Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit
mendebarkan, seseorang asing bertanya kepadaku. Apa itu Bahagia?
Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima.
Pertanyaan yang sepanjang empat tahun telah kugeluti, bersamaan dengan migrain permanen akibat bergadang setiap
malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun
pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku
untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus
trans-Jogja yang sedikit oleng.
Apa itu Bahagia?
Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan
dengan mudah menjawabnya. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor,
dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado
dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik
delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping pak kusir yang
sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-10 tahun itu.
Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang
setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.
Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan
kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah
ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah
itu aku akan menangis kecil, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta,
yang pada saat itu sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku
harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah
diterjemahkan. Barangkali sesungguhnya, aku ingin mengatakan bahwa bahagia itu
bisa bersama dengan orang yang kucintai dan balas mencintaiku, dan berjanji
tidak akan menyakitiku. Barangkali juga, sesungguhnya semboyan ‘cinta tak harus
memiliki’ itu adalah kamuflase dari keharusan memiliki dari cinta. Penolakan
sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mendapatkan cinta. Bingung? Aku juga.
Tapi setidaknya aku tahu apa itu bahagia.
Kalau flashback hingga tiga tahun lalu saja, aku juga masih
bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah
kampur ternama, dengan biaya yang tak terlalu banyak. Orang tuaku bangga, aku
senang, dan aku seolah melihat masa depanku cerah mendadak.
Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa
depanku cerah, dan si orang asing sialan bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari
bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia
dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang
ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di trans-jogja yang mendebarkan
ini.
Apa itu Bahagia (dengan B besar)?
Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang
sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia
dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan
bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b
kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi
bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B
besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.
Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado,
punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku
bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai
yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku
bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu
ternyata tak berperi kemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa
digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B
besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia
dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting
bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan
sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku
tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat
kebetulan dan temporer-temporer yang membuat frustasi semata.
Di tengah kecamuk frustasiku dan desingan otakku yang
berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah
tujuan hidup manusia.
Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.
Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya
segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan sialan itu. Atau jika
tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria
itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah
ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami.
Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.
Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika
orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah
terpenuhi, jawabku sok
filosofis. Jadi batas akhirnya adalah
ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah
penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.
Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah
menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa
bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha
memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia
bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?
Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit
dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah
pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan
dengan orang asing dengan topik seaneh dan semenyebalkan keBahagiaan dengan B besar. Ataukan pria ini seorang
agen dari reality show yang akan
memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus
mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat
dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku
tamat kawan.
Apa itu Bahagia dengan B besar? Apa
batas awal dan batas akhir Bahagia? Apakah seseorang yang berusaha memertahankan
kebahagiaannya masih bahagia? Itu daftar pertanyaan dari pria ini. Kuserahkan padamu,
karena aku telah sampai di halte tujuanku.
Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir
lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa
pusing-pusing mencari Bahagia dengan B besar, jika bahagia dengan b kecil sudah
cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan
membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak
ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.
Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus
memikirkannya?
Pondok Cina
21.40 WIB
#nowplaying: Aku Dimana—Dialog Dini Hari