Minggu, November 17, 2013

Surat untuk Tuan Dokter


Kepada yth: Tuan dokter di tempat

Selamat malam. Sebelumnya saya mohon maaf jika surat ini mengganggu. Saya menemukan rubrik anda dalam sebuah surat kabar di tahun 60an. Kedua orang tua saya masih kanak-kanak waktu itu. Apakah anda seorang psikiater? Banyaknya orang yang mengeluh pada anda tentang perasaan tak menentu yang dialaminya, serta jawaban-jawaban anda, saya simpulkan jika anda adalah seorang psikiater. Maaf jika saya salah, tapi saya butuh bantuan anda. Asal anda tahu, saya perlu waktu hingga dua minggu untuk memberanikan diri menyampaikan surat ini. Karena mengakui ada kelaian dalam diri sendiri bukankah itu memalukan?

Tuan dokter yang terhormat, bagaimana cara menghilangkan hati? 

Terkadang, pada saat-saat bahagia yang keterlaluan, atau sedih yang berkepanjangan, dan barangkali saat tak terjadi apa-apa, saya merasa ada yang salah dengan diri saya. Saya merasa seperti pengkhianat. Walau sungguh mati saya tak tahu siapa yang saya khianati. Mungkin diri saya sendiri. Tapi untuk apa saya mengkhianati diri sendiri? 

Saya sering gelisah. Merasa tiba-tiba ingin menangis, lalu terdiam, karena saya tahu tak ada yang perlu saya tangisi. Tapi saya masih ingin menangis. Bisakah saya menangisi ketiadaan sebab saya untuk menangis? Saya orang yang bodoh. Bodoh dan pintar. Saya tidak mengenali diri saya sendiri untuk tahu apa yang membuat saya ingin menangis. Tapi bukankah saya cukup pintar karena mengetahui bahwa diri saya ingin menangis? 

Saya sering merasa kehilangan. Tapi tidak tahu kehilangan apa. Mungkin karena itu saya ingin menangis. Freud mengatakan ini adalah reaksi melankolia, saat seseorang kehilangan sesuatu namun dia tidak tahu apa dan bahkan tidak menyadarinya. Melankolia berbeda dengan mourning, yaitu kehilangan sesuatu yang obyeknya jelas. Ya seperti ketika anda kehilangan kekasih. Tapi Melankolia, kehilangan itu tidak berbentuk. Tapi berbekas. Bekas yang barangkali tak pernah disadari oleh otak anda. Tahu-tahu, anda menjadi psikopat. Ah, tapi mungkin itu kata saya saja, bukan Freud. Salah satu dosen saya bisa menjadi sangat relijius karena kehabisan kata makian dan menggantinya dengan istiqfar jika saya menulis sebuah teori ngawur dan mengambing hitamkan salah seorang filsuf. Ah, rasanya sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan dosen itu. Saya kan sudah lulus. Lulus dengan predikat cum laude. Tuan dokter, kadang saya bertanya-tanya, apakah predikat cum laude itu yang membuat kegelisahan tak jelas dalam diri saya ini?
Saya membenci Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa manusia lain. Tapi saya membenci manusia lain. Saya merasa diri saya mengkerut, seperti parasut kisut setiap kali berada di antara manusia lain. Saya sering berimajinasi bahwa dalam diri saya ada banyak manusia lain. Sehingga saya cukup berinteraksi dengan mereka, tidak perlu keluar dari diri saya. Toh, meski banyak manusia, semuanya masih dalam control saya. Tapi barangkali saya justru membenci diri saya sendiri. Mungkin saya merasa diri saya ini seperti sebuah bisul yang mengganggu dan merusak keharmonisan alam. Makanya saya menarik diri saya dari kegiatan sosial dan mengunci diri saya sendiri dalam kegelapan total diiringi dengung kipas angin yang nyaris pensiun. Saya mencoba kembali kepada diri saya sendiri. Atau jangan-jangan saya memang bukan manusia? 
Saya ini orang tidak tahu diri. Saya diberi kehidupan yang luar biasa tapi sering merasa hidup saya seperti sampah. Saya merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan yang saja jalani, tapi saya terus menjalaninya, membiarkan ketidakberesan-ketidakberesan itu menjadi sesuatu yang seolah beres. Saya merasa hidup saya beres meski saya tahu hidup saya tak beres.Mungkin karena itu saya ingin menangis. Terkadang saya mengutuk keberadaan hati dalam diri saya. Hati membuat segalanya menjadi ruwet. Saya harus peduli kepada anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan. Tidakkah itu menjemukan? Saya harus peduli, walau saya tahu anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan tidak pernah peduli pada saya. Hati membuat saya merasa berkhianat pada suatu kesalahan orang yang puluhan juta tahun cahaya jaraknya dengan saya. Tidakkah saya ini orang aneh yang membuang-buang tenaga? Saya tahu. Makanya saya berandai-andai, bagaimana caranya menghilangkan hati dalam diri saya ini. Pada saat itu, barangkali saya bisa membuktikan bahwa Melankolia itu memang hanya kata karangan saya saja, dan Freud adalah sosok tak berdosa yang saya kambing hitamkan.

Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.

Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua. 

Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.


Hormat saya

m(anusia).