Senin, Maret 03, 2014

Rindu Muara


Akhir-akhir ini burung terbang ke selatan. Suaranya bungah, bercicit riuh membuat berisik. Ekspresinya bahagia, seperti menjemput takdir yang tak lama lagi sampai. Apa yang mereka cari di Selatan? Akhir-akhir ini si kucing sering keluar malam. Barangkali dia sadar kodratnya sebagai hewan nocturnal. Langkahnya mengendap-endap, namun suaranya mendengung menyebar ancaman. Ladang pertempuran harga diri atas penerimaan cinta si betina, ditebus oleh luka-luka dan tidur siang berkepanjangan. Apa yang ia cari di tengah pekatnya malam? Akhir-akhir ini detak jam terasa kosong. Seperti detikan bola salju dengan kecepatan konstan, namun mampu melindas apapun yang dilaluinya. Pada yang kosong itu, ia selalu bertanya-tanya: Kemanakah waktu akan bermuara? Sebab, gerigi bosan telah menancapkan taringnya pada budak-budak tak berdaya. Sebab, terlalu banyak yang tak bisa ia cerna. Sebab, bagi sang budak: kebebasan ternyata tak seindah belenggu tuannya.

Rabu, Februari 19, 2014

Persimpangan



 Cinta boleh datang begitu saja. Tapi bagaimana ia bisa menghilang begitu saja?


Saya sudah merasakan kekaburan perasaan itu sejak berbulan-bulan lalu. Saat kamu muncul di hadapan saya dengan warna yang berbeda. Tak ada lagi senyum berharga itu. Kamu menjelma menjadi sosok asing. Kamu ada di hadapan saya, saya bisa merasakan nafasmu, denyut nadimu, kehidupan dalam kedua matamu, namun saya tak bisa merasakan kehadiranmu. Kita seperti berjarak ribuan tahun cahaya, padahal kamu duduk di sebelahku. Kita menonton siaran televisi, menyinyiri tontonan tak mutu itu, namun saya merasa kamu begitu jauh. Saya tahu kamu tidak ada disana, di samping saya. Sejak kapan hal itu terjadi?

Ada apa, Saya bertanya.

Kamu menoleh menatap saya dengan alis bertaut, ada apa. Kamu mengulang pertanyaan saya. Apanya yang ada apa?

Barangkali kamu belum menyadarinya, tapi saya sudah. Betapa mengerikannya perasaan saya ini, yang mempu menyadari keganjilan ini, sementara kamu sendiri belum menyadarinya. Apa saya ini keturunan cenayang? Tapi mungkin saja saya hanya benar-benar memahami kamu. Saya tahu saya tidak bisa mengerti isi pikiran selain milik saya sendiri. Namun tentu kita setuju bila kebersamaan dalam waktu yang lama dapat membuat saya menghafal kebiasaan kamu, memahami semua gestur dan sentuhanmu, dan cukup peka untuk menangkap bahwa ada yang tidak biasa. Tahukan kamu, bahwa mampu memahami orang adalah sesuatu yang mengerikan? Karena kita bisa menerjemahkan kode dari berbagai cara. Namun masalahnya, ada kalanya saya tidak ingin mengetahui kode itu, yang saya tahu akan menghancurkan saya.

Saya mau tidur, saya pilih menghindar, mematikan tivi dan masuk ke kamar. Lalu saya dengar suara pintu depan menutup, kamu pulang.

Rasa sepi mulai menyergap saya.

Pada pertemuan kita selanjutnya, saya memutuskan untuk bertanya padamu. Saya pikir, segala sesuatu memang harus dibicarakan, supaya segera selesai. Saya yakin, dengan segala keterbukaan kita, semuanya akan beres. Semuanya akan baik-baik saja.

Apa kamu mencintai orang lain, Saya bertanya. Apa kamu berselingkuh di belakang saya?

Kamu menatap saya dengan kedua alis bertaut. Barangkali heran dengan pertanyaan saya yang tidak biasa. Apa maksudmu, begitu kamu bertanya. Tentu saja tidak.

Saya menelan ludah. Barangkali saya terlalu keras menggigit bibir, menahan perasaan saya sendiri, sampai lidah saya berdarah. Betapa saya menghancurkan hati saya ketika menanyakan ini kepadamu. Saya merasa seperti seseorang yang kalah, yang menunggu kepastian hukum. 

Ludah saya terasa asin.

Apa kamu…masih mencintai saya? Saya bertanya lagi, mengabaikan nyeri di hati.

Kamu bilang, tentu saja, kenapa bertanya seperti itu?

Namun sadarkah kamu ketika kamu menjawab, kamu menatap telinga kiri saya, bukan mata saya.

Apa kamu masih cinta sama saya? saya mengulang pertanyaan saya.

Kali ini kamu tidak menjawab. Namun saya tahu itulah jawabanmu.

Ada perasaan tak menentu dalam diri saya. Sudah lamakah rasa itu hilang dari hatimu? Sudah lamakah saya meninggalkan hatimu? Saya tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu bosan? Apakah saya yang berubah dan kamu tidak menyukainya? Apa yang membuat kamu tidak lagi mencintai saya? Sudah lamakah saya menjadi badut dalam kehidupanmu, merasa menjadi orang yang kamu cintai, namun tidak lebih dari orang yang tanpa arti dalam hatimu?

Saya sangat mencintaimu, kata saya perlahan. Saya ingin menangis, namun mati-matian saya tahan. Sejak kapan?

Kamu masih tidak menjawab. Saya tahu kamu pria baik. Mungkin kamu akan terus berpura-pura mencintai saya, jika saya tidak pernah menanyakannya. Saya tahu, kamu pilih mati daripada menyakiti saya. Namun kamu tidak paham, bahwa yang lebih mematikan adalah pemahaman bahwa kamu hanya bersama saya karena kamu tidak mau menyakiti saya. Karena dengan begitu, sayalah yang menyakiti kamu. Dan sayalah yang menyakiti diri saya sendiri dengan terus-terusan menjadi badut kehidupan.

Kenapa?

Apa salah saya yang membuat kamu kehilangan rasa cinta itu? Saya merasa berdosa. Saya merasa ada yang salah dalam diri saya yang membuat saya tidak diinginkan. Saya merasa begitu tidak berharga, tidak berarti selain sebagai orang yang harus dijaga perasaannya. Sama seperti orang-orang lain.

Bagaimana supaya kamu mencintai saya lagi?

Saya tahu bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Saya juga tahu bahwa apapun bisa berubah dalam hitungan detik. Namun saya sungguh tak mengira bahwa perasaan cinta yang telah terpahat sekian lama bisa hilang begitu saja. Saya pikir cinta kami selamanya. Saya pikir mencintai orang lain adalah mustahil.

Saya tidak punya orang lain, begitu katamu.

Kamu mungkin tidak mencintai orang lain. Namun kamu juga tidak lagi mencintai saya. Tahukah kamu betapa hancurnya saya? Saya bisa saja menyelamatkan diri saya sendiri dengan memaksamu tetap di sisi saya, atas nama semua yang telah kita lewati dan saya rasakan. Saya bisa saja memohon, meyakinkanmu bahwa semuanya akan segera membaik. Segalanya akan segera kembali seperti semula. Tapi saya sendiri tak yakin. Saya tak yakin cinta itu akan kembali. Saya tak yakin apa yang telah memudar akan kembali. Saya tak yakin apapun. Termasuk perasaan saya sendiri. Saya begitu ingin mempertahankan semuanya. Tapi saya tak yakin saya bisa bertahan.

Mari kita akhiri, saya memutuskan.

Kamu tidak menjawab.

Kamu tidak bisa bersama orang yang tidak kamu cintai, bukan?

Saya minta maaf, katamu sambil menggenggam tangan saya, dan mencium kening saya. Semuanya akan baik-baik saja. Maafkan saya…

Saya menggeleng. Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang harus minta maaf. Ini bukan sesuatu yang bisa dimaafkan lalu berbaikan. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi juga saya, dan hal-hal yang tak pernah bisa kita mengerti.

Berhenti mencintai bukanlah kesalahan, kata saya sambil menarik tangan saya dari genggamanmu. Saya tidak mungkin memaafkan kamu, karena kamu memang tidak bersalah.


Tapi saya tak bisa berhenti bertanya. Jika cinta menghilang begitu saja, salah siapa?




Ponorogo, 25 Januari 2014


*gambar diambil dari blog ceritakatacinta.blogspot.com

Selasa, Desember 17, 2013

Tahukah Kau...




... bahwa dinding jendela ini sudah tak lagi berdebu. Sejak aku termanggu, membersihkan setiap jengkal debu dengan secarik ayat-ayat. Sebagaimana kubersihkan isi kepalaku dan kuisi namamu. Seperti kubuang jauh-jauh prasangka yang membuat hati ini karatan. Lalu akan kutulis namamu seribu kali, tak sebagai hukuman, melainkan sebagai kerinduan. Tapi siapa namamu?


Aku sudah duduk di sini bertahun-tahun. Menatap keluar jendela, pada langit yang biru tak sempurna. Mungkin semalam hujan turun lagi. Resahku kukirimkan pada sang Jatayu, yang menjaga Shinta dari incaran Rahwana. Pergilah, menjauhlah, biarkan aku sendiri. Biarkan Rahwana mendapatkan hak yang telah dijanjikan padanya.  Tapi siapakah namamu, Rahwana? 



Minggu, November 17, 2013

Surat untuk Tuan Dokter


Kepada yth: Tuan dokter di tempat

Selamat malam. Sebelumnya saya mohon maaf jika surat ini mengganggu. Saya menemukan rubrik anda dalam sebuah surat kabar di tahun 60an. Kedua orang tua saya masih kanak-kanak waktu itu. Apakah anda seorang psikiater? Banyaknya orang yang mengeluh pada anda tentang perasaan tak menentu yang dialaminya, serta jawaban-jawaban anda, saya simpulkan jika anda adalah seorang psikiater. Maaf jika saya salah, tapi saya butuh bantuan anda. Asal anda tahu, saya perlu waktu hingga dua minggu untuk memberanikan diri menyampaikan surat ini. Karena mengakui ada kelaian dalam diri sendiri bukankah itu memalukan?

Tuan dokter yang terhormat, bagaimana cara menghilangkan hati? 

Terkadang, pada saat-saat bahagia yang keterlaluan, atau sedih yang berkepanjangan, dan barangkali saat tak terjadi apa-apa, saya merasa ada yang salah dengan diri saya. Saya merasa seperti pengkhianat. Walau sungguh mati saya tak tahu siapa yang saya khianati. Mungkin diri saya sendiri. Tapi untuk apa saya mengkhianati diri sendiri? 

Saya sering gelisah. Merasa tiba-tiba ingin menangis, lalu terdiam, karena saya tahu tak ada yang perlu saya tangisi. Tapi saya masih ingin menangis. Bisakah saya menangisi ketiadaan sebab saya untuk menangis? Saya orang yang bodoh. Bodoh dan pintar. Saya tidak mengenali diri saya sendiri untuk tahu apa yang membuat saya ingin menangis. Tapi bukankah saya cukup pintar karena mengetahui bahwa diri saya ingin menangis? 

Saya sering merasa kehilangan. Tapi tidak tahu kehilangan apa. Mungkin karena itu saya ingin menangis. Freud mengatakan ini adalah reaksi melankolia, saat seseorang kehilangan sesuatu namun dia tidak tahu apa dan bahkan tidak menyadarinya. Melankolia berbeda dengan mourning, yaitu kehilangan sesuatu yang obyeknya jelas. Ya seperti ketika anda kehilangan kekasih. Tapi Melankolia, kehilangan itu tidak berbentuk. Tapi berbekas. Bekas yang barangkali tak pernah disadari oleh otak anda. Tahu-tahu, anda menjadi psikopat. Ah, tapi mungkin itu kata saya saja, bukan Freud. Salah satu dosen saya bisa menjadi sangat relijius karena kehabisan kata makian dan menggantinya dengan istiqfar jika saya menulis sebuah teori ngawur dan mengambing hitamkan salah seorang filsuf. Ah, rasanya sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan dosen itu. Saya kan sudah lulus. Lulus dengan predikat cum laude. Tuan dokter, kadang saya bertanya-tanya, apakah predikat cum laude itu yang membuat kegelisahan tak jelas dalam diri saya ini?
Saya membenci Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa manusia lain. Tapi saya membenci manusia lain. Saya merasa diri saya mengkerut, seperti parasut kisut setiap kali berada di antara manusia lain. Saya sering berimajinasi bahwa dalam diri saya ada banyak manusia lain. Sehingga saya cukup berinteraksi dengan mereka, tidak perlu keluar dari diri saya. Toh, meski banyak manusia, semuanya masih dalam control saya. Tapi barangkali saya justru membenci diri saya sendiri. Mungkin saya merasa diri saya ini seperti sebuah bisul yang mengganggu dan merusak keharmonisan alam. Makanya saya menarik diri saya dari kegiatan sosial dan mengunci diri saya sendiri dalam kegelapan total diiringi dengung kipas angin yang nyaris pensiun. Saya mencoba kembali kepada diri saya sendiri. Atau jangan-jangan saya memang bukan manusia? 
Saya ini orang tidak tahu diri. Saya diberi kehidupan yang luar biasa tapi sering merasa hidup saya seperti sampah. Saya merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan yang saja jalani, tapi saya terus menjalaninya, membiarkan ketidakberesan-ketidakberesan itu menjadi sesuatu yang seolah beres. Saya merasa hidup saya beres meski saya tahu hidup saya tak beres.Mungkin karena itu saya ingin menangis. Terkadang saya mengutuk keberadaan hati dalam diri saya. Hati membuat segalanya menjadi ruwet. Saya harus peduli kepada anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan. Tidakkah itu menjemukan? Saya harus peduli, walau saya tahu anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan tidak pernah peduli pada saya. Hati membuat saya merasa berkhianat pada suatu kesalahan orang yang puluhan juta tahun cahaya jaraknya dengan saya. Tidakkah saya ini orang aneh yang membuang-buang tenaga? Saya tahu. Makanya saya berandai-andai, bagaimana caranya menghilangkan hati dalam diri saya ini. Pada saat itu, barangkali saya bisa membuktikan bahwa Melankolia itu memang hanya kata karangan saya saja, dan Freud adalah sosok tak berdosa yang saya kambing hitamkan.

Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.

Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua. 

Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.


Hormat saya

m(anusia).

Kamis, Oktober 17, 2013

Rumus Adikuasa: Bahagia (dengan B besar)





Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit mendebarkan, seseorang asing bertanya kepadaku. Apa itu Bahagia?
 
Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima. Pertanyaan yang sepanjang empat tahun telah kugeluti, bersamaan dengan migrain permanen akibat bergadang setiap malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus trans-Jogja yang sedikit oleng. 

 Apa itu Bahagia?

Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan dengan mudah menjawabnya. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor, dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping pak kusir yang sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-10 tahun itu. Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.

Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah itu aku akan menangis kecil, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta, yang pada saat itu sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah diterjemahkan. Barangkali sesungguhnya, aku ingin mengatakan bahwa bahagia itu bisa bersama dengan orang yang kucintai dan balas mencintaiku, dan berjanji tidak akan menyakitiku. Barangkali juga, sesungguhnya semboyan ‘cinta tak harus memiliki’ itu adalah kamuflase dari keharusan memiliki dari cinta. Penolakan sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mendapatkan cinta. Bingung? Aku juga. Tapi setidaknya aku tahu apa itu bahagia.

Kalau flashback hingga tiga tahun lalu saja, aku juga masih bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah kampur ternama, dengan biaya yang tak terlalu banyak. Orang tuaku bangga, aku senang, dan aku seolah melihat masa depanku cerah mendadak.

Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa depanku cerah, dan si orang asing sialan bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di trans-jogja yang mendebarkan ini.

Apa itu Bahagia (dengan B besar)?

Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.

Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado, punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu ternyata tak berperi kemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat kebetulan dan temporer-temporer yang membuat frustasi semata.

Di tengah kecamuk frustasiku dan desingan otakku yang berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah tujuan hidup manusia.

Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.
Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan sialan itu. Atau jika tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami. Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.

Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah terpenuhi, jawabku sok filosofis. Jadi batas akhirnya adalah ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.

Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?

Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan dengan orang asing dengan topik seaneh dan semenyebalkan keBahagiaan dengan B besar. Ataukan pria ini seorang agen dari reality show yang akan memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku tamat kawan.

Apa itu Bahagia dengan B besar? Apa batas awal dan batas akhir Bahagia? Apakah seseorang yang berusaha memertahankan kebahagiaannya masih bahagia? Itu daftar pertanyaan dari pria ini. Kuserahkan padamu, karena aku telah sampai di halte tujuanku.

Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa pusing-pusing mencari Bahagia dengan B besar, jika bahagia dengan b kecil sudah cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.

Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus memikirkannya?



Pondok Cina

21.40 WIB

#nowplaying: Aku Dimana—Dialog Dini Hari