemilang menjadi sadar bahwa etika kerja
lebih dibutuhkan ketimbang skill dan akademis, jika bukan Tuhan yang memberinya
hidayah dan calon-calon karyawan baru yang lebih kompeten dariku? Memangnya
hidayah dari siapa yang menuntunku untuk memilih penerbitan kecil ini dibanding
sederet perusahaan multinasional, jika bukan Tuhan yang menggerakan hatiku
untuk memilih mana yang menjadi passionku? Memangnya kenapa pacarku yang
biasanya asik-asik aja dengan gaya hidupku, mendadak sadar bahwa usianya sudah
banyak dan cinta kami saja tak cukup untuk hidup bersama, jika bukan Tuhan yang
mengarahkannya pada kesadaran akan dosa dan hidup yang sia-sia? Memangnya siapa
yang membuat temanku yang playboy harus menikah sementara aku harus patah hati?
Sekarang bayangkan,
bagaimana ku harus menghidupi hidupku yang sendirian ini setelah ini? Lantas
apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku di kampung sana mengenai kiriman
bulan ini yang absen karena aku tak lagi bergaji? Darimana aku harus mulai
mencari pekerjaan baru dan pacar baru untuk memasuki kehidupan baru? Ha?
Bisakah Tuhan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini?
Kenapa aku tidak boleh
menyalahkan Tuhan atas kacaunya hidupku sementara Dia adalah penciptaku?
Bukankah Dia penggerak yang tidak digerakkan? Bukankah Dia penyebab awal dan
penyebab final atas segala sesuatu? Bukankah Dia hanya memerlukan ‘kun fayakun’
untuk membalik gunung Himalaya dan menjadikannya samudera baru? Lantas mengapa
Dia tidak menciptakan skenario yang asik-asik saja untukku?
Aku bertemu dengan
tukang sapu di jalan. Ia menguliahiku tentang kehendak bebas yang dimiliki
manusia, ketika aku curhat padanya tentang kesialanku seharian ini, dan mungkin
beberapa hari ke depan. Katanya, Tuhan hanya mengatur balasan-balasan dari apa
yang kulakukan. Aku yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Apa yang Tuhan
berikan setimpal dengan apa yang telah kulakukan. Ah, omong kosong!
Berani-beraninya tukang sapu itu bicara tentang balasan setimpal pada setiap
perbuatan kita, sementara dia tak tahu apa yang telah kulakukan hingga di titik
ini. Dia tak tahu betapa aku berani mengambil keputusan beresiko di masa lalu,
yang tak semua orang berani mengambilnya. Aku berani mengambil keputusan.
Seharusnya Tuhan menyiapkan ending yang menyenangkan untuk orang-orang berani
sepertiku.
Seorang ustadz
mengatakan aku kafir ketika aku datang padanya dan menyalahkan Tuhan. Ya, terus
saja mengafirkan aku. Toh dia tidak mengalami kekacauan hidup seperti yang
kualami. Memangnya kepada siapa aku harus meminta pertanggung-jawabkan
kehancuran hidupku yang tak bisa kupertanggung-jawabkan sendiri ini selain
kepada penciptaku? Siapa yang menciptakan aku? Siapa yang minta diciptakan?
Aku benci menyadari betapa
menyedihkannya aku sebagai manusia, hingga terus mencari kambing hitam, karena
terlalu pengecut menghadapi perbuatan sendiri. Betapa kecilnya aku. Betapa
lemah dan tak diperhitungkannya. Aku benci menyadari bahwa aku menyalahkan
Tuhan atas segalanya bukan karena aku selalu benar, tetapi justru karena aku
begitu lemah dan selalu salah. Aku menyalahkan Tuhan karena aku terlalu
pengecut untuk menyalahkan diriku sendiri.
Aku begitu mempercayai
Tuhan itu Maha Kuasa, dan karena itulah aku menyalahkan-Nya atas segalanya.
Silakan kau menyalahkan aku atas pernyataan ini, dan aku akan menyalahkah Tuhan
karena membiarkanku mengeluarkan pernyataan ini. Bukankah sudah kubilang, bahwa
aku ini manusia lemah yang selalu mencari kambing hitam?
23.01 WIB
Dalam iringan lagu Utopia, dan
buku sejarah Indonesia
apple watch 6 titanium - TITanium Art | TITanium Art
BalasHapusTinted titanium undertaker with gold, ivory and the natural titanium water bottle color of the revlon titanium max edition cherry. Made trex titanium headphones for the faintest touch of the gold. thaitanium