‘Love is like sugar. Too much Love will kill you.’
-Anonymous-
Ada sebuah kalimat di sebuah novel remaja yang baru saja habis kubaca pagi ini. Begini bunyi kalimatnya: ‘Lebih baik dicintai, daripada mencintai.’ . Aku sudah pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. Tadinya aku juga setuju saja. Tapi entah kenapa, setelah aku membaca kalimat tersebut di novel itu, semuanya berubah. Kalimat itu mungkin bagi orang lain adalah sebuah kalimat kesimpulan yang romantis dan dalam. Tapi entah kenapa, saat membacanya yang kurasakan justru sebuah kengerian. Sebuah perasaan kesal tak beralasan yang tiba-tiba hadir begitu saja. Aku tidak setuju? Tentu saja. Sangat tidak setuju.
Apalagi ketika membaca kalimat setelahnya. ‘Lebih bahagia mengetahui bahwa seseorang memastikan kita tidak akan terluka.’ Aku tidak setuju? Sudah pasti. Sangat tidak setuju. Itu adalah satu diantara kalimat paling mengerikan yang pernah kutemukan. Kalimat yang kejam dan tidak punya hati.
Apa pasalnya? Banyak. Ini bukan soal otakku yang terbalik atau apa kok. Aku punya argument, yang walaupun tidak bisa dibuktikan dengan percobaan-percobaan empiris, tapi aku mempercayainya.
Membaca kalimat itu, membuatku kembali teringat dengan pendapat salah seorang folosof dari Cina tentang manusia, bahwa pada dasarnya semua manusia itu jahat. Kebaikan adalah sebuah hasil dari proses belajar. Apa yang dikatakan oleh filosof Cina yang aku lupa siapa namanya itu jelas bertentangan dengan pendapat Thomas Aquinas, seorang filosof theistic dari eropa yang mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Dosa berasal dari cacat manusia yang menyimpang dari kodratnya.
Kenapa aku tiba-tiba membahas masalah filosof? Adakah hubungannya dengan paragraph yang pertama tadi? ADA! Coba baca lagi paragraph pertama dan kedua, terutama di kata-kata kutipan dari novel itu. Setelah membaca kalimat itu, akupun mulai meyakini pendapat filosof kita yang pertama, yang entah bernama siapa itu. Bahwa pada dasarnya manusia adalah jahat. Manusia adalah makkluk super egois yang hanya mencari kebahagiaannya sendiri.
Kalimat ‘Lebih baik dicintai daripada mencintai’ menandakan keegoisan manusia dan juga ‘kehendak berkuasa’nya kalau kata Nietzsche. Dia di dalam kalimat itu hanya ingin dicintai dan tidak ingin mencintai. What the hell. Kurasa itu bukan cinta yang sebenarnya. Yah, semua orang tahu, kata kerja mencintai mempunyai relasi dekat dengan kata-kerja-tidak-sengaja terluka. Aku bukannya ingin mengatakan bahwa cinta adalah jalan cepat menuju luka, tapi bukankah memang begitu adanya? Atas nama cinta orang-orang melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Atas nama cinta orang-orang menyakiti dirinya sendiri. Atas nama cinta, semua yang tidak benar menjadi bisa dibenarkan. Orang yang mencintai mempunyai banyak kemungkinan untuk dilukai oleh oaring yang dia cintai. Dan orang yang dicintai, mempunyai banyak kesempatan untuk melukai orang yang mencintainya. Orang hanya ingin dicintai tanpa mencintai, adalah orang-orang yang terlalu ketakutan akan luka. Orang-orang yang begitu ketakutan sakit hati sampai mencoba mencintai pun tidak berani. Sebut saja mereka pengecut, kalau itu membuatnya lebih jelas.
Sekarang perhatikan kalimat selanjutnya. ‘Lebih Bahagia mengetahui seseorang memastikan kita tidak tersakiti’. Ya ya ya, bahagia, itu adalah satu term yang tidak bisa ditolak. Siapa yang menolak untu berbahagia? Siapa yang mau menderitakan dirinya sendiri? Siapa yang tidak suka mendengar seseorang menjanjikan kebahagiaan dan ketiadaan sakit? Tapi bukan itu poinnya. Lagi-lagi aku melihat keegoisan dalam kalimat itu yang membuatku muak sendiri, dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang egois. Seseorang memastikan Dia-yang-di-dalam-kalimat-itu tidak akan tersakiti, lalu apa? Tidak ada keterangan lanjutan bahwa Dia-yang-di-dalam-kalimat-itu juga akan melakukan hal yang sama dengan pasangannya? Dia-yang-di-dalam-kalimat-itu lagi-lagi berlaku sebagai subyek, dan membendakan dia yang ada di hadapannya, dia yang mencintai, dan dia yang memastikannya tidak akan tersakiti.
Ketika seseorang merasa dicintai, merasa ada orang yang mau melakukan apapun untuknya, merasa bahwa seseorang akan menjaganya dari sakit hati, maka si orang yang pertama ini akan berada di atas awan. Akan merasa dirinya berkuasa atas orang yang kedua. Lebih parahnya, merasa memiliki orang yang kedua. Tidak heran jika Ada Band sampai terinspirasi menciptakan lagu ‘Manusia Bodoh’ di albumnya yang bertahun-tahun lalu. Manusia bodoh ini pastilah orang yang mencintai, dan sedang berhadapan dengan orang yang hanya ingin dicintai tanpa mencintai.
Well, semua orang ingin bahagia. Memang bahagia saat mengetahui seseorang mencintai kita. Itu menandakan eksistensi kita diakui. Tapi itu bukan cinta jika dalam sebuah hubungan hanya ada satu pihak saja yang terus-terusan menghantarkan cinta sementara yang lain hanya secara pasif menerimanya. Oh oke, mungkin itu bisa saja cinta platonic. Tapi bukan itu yang kumaksudkan.
Tidak ada yang salah saat kita dicintai orang, tapi untuk bersama orang yang mencintaimu tanpa kamu merasakan cinta yang sama, itu salah besar. Jangan bersama orang hanya karena DIA MENCINTAIMU tapi juga karena KAMU MENCINTAINYA. Jangan hanya bersama seseorang hanya karena dia MEMASTIKANMU TIDAK AKAN TERLUKA tetapi juga karena KAMU BERNIAT MELAKUKAN HAL YANG SAMA.
Walaupun berbicara tentang cinta, tidak akan jauh-jauh dari luka sebenarnya. Bukankah ada fase dimana cinta adalah antara menyakiti dan disakiti? Tidak aka nada sakit hati jika kamu tidak memperdulikannya, tidak pernah melihatnya, tidak pernah mencintainya. Tapi itulah poinnya, cinta adalah sebuah arena pembuktian keberanian. Berani mencintai, berani sakit hati. Bukankah hidup yang seperti itu sungguh mengasyikkan?
Just be brave!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar