‘I become through my relation to the Thou, as I become I, I say thou. All real living is meeting.’
-Martin Buber-
Ini adalah sebuah protes. Murni sebuah protes dari sebuah hubungan yang telah berjalan bertahun-tahun. Namun protes kali ini sungguh mengganggu segala nuraniku. Tapi apakah kau menyadarinya? Jika nuraninya tersentak atas protes yang kau ajukan siang tadi? Ataukah kau sudah tidak lagi memikirkannya? Mungkin aku juga seharusnya sudah melupakannya, saat kau memutuskan untuk memaafkanku. Tapi tidak bisa. Protesmu itu masih menggaung, memenuhi ruang di otakku.
Aku harus mati-matian memikirkannya.
‘Kenapa kamu selalu menyuruhku ini itu? Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Memangnya kenapa kalau aku merokok? Memangnya kenapa kalau aku berantakan? Kenapa kamu menyuruhku berhenti melakukan hal-hal yang menjadikan identitasku? Untuk apa kamu bersamaku jika kamu terus-terusan memintaku menjadi orang lain? Siapa yang sebenarnya kamu cintai? Aku? Atau orang lain yang kau suruh aku menjadi?’
Sial. Kata-katamu itu terlalu menusuk. Terlalu kasar, walau setelah kupikirkan, aku tidak tahu bagian mana yang kasar.
Tapi kau benar. Kau sungguh benar, sayang. Ini adalah sebuah parados yang ternyata baru kusadari ketika kau membentak, memprotes, dan menyuruhku berpikir ulang.
Ketika seseorang mencintai orang lain, apa yang sebenarnya Ia lihat? Benarkah Ia melihat Dia yang Ia cintai sebagaimana yang Ia lihat? Ataukah Ia bisa melihat potensi Dia untuk menjadi apa yang Ia mau dengan menawarkan sebuah cinta?
Apakah benar, ada perubahan yang di atas namakan cinta?
Inilah yang sering terjadi di sinetron-sintetron remaja. Dengan cinta seorang preman bisa menjadi santri. Dan atas nama cinta, seorang brengsek bisa menjadi orang baik. Katanya, demi cinta juga, seseorang berubah penampilan. Tapi dengan segala perubahan itu, sayangku, apakah cinta masih ada di tempatnya yang seharusnya?
Dulu ada seorang teman yang mengatakan bawa aku menerima si X menjadi pacarku, mungkin aku bisa mengubahnya menjadi seorang laki-laki yang lebih baikl, yang tidak berandalan, yang tidak suka mabuk-mabukan, dan yang rapi. Ya, memang begitulan si X itu. Jangan cemburu sayang, kejadian itu sudah lama berlalu. Lagipula, aku memang tidak pernah menerima si X.
Kau bertanya mengapa? Bukankah sudah jelas jawabannya. Jika aku menerima si X menjadi kekasihku dengan alasana supaya aku bisa lebih mengontrolnya, memaksanya merubah diri dengan dalih cinta yang agung, maka sebenarnya aku tidak pernah mencintainya. Aku mencintai sosok yang akan kurubahkan kepadanya, yang sepertinya aku meminta si X menjadi. Lalu kenapa aku harus bersama si X, jika aku aku tidak pernah mencintainya sebagaimana dirinya sendiri?
Kata Martin Buber, hubungan yang seperti itu adalah hubungan I-it. Hubungan dimana aku bisa saja membendakan si X, menjadikannya seperti apa yang aku mau dengan dalih cinta. Kamu tau Martin Buber kan, sayang? Dia adalah seorang filosof cinta, katakan demikian jika lebih mudah. Intinya, aku menyukai konsepnya tentang hubungan antarsubyektifitas. I-it dan I-Thou. I-Thou ini, adalah kebalikan dari I-it. Bukan kebalikan sebenarnya, tetapi adalah tahap kemungkinan metamorofsis sebuah hubungan I-it. Kalau sudah I-Thou, sayang, maka aku tidak akan memintamu menjadi begini, menjadi begitu, harus begini, harus begitu. Bahkan aku tidak akan peduli lagi bagaimana dirimu. Aku tidak bisa menatapnya lagi. Yang kutahu adalah, bahwa aku mencintaimu. Keseluruhan dirimu. Tanpa alasan, tak bisa dijelaskan. Begitu saja.
Bukankah itu indah sekali, sayang?
Maafkan aku khilaf, sayang. Maaf kan tadi aku melarangmu merokok. Maka, atas nama Buber, kupersilahkan kau meneruskan kebiasaanmu itu. Tapi sayang, yang kamu harus tahu adalah, bahwa aku juga mempunyai hak atas paru-paruku sendiri. Aku punya kebebasan untuk menjaga paru-paruku dari asap rokok yang bisa membuat penyakit asmaku kambuh. Jadi bagaimana? Mari kita pikirkan solusinya. Supaya aku tidak mengganggu eksistensimu, dan kamu tidak mengganggu eksistensiku. Supaya dari kita tidak ada yang berubah, tetap sama seperti ketika kita saling jatuh cinta.
Tapi bisakah itu terjadi, sayang? Bisakah kita mempertahankan bagaimana kita, sedangkan dunia terus menggempur kita dari luar. Dunia terus-terusan meminta kita menjadi sesuatu yang lain. Ah, aku sudah mulai keluar dari konteks hubungan kita. Tapi biarlah. Aku sedang ingin berpikir. Aku hanya berharap kau mau mendengarnya, itu saja.
Jadi kembali ke permasalahan tadi. Dunia selalu meminta kita menjadi sesuatu yang lain. Bahkan tidak jarang dunia meminta kita menjadi pembunuh. Bagaimana ini, sayang? Jika kau ingin bertahan dengan rokokmu, sungguh aku tidak keberatan. Tapi bukankah banyak orang lain, yang kebetulan sama sepertiku, terganggu dengan asap rokokmu? Bagaimanapun juga, kebebasan eksistensimu itu dibatasi oleh kebebasan eksistensi orang lain. Begitu kata Jean Paul Sartre. Hell is other people, sayang. Memang sudah takdirnya jika orang lain membuatmu berubah. Bahkan ketika kau ingin mempertahankan dirimu dan tidak menghiraukan pilihan orang lain, tapi kau tidak bisa menghindar dari rasa malu, marah, tertekan, sedih, dan juga cinta. Orang lainlah yang membuatmu bisa merasakan demikian. Maka jangan heran jika banyak orang yang menginginkanmu begini begitu. Mungkin memang itu sudah jalannya. Kebebasan yang kau miliki itu, sekaligus juga ketidakbebasanmu. Ini rumit memang. Aku masih bekerja keras untuk memikirkannya.
Lantas, bagaimana dengan cinta? Mungkin kah ada sebuah hubungan yang tidak mempunyai harapan apa-apa satu sama lain? Mungkinkah jika aku menerimamu begitu saja, bahkan saat asap rokokmu itu menggangguku dan membuatku asma? Dan mungkinkah kau tidak terganggu dengan keadaanku yang sesak nafas, sementara kau tahu sendiri bahwa aku sesak nafas karena rokok yang kau hisap?
Jika orang lain mungkin akan berkata begini: Kalau kau menyayangiku, dan masih ingin bersamaku, maka buanglah benda sialan itu! Aku ingin kita berdua menjadi ornag yang sehat! Bukan ornag yang terancam kanker paru-paru gara-gara rokokmu!
Selintas kalimat itu tampak biasa saja. Tapi aku tidak akan pernah mengatakan itu lagi, sayang. Tidak akan pernah. Aku hanya akan mengatakan bahwa ketika kau berhenti merokok, itu adalah hasil dari kebebasanmu. Itu adalah sebuah tanggung jawabmu kepada dirimu sendiri dan kepada dunia. Aku tidak akan menyuruhmu berhenti merokok lagi. Tidak akan pernah. Mungkin suatu saat nanti, kau akan menyadari bahwa rokok itu buruk, dan berhenti merokok sama sekali. Mungkin suatu saat nanti kau akan bisa membaca harapanku tanpa aku harus bicara. Mungkin suatu saat nanti kau bisa berubah. Tanpa aku harus merubahmu, tapi karena kau ingin merubah dirimu sendiri. Bukan demi aku, tapi demi dirimu sendiri. Begitu juga aku. Namun jika kau memang tidak bisa berubah, aku tidak akan keberatan, sayang. Tidak akan. Karena aku menyadari, kita adalah dua individu yang berbeda. Dua individu yang sebanyak apapun kadar persamaannya, tetap saja kita berbeda. Kita memiliki rasio masing-masing dan cara berpikir masing-masing. Salah jika ada orang yang mengatakan bahwa Cinta menyatukan kita, seperti kata lagu-lagu di radio yang sedang kita dengarkan ini. Selamanya kita adalah dua, tidak akan pernah tereduksi satu. Namun, DUA, juga bukan alasan kita untuk tidak saling bersama bukan? Perbedaan bukan alasan bagi kita untuk saling menjauh dan menyakiti. Bukankah jika segala sesuatu adalah sama, hidup akan terasa membosankan?
Depok, 28 nov 2011