Bukankah kita makhluk fantasi yang, sialnya, terjebak di dunia nyata? Karenanya aku mencipta dunia tempatku memenjarakan sajak, cerita, dan monolog gelisah yang tak pernah bisa kusampaikan padamu. Selamat datang.
Minggu, November 11, 2012
Aku tidak memintamu tinggal selamanya...
...aku hanya ingin kau tinggal
sejenak
untuk membantuku
melengkapi
puisi tak
rapi ini.
Minggu, Oktober 28, 2012
SAYA-KAMU
Denganmu,
aku ingin memakau sebutan ‘saya-kamu’. Bukan ‘aku-kamu’ atau ‘saya-anda’.
Apalagi ‘gue-elo’. Kenapa? Tidak romantic?
Kaku? Tidak dekat? Tunggu dulu. Kamu belum memahami.
‘Saya-Kamu’
adalah sebuah kata magis, symbol dari segala dualitas perasaan yang tak
terdefinisikan. Bukankah cinta sendiri adalah dualitas? Keindahan dan
ketakutan. Kenyamanan dan kekhawatiran. Pleasure dan Displeasure. Maka saya
mendambakan ini, ‘saya-kamu’ sebagai sebuah symbol keakraban sekaligus jarak
yang tetap terjaga. Sebuah kenyamanan yang tidak larut. Sebuah Pleasure yang
aman dan tidak menyesatkan.
Aku
senang denganmu, namun aku tidak akan mati tanpamu.
‘saya’,
adalah suatu keterasingan. Ingat kan, ketika kita pertama kali bertemu, di
sebuah seminar yang sama-sama membosankan bagi kita. Kamu menggunakan kata ‘saya’
untuk dirimu, dan ‘anda’ untuk saya. Itu adalah sebuah symbol bahwa saat itu
kita adalah dua pribadi asing yang tidak mengenal satu sama lain. Kehidupan
kita berada di frame yang berbeda, dan kebetulan saja saling bersinggungan
akibat semacam aturan ‘kpk dan fpb’.
Sedangkan
‘kamu’, adalah sebuah frase yang terjadi ketika kita sudah saling mengenal.
Sudah saling dekat. Kini frame hidup kita tidak lagi berbeda, walau tidak juga
menjadi sama. Frame hidup kita berbeda, namun saling berinteraksi. ‘Kamu’
adalah kedekatan dan kenyamanan.
Namun
dengan adanya ‘saya’, kedekatan kita tidak melebur. ‘saya’ menjadi semacam control
terhadap hubungan ‘aku-kamu’, yang kunilai sebagai hubungan yang terlalu dekat.
Terlalu ketat. Terlalu mengekang dan membuat sesak. ‘saya’ mengingatkan kita
bahwa pada dasarnya semua manusia adalah asing. Tidak peduli seberapa dekat
mereka dengan manusa lain, tetap saja asing itu adalah faktisitas yang tidak
terelakkan. Terlebih lagi, saya menganggap, bahwa lagu-lagu picisan tentang
cinta yang menyatukan dua rasio, atau mengecilkan jumlah dua menjadi satu,
menjadi KITA dalam sebuah cinta, adalah omong kosong belaka. Selamanya kita
adalah DUA. Tidak pernah menjadi SATU.
Mungkin dengan mereka –mereka, aku bisa saja dengan mudah menyatukan
keDUAan kami dengan sebuah KITA yang SATU yang dipicu oleh suatu kepentingan. Namun saya, denganmu, ingin KITA tetap ada DUA. Walaupun itu tidak berarti bahwa kita
tidak bisa berjalan beriringan.
'aku-kamu' saya, tidak sesakral 'saya-kamu', dengan kamu pahami atau tidak.
Karena
bagaimanapun. Saya menginginkamu, begitu menginginkanmu, pada suatu jarak.
Jarak yang memiliki banyak nama, salah satunya adalah ‘CINTA’.
Rabu, Oktober 03, 2012
Dialog kematian
‘Ada yang mati sore
tadi.’
‘Siapa?’
‘Orang kampung sebelah.
Ah, kata tetangga-tetangganya, si almarhum masih kerja di sawah siangnya. Dan
menjelang sore, mungkin Cuma dua jam sebelum dia mati, dia masih minum kopi di
warung. Aneh sekali.’
‘Ah. Maut, seperti juga cinta. Tak
pernah tertebak kapan dan dimana.’
‘Iya, dan itu
mengerikan.’
‘Kau takut mati?’
‘Siapa yang tidak?’
‘Kenapa kau takut padanya?’
‘Yaaah semacam
ketidakrelaan meninggalkan dunia ini.’
‘…’
‘Banyak hal yang
belum kuselesaikan di dunia ini.’
‘Maksudmu masalah pekerjaan?’
‘Bukan. Aku tidak
pernah memikirkan masalah pekerjaan saat membicarakan masalah ini. Aku hanya
memikirkan…kau tahu? Hidupku ini adalah pencarian. Jangan tanya pencarian akan
apa, karena aku sendiri juga tidak tahu tepatnya. Kusebut saja, pencarian akan
Aku, diriku, yang kadang aku tak tahu juga kemana arah pencarian ini. Kau tahu?
Hidup itu adalah proses kan? Aku yang ada di depanmu ini bukanlah Ara, hanya
seseorang yang sedang menjadi Ara. Sedang berproses menjadi Ara. Aku takut
kematian menjemputku sebelum aku menemukan Ara dalam diriku. ‘
‘Baiklah. Aku paham.’
‘Tidak, kau tidak
pernah paham. Akupun tidak.’
‘Tapi, hidup itu apa sih? Kalau orang
jawa bilang, hidup itu ibarat Cuma mampir ngombe. Cuma numpang minum. Misalkan
kita dalam perjalanan, kita haus, lalu kita mampir ke warung membeli kopi. Tapi
kau kan tidak bisa selamanya ada di warung itu? Kau kan harus melanjutkan
perjalananmu bukan?’
‘Kamu tidak takut
mati?’
‘Takut tidak takut, aku akan tetap mati
suatu saat nanti. Jadi untuk apa takut pada sesuatu yang sudah pasti seperti
itu?’
‘Tapi kematian itu
tidak pasti datangnya. Tidak ada yang tahu kan kita mati kapan dan dimana?
Itulah yang mengerikan. Aku selalu memikirkan bagaimana kematianku nanti.
Bagaimana jika aku mati ketika aku sedang berada di dalam angkot, dengan tidak
ada seorangpun yang mengenalku? Atau bagaimana jika aku mati ketika aku sedang
piknik sendirian di gunung, dan tak ada yang menemukan mayatku hingga membusuk?
Kematian itu tidak pasti. Tidak bisa dipersiapkan.’
‘Ya ya ya, aku mengerti pikiranmu. Dulu
aku juga berpikir seperti itu ketika aku seumuranmu. Tapi kalaupun tidak di
angkot atau di gunung, kamu juga akan mati. Dimanapun. Dengan atau tanpa ada
yang mengenalmu. Ketakutan akan kematian itu sia-sia, karena takut-tidak takut tidak
akan menghilangkan kemungkinannya. Boleh kamu merisaukan hal-hal seperti yang
kamu sebutkan tadi, tapi jangan berlarut-larut. Buat apa? Toh, pas kita mati
nanti kita tidak akan tidak akan mengetahui apa-apa lagi. Wes enek sing ngatur.
Seharusnya ketakutan akan mati itu malah menjadi suatu semangat’
‘Semangat?’
‘Ya. Kau bilang tadi mati itu tidak
bisa dipersiapkan. Siapa bilang? Dengan memahami bahwa kau akan mati suatu saat
nanti, itu adalah persiapannya. Maka lakukanlah hal-hal yang ingin kamu lakukan
sebelum kamu mati. Lakukan sebaik-baiknya dan ingatlah karena setelah kamu
mati, kamu tidak bisa lagi melakukan hal itu.’
‘Hal seperti apa?’
‘Kalau orang beragama, maka lakukanlah
amalan-amalan yang mewujudkan kecintaanmu kepada Tuhanmu. Dekatkanlah dirimu
pada Tuhanmu, agar nanti ketika kematian tiba, kau akan senang menyambutnya.
Dan jika kamu seorang pekerja keras, maka teruskan pekerjaanmu. Tetap semangat.
Lakukan pekerjaanmu semaksimal mungkin dan capailah hal-hal yang ingin kau capai.
Berusahalah terus menerus sampai kematian menjemputmu sebagai kawan lama.
Bukankah sebagai manusia, hanya itu yang bisa kita lakukan?’
‘Jadi kamu tidak
takut mati?’
‘Yang penting aku berusaha. Masalah
nanti aku mati, dan aku memang pasti mati, itu adalah urusan Gusti Allah.’
‘Jadi kamu tidak
takut mati?’
‘Percayalah, selama kita masih hidup,
kematian itu tidak akan datang. Dan ketika kematian datang, kita sudah tidak
ada.’
‘Maksudmu, kita
tidak pernah berjumpa dengan kematian?’
‘Anggap saja begitu bila itu lebih
mudah.’
Sebuah rekaman dialog dalam
kepala di tengah malam
01/10/12
Minggu, September 30, 2012
Permainan
Ada yang hilang fajar itu.Saat kau membisikan puisi tanpa rimaDan seluruh kota masih terlelapKau bilang ini hanyalah permainanAku paham bagian itu, bukankah hidup memang permainan?Yang bisa saja kau tinggalkan jika kau telah bosan?Aku masih ingat layang-layang yang kita mainkan ketika kecilSengaja kau terbangkan tinggi menantang anginLalu kau gulung benang ketika kau bosanLayang-layang jatuhTerpurukLalu tersangkut pada atap musholaTak bisa turun
Aku juga masih ingat petak umpet yang sering kita mainkan
Kau datang seperti api
Mengendap-endap
Lalu menepuk tugu batu yang kujaga habis-habisan
Kau menang, aku larut dalam permainan
Kali lain masih aku yang berjaga
Kau bersembunyi
Entah dimana
Dan tak kembali hingga senja merona dan bumi memanggilku
Kulihat kau terbang pagi iniKetika fajar mulai berlalu dan seisi kota mulai terbangunAku bisa saja memanggilmuMenuangkan teh dalam gelasDan memintamu untuk tetap tinggal.Tapi kau bilang semua ini permainanMaka seluruh panggilanku adalah permainanAku bisa saja menahanmuMenggandeng tanganmu dengan keseluruhan kuasakuTapi bukankah semua hanya permainan?Maka seluruh kuasaku adalah permainanKau pergiAku tinggalKita berpisah jalanPagi itu, hari itu, Rasa itu
Karena kau bilang ini hanyalah permainanSebuah permainan di akhir September
Sabtu, September 15, 2012
........................
Pernahkah kau merasa ada bagian dari memorimu dicabut begitu saja tanpa peringatan?
Bagaimana jika apa yang kau pikirkan seharian, atau bahkan seumur hidupmu, menghilang begitu saja dalam satu kedipan mata?
Bagaimana jika untuk mendapatkan ingatan itu kembali, kau harus mengulang rutinitasmu sebelumnya, meneliti satu-demi satu seperti mencari uang yang jatuh dalam perjalanan dari pasar?
Aku pernah merasakannya.
Entah proses kimia apa yang sedang terjadi dalam diriku, namun aku merasa seperti ada penghapus temporal dalam kepalaku. Iseng, aku menyebutnya dengan short memory syndrom. Ide, gagasan, dan cerita dalam pikiranku datang dan pergi sesuka hati. Terkadang datang begitu saja dengan wajah manis dan senyum ramah. Namun sebelum aku menyapanya dengan menyguhkan minuman, dia telah pergi. Tanpa pamit. Apa yang ingin kukatakan padamu, menggebu-gebu, hingga aku rela berlari untuk menemuimu, bisa menghilang begitu saja begitu aku tiba di hadapanmu. Tampangku seperti orang tolol. Dengan alis terangkat dan bibir tertekuk ke dalam, dan mata juling ke salah satu arah. Sebenarnya, saat itu aku sedang berusaha mengingat-ingat ide brilian apa yang hendak kusampaikan. Tapi maaf, dia sudah pergi dan akan kembali di suatu pertiga malam yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Dan aku telah terlalu malas untuk kembali menemuimu, dan hanya untuk kembali memasang wajah bodoh.
Ini memang curhat, aku tidak menyangkal. Aku hanya...tidak tahan untuk tidak mengungkapkannya. Kau akan tahu rasanya jika kau jadi aku. Berkali-kali menjadi orang tolol, atau dianggap tolol, hanya karena permasalahan di kepalaku.
Lain kali, jika aku bertingkah tolol lagi, pasti kau akan lebih mengerti.
Bagaimana jika apa yang kau pikirkan seharian, atau bahkan seumur hidupmu, menghilang begitu saja dalam satu kedipan mata?
Bagaimana jika untuk mendapatkan ingatan itu kembali, kau harus mengulang rutinitasmu sebelumnya, meneliti satu-demi satu seperti mencari uang yang jatuh dalam perjalanan dari pasar?
Aku pernah merasakannya.
Entah proses kimia apa yang sedang terjadi dalam diriku, namun aku merasa seperti ada penghapus temporal dalam kepalaku. Iseng, aku menyebutnya dengan short memory syndrom. Ide, gagasan, dan cerita dalam pikiranku datang dan pergi sesuka hati. Terkadang datang begitu saja dengan wajah manis dan senyum ramah. Namun sebelum aku menyapanya dengan menyguhkan minuman, dia telah pergi. Tanpa pamit. Apa yang ingin kukatakan padamu, menggebu-gebu, hingga aku rela berlari untuk menemuimu, bisa menghilang begitu saja begitu aku tiba di hadapanmu. Tampangku seperti orang tolol. Dengan alis terangkat dan bibir tertekuk ke dalam, dan mata juling ke salah satu arah. Sebenarnya, saat itu aku sedang berusaha mengingat-ingat ide brilian apa yang hendak kusampaikan. Tapi maaf, dia sudah pergi dan akan kembali di suatu pertiga malam yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Dan aku telah terlalu malas untuk kembali menemuimu, dan hanya untuk kembali memasang wajah bodoh.
Ini memang curhat, aku tidak menyangkal. Aku hanya...tidak tahan untuk tidak mengungkapkannya. Kau akan tahu rasanya jika kau jadi aku. Berkali-kali menjadi orang tolol, atau dianggap tolol, hanya karena permasalahan di kepalaku.
Lain kali, jika aku bertingkah tolol lagi, pasti kau akan lebih mengerti.
Selasa, September 11, 2012
yang-tak-pernah-kau-sadari
Namaku
mimpi.
Mungkin
kamu pernah mendengarku diantara celoteh remaja-remaja tanggung yang duduk
bersama di salah satu sudut café. Mungkin kamu juga pernah mendengarku dari
mulut para pengemis yang duduk di pinggir jalan dengan kaki pincang
dibuat-buat. Tak jarang pula para gerombolan eksekutif muda yang baru pulang
kantor juga memperbincangkanku. Terkadang dalam percakapannya yang tak kalian
mengerti, lebah-lebah dan madu, kumbang sari dan putik, kucing dan tikus, kopi
dan teh, mereka semua mengenalku. Aku benar-benar terkenal, tanpa tahu mengapa
mereka semua mengenalku.
Namaku
mimpi.
Aku
bisa menjadi teman baikmu, yang membuatmu berbunga-bunga hingga rasa luka dunia
tak lagi ada. Namun aku bisa pula menjadi musuhmu, yang membuatmu terkadang
berpikir dunia tak layak ditempati. Aku bisa menjadi sebuah sarang keindahan
dimana tembok-tembok perkasa melindungi apapun di dalamnya dari segalaa
kesengsaraan. Namun aku bisa juga menjadi bom nuklir yang menghacurkan segala
yang kau lihat dan kau rasakan, membuatmu sesenggukan di sepertiga malam yang
gelam, yang tak kau sadari.
Namaku
mimpi.
Terkadang
kau begitu membutuhkanku sebagai tempat pelarianmu, bukan? Aku bisa menjadi
tempat persembunyian yang terbaik daripada benteng-benteng kokoh yang dibangun
oleh bangsa penjajah. Aku bisa menyelamatkanmu dari apapun yang kau takuti dan
menggantikannya dengan segala yang kau inginkan yang bahkan tak pernah kau
sadari bahwa kau menginginkannya. Aku bisa menjadi begitu pahlawan bagimu. Tapi
jangan lupa diri.
Namaku
mimpi.
Aku
bisa menjadi begitu buruk bagimu. Menceritakan ketakutan-ketakutan terdalammu,
yang bahkan tak pernah berani kau pikirkan. Aku bisa membeberkan segala aibmu
dalam sebuah potongan film yang kadang pendek dan kadang terlalu panjang, yang
membuatmu menyesal telah mengenalku. Aku bisa memberikan gambaran dari hal-hal mengerikan
yang tidak pernah ingin kau temui. Aku bisa menjadi begitu monster bagimu. Tapi
jangan lupa diri.
Namaku
mimpi.
Aku
terkadang tahu balas budi. Aku bisa membuatmu menjadi apapun yang kau inginkan,
asal kau memeliharaku dengan baik. Namun aku juga bisa menjatuhkamu hingga
dasar yang paling dasar jika kau hanya setengah-setengah memperhatikanku.
Itupun tidak selalu. Ketika kau meneken kontrak denganku, kau harus siap dengan
apapun yang akan kutunjukkan. Kau tidak bisa mendikteku untuk begini atau
begitu. Semuanya tergantung mood
penciptamu. Namun keberadaanku, akan membuatmu menjadi begitu kuat, ataupun
lemah selemah-lemahnya. Berhati-hatilah terhadapku.
Namaku
mimpi.
Aku
bisa membuatmu menjadi manusia. Namun aku juga bisa membuatmu menjadi semangkuk
kolak pisang. Jangan kaget, bisa jadi aku malah membuatmu menjadi buku tulis.
Aku bisa membuatmu menjadi apa saja, tanpa pernah kau sadari.
Namaku
mimpi.
Orang
bilang aku adalah awal dari kehidupan. Jangan salah, aku juga bisa menjadi
akhir kehidupan.
Namaku
mimpi.
Aku
tidak berbekas. Tidak bertanda. Tidak berciri. Tidak mampu kau sadari.
Namaku
mimpi.
Kadang
kau mengira telah terbebas dariku, padahal kau sedang hidup di alamku. Kadang
juga kau merasa sedang bersamaku, padahal aku sedang absen darimu.
Namaku
mimpi.
Kau
tidak pernah bisa menebak kapan akan bertemu denganku. Kau tidak akan bisa
menebak bagaimana suasana hatiku hingga apa yang akan kutampilkan padamu,
apakah kebaikan ataukah keburukan. Kau juga tidak akan bisa membedakan keberadaanku
dan ketiadaanku.
Namaku
mimpi.
Bisa
jadi aku akan mendatangimu malam ini.
Namaku
mimpi.
Saat
kau membaca tulisan ini, bisa jadi aku sedang mendatangimu.
Senin, September 10, 2012
Antitesis
Tesis
Antitesis
Sintesis
Tesis
Antitesis
Sintesis
Aku
Kamu
Aku
Kamu
Kita
?
Aku, meniadakanmu.
Kamu meniadakanku.
Sintesis: Rindu mengamuk tak tahu
yang dituju.
Langganan:
Postingan (Atom)