Cinta
itu, sayang, percaya, atau nyaman?
Itu adalah pertanyaan yang tiba-tiba saja
diajukan kepada saya, di suatu malam dimana hujan sedang mengamuk dan atap
kosan yang terbuat dari asbes berderit-derit mengharukan. Lihat, bahkan alam
pun mendukung pembicaraan cinta ini. Benar, cinta itu mengharukan. Membicarakan
cinta, seperi membicarakan udara. Tidak akan berhenti sampai manusia mati dan
tidak lagi membutuhkan udara. Tidak bisa menyalahkan juga, jika lagu-lagu dan
novel-novel banyak yang membicarakan tentang cinta, karena cinta adalah tema
yang tidak pernah terpatok era ataupun wilayah. Mungkin cinta itu trasenden,
terlepas dari kategori 'space' and 'time'. Sebelumnya, mari kita
perjelas dahulu, bahwa walaupun memasukkan unsur-unsur ilmiah, namun tulisan
ini tetap tidak bisa diterakan metode verivikasi ataupun falsifikasi. Ini memang
bukan tulisan ilmiah. Semi ilmiah pun bukan. Ini hanya sekedar refleksi atas kejenuhan mengerjakan
tugas, yang mengundang kegalauan. Seorang teman pernah berkata, bahwa kegalauan
adalah sumber kreativitas. Bukankah itu juga yang membuat para filosof
eksistensialis mendadak terkenal dan masuk ke dalam berbagai buku sejarah? Mari
berpikir ulang bagi mereka-mereka yang selalu menerakan makna peyoratif pada
kata galau. Namun, mari sejenak kita melupakan logika, karena pembicaraan ini
tentang cinta, maka saya akan mendukung sebuah frasa yang saya buat sendiri,
namun sangat-sangat terinspirasi oleh Nietzsche
'Rasionalitas sedang pingsan,
saatnya Irrasionalitas berjaya!'
Baik, ini memang sebuah pembelaan atas sebuah
karya yang belum pasti. Lalu kenapa?
Baiklah, sebelum melebar kemana-mana, mari kita
'bercinta' secara tidak ilmiah.
Cinta terlepas dari kategori 'Space' dan
'Time' , kenapa? Karena saya setuju dengan pendapat Gabriel Marcel, bahwa
cinta itu dasarnya adalah fidelity. Dalam cinta, kehadiran secara
harafiah tidak lagi diperlukan, ketika perjumpaan telah dilewati, maka kedua
subyek dalah cinta itu telag menghadirkan dirinya kepada subyek yang lain
dengan cara yang berlainan. Cinta mengatasi dunia, karena sifatnya yang
membangkitkan. Seseorang mencintai yang sudah mati, itu bukan sesuatu yang
patut dipertanyakan. Seseorang mencintai orang yang tidak pernah ditemuinya di
dunia nyata selain di layar laptop atau di siaran-siaran televisi, itu juga
tidak perlu dipertanyakan. Bukankah sudah jelas? Fidelity atau kesetiaan
subyek akan subyek lain, adalah sebuah jaminan atau labirin kehidupan bagi
cinta. Ketika subyek I mempertahankan cintanya untuk subyek II yang sudah mati,
bukankah cinta telah mengatasi dunia? Tidak ada harapan yang diharapkan oleh si
Subyek I atas Subyek II yang sifatnya materi.
Oke oke, pembicaraan tentang cinta yang mengatasi
dunia dan waktu ini memang sedikit utopis. Karena Sartre mengatakan bahwa
karena pada dasarnya Subyek I adalah predator bagi Subyek II, dan keduanya
slaing mengobyekan, maka suatu cinta yang tulus tanpa harapan apapun, yang
saling memandang antara subyek dengan subyek, bukan subyek dengan obyek, adalah
tidak mungkin. Namun apa salahnya mengharap-harap sesuatu yang utopis? Justru
karena utopis itulah dia menjadi diharapkan. Bukankah manusia memang suka
mengharapkan yang tidak mungkin? Namun selama manusia masih mampu
memikirkannya, adakah yang tidak mungkin itu?
Semakin melebar, baiklah.
Jadi, cinta itu nyaman, sayang, atau percaya?
Jawaban saya: Bukan ketiganya.
Jika cinta itu adalah nyaman, maka
tujuannya bisa begitu melebar. Perasaan nyaman, bisa terjadi karena faktor apa
saja juga kepada siapa saja. Kenyamanan ini begitu terbatas pada kategori space
and time. Saya bisa merasa nyaman TIDAK HANYA dengan orang yang saya cintai,
tetapi dengan siapapun yang saya SUKAI. Saya nyaman bicara dengan orang yang
mengerti dengan apa yang saya bicarakan, saya nyaman berada di samping orang
yang seleranya sama, saya nyaman berada di dekat orang yang ramah dan humoris,
saya nyaman berada bersama SIAPAPUN asalkan suasana hati saya sedang bagus.
Namun saya juga bisa merasa TIDAK NYAMAN dengan SIAPAPUN saat suasana hati saya
sedang tidak menyenangkan.
Jika cinta itu sayang,... bukan. Cinta bukan
sayang. Ini memang menyalahi hukum logika nomor sekian, dengan mengatakan bahwa
cinta bukan sayang tanpa bisa menjelaskan alasannya. Tidak ada alasan, hanya
saja saya merasa sayang berada setingkat di atas cinta. Mungkin sayang itu
analog dengan cinta platonis, dimana tidak ada keingin untuk memiliki. Tapi
yang paling penting, sayang bisa kepada siapa saja. Entahlah, saya sedang
bicara apa. Tapi cinta itu bukan sayang.
Nah, jika cinta itu percaya, apa gunanya
Descartes mengagung-agungkan rasio manusia sebagai yang paling utama? Karena
bukankah cinta itu sendiri tidak selalu percaya? Jika Subyek I selalu percaya
dengan Subyek II atau sebaliknya, maka dimana rasio subyek I? Itu bukan cinta,
tetapi sekedar ketergantungan yang mungkin dalam istilah Sartre disebut dengan Bad
Faith. Ketika cinta itu adalah percaya, maka cinta tidak bisa lagi
didiskusikan. Inilah yang membuatnya, menurut Habermas, menjadi rawan distorsi.
Cinta itu melibatkan dua Subyek, yang masing-masing memiliki rasio, yang
pastinya berbeda. Percaya, secara tidak tertulis bisa menghancurkan dua rasio
itu sendiri. Dan pikirkan hal ini, pengkaitan cinta dengan percaya, bukankah
menutupi makna dibaliknya, bahwa Subyek yang menyerahkan kepercayaannya kepada
subyek yang dicintainya itu, sebenarnya sedang mencoba berlari dari
ketakutannya sendiri, mencoba menghindari kemungkinan terburuk yang sebenarnya
telah dia pikirkan. Dengan dalih 'percaya' ia mencoba membuang segala
ketakutan-ketakutannya, karena apabila ketakutan itu terjadi maka dia akan
kehilangan pegangan. Maka selama ia masih membutuhkan cinta itu, maka selama
itulah topeng percaya sedang ia kenakan.
Tapi tidak seperti itu. Cinta itu bukan sekedar
percaya, cinta itu harus dipertanyakan.
Lalu cinta itu apa?
Cinta itu sifatnya sintetis apriori.
Konsep cinta ada di dalam kepala manusia sejak zaman Yunani kuno hingga abad
kontemporer, namun cinta baru akan terepresentasikan ketika bertemu dengan
obyek di dunia nyata. Cinta hanya akan menjadi konsep yang mengawang-ngawang di
rasio individu sebelum individu itu menemukan individu lain yang bisa
merepresentasikan 'konsep' cinta itu.
Disinilah masalahnya. Menurut saya pribadi, cinta
itu kalau dalam kamus Immanuel Kant sifatnya Das Ding An Sich. Apa itu
cinta yang sebenarnya tidak bisa diketahui, karena setiap kaca mata merah yang
melihatnya, melihatnya secara berbeda. Cinta adalah nomena, dan yang kita
diskusikan berparagraf-paragfar di atas tadi hanya sekedar fenomena. Setiap
rasio yang mampu bicara, berhak mengatakan apapun tentang cinta. Definisi
tentang cinta, tidak bisa dibekukan dalam kamus besar bahasa Indonesia atau
kamus besar Oxford. Definisi tentang cinta telah ada di dalam rasio manusia,
seperti ide bawaan, yang artinya tidak selalu sama. Tidak ada definisi tentang
cinta yang salah, karena cinta itu Das Ding An Sich.
Saya pribadi, yah, karena cinta itu das ding
an sich, dan konsep cinta dalam kepala saya belum bertemu dengan
representasinya, maka saya tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana: Cinta
Itu Apa?
Dan saya juga belum yakin, bahwa cinta itu ada
ataukah hanya sekedar mimpi-mimpi utopis yang sifatnya kolektif. Saya juga
tidak tahu apakah cinta itu benar-benar ada ataukah hanya sekedar bahasa
penghalus dari hasrat menguasai seperti yang dikatakan oleh Nietzsche.
Namun kali ini untuk menyenangkan para penyair,
saya memilih mengatakan: Biar waktu yang menjawabnya.
Terima kasih sudah berbagi informasi menarik dan bermanfaatnya
BalasHapusTetap semangat untuk share info yang lainnya!!!!