Suatu malam yang terlalu dingin, saya dikejutkan oleh sebuah twit, yang mengaku tersentuh dengan tulisan-tulisan di blog ini. 'Tersentuh' itu tampaknya term yang berlebihan ya. Lalu apa? Entahlah.
Singkatnya, si pengirim twit, bela-belain membuat satu puisi yang konon katanya sebagai puisi yang menggenapi puisi-puisi saya yang ada di bagian 'Tentang Aku dan Kamu'. Dan penciptanya juga meminta supaya saya memposting puisi itu di label yang sama. Namun rasanya kok puisi ini terlalu berat ditaruh di label itu. Jadi saya memutuskan untuk memindahkan ke label lain. Mau saya labelin apa, ngomong-ngomong? Entahlah. Saya juga bingung.
Singkatnya, si pengirim twit, bela-belain membuat satu puisi yang konon katanya sebagai puisi yang menggenapi puisi-puisi saya yang ada di bagian 'Tentang Aku dan Kamu'. Dan penciptanya juga meminta supaya saya memposting puisi itu di label yang sama. Namun rasanya kok puisi ini terlalu berat ditaruh di label itu. Jadi saya memutuskan untuk memindahkan ke label lain. Mau saya labelin apa, ngomong-ngomong? Entahlah. Saya juga bingung.
Nah, si pengirim twit mengaku ini adalah puisi bertema eksistensialisme. Tentang kegundahan si penulis akan dirinya sendiri. Saya juga merasa begitu. Namun apakah puisi ini hanya bertemakan eksistensialisme? Entahlah juga. Bukankah puisi memang selalu ambigu dan rancu? Jika bingung, cobalah buka tulisan saya yang berjudul 'Tentang Aku dan Kamu', katanya puisi ini berawal darisana. Dan cobalah renungkan, apakah ada kaitannya.
Jadi, silakan dibaca, persoalan penafsiran ganda, tidak masalah. Itu urusan pembaca dan Tuhan yang maha Esa.
PUISI YANG MENGGENAPIKamu boleh saja dapati aku di mulut si pendusta atau rapalan doa si pemujaDibedaki oleh si penyairDijadikan guyonan oleh si satirMerangkak dalam lamunan nasib tukang becakMatanya bertumpu pada atap-atap gedung tukang injakMenggerogoti layar-layar pesakitanBerdengung dalam firman tuhan dan setan dan alasan dan kesakitan dan buruan dan ketakutan dan taman-taman para biduan surga melepas pakaian perlahanAku hanya kata “jadilah terang!” maka jadilah, katanyaKamu bisa bunuh siapapun kecuali akuPadahal aku hanya kataTiada beda siapa yang cipta akuTiada beda aku terlahir dari si pecundang atau si pelontar peluruSebab aku hanyalah kata yang tidak tidurDan tidak pula kaburSerumit-sederhana telur mata sapi, aku menggenapiLebih miskin dari para fakir, jika begitu aku lebih kaya dari para kikirLebih pintar dari ahli pikir, jika begitu aku lebih jauh berjalan daripada musafirBila kamu coba kejar aku dengan pemahamanmu dan akhirnya kau lelah,Maka bersandarlah pada akar-akar besarkuBila kamu duduk di antara akarku dan menunggu jatuhnya apel,Namun ternyata aku menjatuhkan sepotong kalimat cinta yang tak lengkap tepat di ubun-ubun kepalamuLihatlah ke atas, niscaya kamu temukan ujung-ujungnyaJangan kecewaKamu,Ya, kamu yang kecil lagi tak diperhitungkanBerhentilah sesunggukanBerhentilah memikirkanBerhentilah, maka kamu akan menemukanAh, siapalah aku?Hanya puisi, himpunan logika tulisan dan bisikan isi hatiHanya kata, yang bisa dituturkan agar kekasihmu tak pergiHanya tipu muslihat agar kamu terlihat kuatHanya cahaya di tangan anak yang berdendang riang di atas kerbau milik alamnyaHanya cinta sederhana yang dibidani pujanggaHanya keberanian untuk hidup dan nafas bagi Chairil yang ingin hidup seribu tahun lagiHanya apapun di luar yang kamu pikirAku bisa memperkayaAku bisa memperdayaAku ingin kembali pada dirikuNamun diriku ada dalam dirimuAkulah si puisiYang kabarnya bisa bikin kamu lebih mati daripada ditembus pelor senjata apiAkulah si puisi yang konon tak bisa matiNamun, hingga tulisan ini di akhiri olehmuAku belum memutuskan siapa akuTapi bolehlah aku berdusta jika malam iniDan malam-malam berikutnya sejak kamu, adik, selesai membaca tulisan ini.Aku sudah dan selalu tertidur bersamamu. Menggenapi
oleh@zisfauzi
keren kakak puisinya,
BalasHapussiapa yang buat?
mantep sekali puisinya gan
BalasHapusterimakasi.