Sudah seminggu berlalu dari hari ketika pengerjaan tugas eksistensialisme tentang Sartre. Tapi konsep tentang faktisitas itu masih saja mengawang-ngawang di kepala.
‘I find myself suddenly alone without help, engaged in a world for which I bear the whole responsibility without being able to tear myself away from this responsibility for an instant.’
Begitu katanya…
Membaca teks ini, rasanya seperti sedang mengangkat batu besar ke atas gunung, dan tidak tau untu apakah batu itu diangkat ke gunung.
Bagaimana rasanya? Jika tiba-tiba kita terlempar di suatu dunia yang tidak kita kenal, dengan segala tanggung jawab yang sudah melekat dalam pundak kita, sementara tidak ada pertolongan untuk kita?
Hidup ini absurd, kata Albert Camus. Hidup ini tidak bisa dijelaskan. Hidup ini tidak bisa dipastikan. Socrates mengatakan, tidak ada yang pasti dalam dunia ini selain ketidak pastian itu sendiri. Lagi-lagi, sedih membacanya. Tapi kalau dipikir-pikir, benar juga.
Lalu, dengan tiba-tibanya terpikirkan rumusan ini, Aksi sama dengan Reaksi. Bagaimana mengatakan bahwa aksa sama dengan reaksi dalam kehidupan yang sungguh absurd ini, wahai Tuan Newton? Apa yang saya dapat, tidak selalu sebanding dengan apa yang saya usahakan. Terkadang saya begitu menginginkan sesuatu, mati-matian mengusahakannya, sampai nyaris gila memikirkannya, namun pada akhirnya, tak ada apapun yang saya dapat kecuali kegilaan itu sendiri. Kalau sudha begitu, yah, mungkin kita akan percaya dengan yang namanya takdir.
Takdir. Konsep itu rasanya begitu menyenangkan. Seandainya saja semuanya bisa diserahkan kepada takdir. Memang bisa. Hanya saja, proses penyerahan itu tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Kata Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Manusia terlahir dengan kebebasan. Yang artinya adalah manusia tidak bisa berlaku seperti batu yang hanya diam menunggu dirinya dihancurkan atau digulingkan, sekeras apapun manusia mencobanya. Karena manusia adalah kebebasan itu sendiri.
Lalu, bagaimana tentang hidup itu sendiri? Saya bukannya akan memberikan definisi ilmiah tentang hidup, atau definisi filosofis tentang kehidupan. Pengetahuan saya terlalu cetek untuk merambah di kedua ranah tersebut. Saya hanya ingin mengatakan tentang apa yang saya lihat, dalam kehidupan yang saya alami. Yang saya dapatkan dari seminar ke seminar. Oh ya, ini semua berpangkal kepada sebuah seminar. Seminar siang hari di sebuah fakultas di kampus, yang untuk mengikutinya saya harus rela membolos salah satu mata kuliah.
Seminar tersebut membahas tentang penyakit membahayakan akibat ‘rasa manis’ yang berlebihan dalam tubuh. Yap, saya sedang membicarakan tentang diabetes. DIABETES! Intinya begini, diabetes bisa diderita oleh siapa saja yang menyukai makanan manis-manis. Disini manis adalah musuh bagi semua orang. Namun mush itu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Coba bayangkan hidup tanpa rasa manis? Bayangkan hidup tanpa gula? Manis, mungkin salah satu anasir penyusun tubuh manusia, yang jika keberadaannya diabsenkan, tubuh manusia tidak akan sama lagi. Manis adalah musuh sekaligus sahabat. Dari situlah perusahaan besar mulai beradu krestifitas untuk menciptakan produk sugar free, sebagai upaya supaya manusia tetap bisa merasakan manisnya hidup sekaligus mengurangi resiko diabetes. Inti dari produk sugar free adalah hadirnya pemanis-pemanis buatan seperti Aspartan, Sakarin, Siklamat, dan lain sebagainya. Pemanis buatan ini mengandung jauh lebih rendah kalori dibandingkan dengan gula asli. Namun jangan salah. Pemanis buatan selain mengandung kalori yang rendah juga mengandung zat karsogenik, yaitu zat yang dapat memicu sel kanker. Dengan pemanis buatan, diabetes menjauh, tapi kanker mendekat.
Mari kita tarik kesimpulannya dari sini.
‘Hidup Dipenuhi mara bahaya yang terus berkembang biak’
-Anonymous-
Diibaratkan sebuah ruangan, hidup adalah ruangan penuh tanpa udara, berdinding tinggi, tidak bisa ditembus, dan mengerikan. Singkatnya seperti mendifinisikan penjara bastile sebelum dia dihancurkan. Ketika kita melarikan diri dari satu permaalahan, sebenarnya kita sedang menuju kepada permasalahan lain. Ketika orang berusaha mencegah penyakit diabetes dengan mengkonsumsi pemanis buatan, sesungguhnya ia sedang menuju kepada penyakit yang lain, kanker. Hidup ini dikepung. Dikepung oleh mara bahaya tak kasat mata, yang terus berkembang biak selama kehidupan itu masih ada. Bagaimana cara keluar dari kepungan marabahaya itu? Mungkin manusia harus mati.
Permasalahan, segala problem, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan itu sendiri.
Kesimpulan yang saya dapat adalah, bahwa hidup adalah sebuah proses mempertahankan diri dari segala gempuran mara bahaya yang terus berlanjut. Jangan berharap untuk bebas, selama masih menginginkan kehidupan itu sendiri. Ini bukan tentang rasa pesimis. Tapi ini adalah sebuah tantangan untuk manusia, seberapa besarkah kemampuan kita untuk bertahan dari segala gempuran bahaya ini. Semakin lama kita bisa bertahan, semakin menang lah kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar