Sartre secara tegas membedakan antara dua cara berada, yaitu ‘being-in-it-self’ dan ‘being-for-it-self’. Being-in-it-self, adalah sesuatu yang sudah ada begitu saja, berada dalam dirinya sendiri, tidak berubah, serta tidak menyadari keberadaannya sendiri. Berbeda dengan Being-for-it-self, yang merupakan berada untuk dirinya sendiri. Dalam artian subyek yang berada tersebut menyadari keberadaannya sendiri. Segala benda jasmani yang ada di dunia pada dasarnya adalah Being-in-it-self. Tetapi manusia yang memiliki kesadaran, mengadakan jarak dari Being-in-it-self yang lain dan membentuk being-for-it-self. Kita dapat melihat perbedaanya dari fakta, bahwa Meja sebagai being-in-it-self, tidak memiliki tanggung jawab atas kemejaannya, mengapa ia adalah meja, bukan kursi, dan mengapa ia berwarna cokelat, bukan putih. Sementara manusia, yang memiliki kesadaran atas keberadaannya sendiri, tentu memiliki tanggung jawab atas kemanusiaannya.
Dengan tegas Sartre mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Sartre menolak segala konsep determinisme. Pada awalnya manusia bukan siapa-siapa. Manusia sendirilah yang menentukan ia akan menjadi manusia seperti apa. Eksistensi manusia ditentukan oleh perbuatan. Dengan kata lain, manusia menentukan dirinya sendiri.
‘I find myself suddenly alone without help, engaged in a world for which I bear the whole responsibility without being able to tear myself away from this responsibility for an instant.’ (fotocopyan eksistesialisme, hal 229)
Sartre menyebutnya dengan konsep Facticity, dimana kita tidak berharap dilahirkan, namun kenyataannya kita dilahirkan juga, dan ditinggalkan dalam dunia asing yang tidak kita kenal, tanpa seorangpun penolong. Namun demikian, bukan berarti dalam ‘ketidaktahuan’, manusia harus bersikap pasrah dengan apapun yang akan terjadi kepadanya. Manusia dilahirkan dengan kebebasan. Artinya manusia selalu mempunyai kuasa untuk berkata ‘tidak’, dan manusia selalu dihadapkan kepada pilihan untuk menjadi sesuatu atau untuk tidak menjadi sesuatu. Dalam setiap tindakan manusia, dalam setiap pilihan yang dia ambil, manusia memikul tanggung jawab yang luar biasa besar. Tidak hanya bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab untuk keseluruhan kemanusiaan. Segala sesuatu yang terjadi pada hidup manusia adalah pilihannya sendiri. Apabila hidup diibaratkan sebagai sebuah perang, maka perang ini adalah ‘perangku’. Aku bisa memilih untuk berperang, atau untuk tidak berperang (dalam hal ini Sartre menyebutkan bunuh diri sebagai salah satu pilihan). Sementara jika aku memilih untuk berperang, maka aku akan terus dihadapkan pada pilihan-pilihan sepanjang perang itu berlangsung. Kebebasan mutlak untuk memilih itulah yang membawa konsekuensi tanggung jawab yang harus dipikul manusia. Tanggung jawab yang luar biasa berat dalam sebuah dunia yang tidak diketahui kepastiannya inilah yang membawa manusia pada kecemasan dan kemuakan. Dua hal tersebut adalah sifat dasariah dari manusia. Dari sinilah kebebasan mulai disebut sebagai beban.
Tidak ada yang dapat meringankan beban ini, sebagaimana yang disebutkan diatas, bahwa manusia ditinggalkan tanpa seorangpun penolong. Tidak pula Tuhan. Ada atau tidaknya Tuhan tidak akan merubah apa-apa. Seseorang yang menggantungkan diri terhadap Tuhan, atau terhadap sesuatu yang lain disebut Sartre dengan ‘Bad faith’ atau ‘Mauvaise foi’. Hal ini muncul disaat manusia membohongi diri sendiri, dan berniat melarikan diri dari tanggung jawab. Seseorang dengan Bad Faith adalah individu yang tidak otentik. Inilah yang membuat Sartre kemudian dikenal sebagai seorang eksistensialis atheistic.
Kebebasan ini adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal. Bahkan ketika manusia memutuskan untuk hanya berdiam diri, tidak melakukan apapun, untuk melepaskan kebebasannya, sesungguhnya ia sedang menjalankan bagian dari kebebasannya juga, yaitu: memilih untuk tidak bebas. Inilah yang dimaksud Sartre dalam frasanya yang terkenal, ekstrim, dan radikal: Manusia dikutuk untuk bebas.
“Human reality is free, basically and completely free.’ (Being and Nothingness, hal 479)
Kebebasan adalah eksistensi manusia. Tanpa kebebasan, eksistensi manusia hanya sesuatu yang absurd. Tanpa kebebasan maka manusia hanya akan mempunya esensi semata.
Sartre membagi realitas menjadi dua. Yaitu Facticity dan Transenden. Transenden adalah kemungkinan-kemungkinan, atau kreatifitas dari being dalam bentuk harapan untuk masa depannya. Sedangkah Facticity atau faktisitas adalah fakta tentang Being yang tidak bisa dihilangkan. Faktisitas bisa dilupakan untuk sementara waktu, ditepikan, dan dihindari, namun tetap tidak bisa ditiadakan. Ada lima hal faktisitas menurut Sartre, yaitu: (1) Tempat yang kita huni (2) Masa lalu (3) Lingkungan sekitar (4) kenyataan tentang adanya sesama manusia dengan eksistensi yang sama (5) kematian. Meskipun tidak dapat ditiadakan, bukan berarti hal tersebut mengikat manusia dan membatasi kebebasannya. Dalam faktisitas-faktisitas tersebut, manusia masih bisa menentukan pilihan. Misalkan lingkungan sekitar. Manusia tidak dapat meniadakan adanya benda-benda di sekelilingnya. Namun makna dari keberadaan benda-benda tersebut tetap bergantung kepada cara manusia memaknainya. Lain halnya dengan kematian. Bagi Sartre, kematian bukan lagi bagian dari eksistensi. Kematian adalah batas bagi kebebasan mutlak, tetapi kematian berada di luar eksistensi tersebut. Karena ketika kematian datang, maka secara otomatis eksistensi sudah tidak ada. Akan tetapi selama manusia masih merupakan eksistensi, maka kebebasan yang mutlak tidak dapat disangkal, betapapun kefaktaan melekat pada eksistensinya, sebab ia tetap bebas untuk mengolak kefaktaan itu dalam kebebasannya sendiri serta atas tanggung jawabnya sendiri pula (Berkenalan Dengan Eksistensialisme, hal. 131.).
Tantangan terberat bagi eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain. Dalam hal ini Sartre memaksudkan bahwa dalam hubungan antar subyektifitas selalu berupa konflik. Dimana keduanya saling menempatkan yang lain sebagai obyek. Ketika ‘aku’ bertemu dengan orang lain, maka secara otomatis aku akan melihat orang lain sebagai obyek yang menyusun dunianya sendiri. Kehadiran orang lain dalam kawasan mata aku membuat berkurangnya penghayatan aku terhadap dunia yang kudiami karena sejak saat itu bukan hanya aku yang mendiami dunia, tetapi orang lain juga. Contoh nyatanya adalah timbulnya ‘rasa malu’ pada seseorang. Aku hanya bisa merasakan malu apabila ia berada di dalam pandangan orang lain. Dimana Aku merasa dijadikan obyek bagi orang lain. Hadirnya orang lain dalam dunia aku, dapat mengubah eksistensi aku. Dalam bukunya ‘No Exit’, Sartre menyebutkan: ‘Hell is othe people.’. Dengan begitu, Sartre berpendapat bahwa cinta yang tulus tanpa pamrih, tanpa keingin menempatkan yang lain sebagai obyek, adalah tidak mungkin.
Paramitha Wardhani
1006692133
Sumber: Berkenalan dengan eksistensialisme oleh Fuad Hassan, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 oleh Harun Hadiwijono, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia oleh Dr. P.A. van der Weij, Fotocopyan Eksistensialisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar