Jumat, Oktober 28, 2011

FOKUS

Ada dua jenis hal di dunia yang begitu berperan dalam hidupku. Satu, hal yang bisa kuusahakan atau hal yang bisa kuhindari, dan berhasil. Dua, hal yang kuusahakan mati-matian, atau kuhindari habis-habisan, tapi gagal.
Sekarang aku sedang menjumpai yang kedua.
Saat kita membicarakan soal cinta, maka bagiku nggak tersedia pilihan disana. Cinta adalah salah satu contoh dari hal yang tidak bisa kaupaksakan, ataupun kau hindari. Kita tidak bisa memilih pada siapa kita akan jatuh cinta, sekaligus kita tidak bisa menghindari untuk jatuh cinta pada siapa. Karena ketika cinta itu datang, maka yang kau sadari hanyalah bahwa dia tiba-tiba ada. Tanpa permulaan, tanpa salam pembuka, tanpa permintaan izin. Tak bisa kau hindari, tak bisa kau sangkal. Itu tentang seuatu yang terjadi begitu saja.
Kalau bisa memilih, mungkin aku akan memilih untuk tidak pernah mengenalmu. Apalagi mencintaimu. Menatapmu, rasanya seperti menatap obyek yang terletak puluhan kilo jauhnya, walaupun kau ada tepat di depan mataku. Kau sangat dekat, sekaligus sangat jauh. Entah bagaimana aku menyebutnya.
Sekali lagi ini bukan pilihan. Tapi sebuah keterpaksaan, saat kau harus menjalani sesuatu yang sebenarnya tidak kamu sukai. Ini soal keterbiasaan, sekaligus ketidakbiasaan. Ini rumit memang.
Padamu, kutitipkan semua mimpi-mimpi tentang seraut wajah tanpa nama yang menghantui tidurku akhir-akhir ini. Padamu kusematkan gelar tertinggi yang pernah kumengerti, sekaligus gelar terindah. Padamu kutitipkan apa yang tak pernah kuberikan kepada yang lain, sekaligus yang memang hanya kusimpan untukmu. Kurasa tak ada yang salah dari itu semua. Kau bukan orang yang buruk, bukan pula orang yang tidak pantas dicintai. Kau adalah keindahan, dan kebaikan, serta kasih sayang itu sendiri. Medefinisikanmu, aku harus membuang jauh-jauh kekurangan-kekurangan subyektifku.Kau cukup sempurna untukku. Bahkan mungkin kau adalah kesempurnaan itu sendiri. 
Satu-satunya masalah adalah, kau tak pernah mencintaiku seperti aku mencintaimu. Itulah awal dari segala kebodohan dan kekonyolan yang tak bisa kutanggungkan ini.

Aku mencintaimu. Itu sudah pasti. Tidak perlu menggunakan asumsi-asumsi dasar, atau teori-teori tingkat tinggi, atau penelitian bertahun-tahun untuk memastikan bahwa aku mencintaimu, dengan segenap perasaan yang kupunya, dengan seluruh luasan dalam hatiku, sampai tak tersisa tempat sesentipun untuk yang lain.

Rasa ini menyiksa. Tapi aku menikmatinya.

Mungkin banyak orang yang mengatakan aku ini seorang masokis. Seseorang yang menikmati kesakitannya. Menikmati ketakutannya. Tapi aku bukan. Aku bukan seorang masokis. Aku masih sama manusianya dengan yang lain, sama-sama mencari kebahagiaan. Hanya saja untuk kasus yang satu ini, dan tentang kamu, aku tak bisa menjelaskannya. Begitu, kalau kau sudah mencintai seseorang sampai mengabaikan pikiran sehatmu.
Lagipula, apa itu masokis? Saat rasa sakit hatiku ini sudah bisa kunikmati sebagaimana aku menikmati kebahagiaanku, apakah itu masih bisa disebut sakit hati?
Bukan, aku tidak sedang bicara mengenai hal itu. Jujur saja, aku tidak tahu apa yang sedang kubicarakan. Sudah kubilang bukan? Membicarakanmu, tentangmu, itu lebih sulit dijelaskan daripada azaz-azaz Newton, atau teori atom Bohr. 
Aku tidak pernah menemukan padanan kata yang tepat, itu saja masalahnya.

Minggu, Oktober 23, 2011

Tuhan, jangan lupa menciptakan Dia untukku.


‘Coba lihat bintang yang di atas itu.’
Aku mendongak, mengikuti arah jari telunjukmu yang terarah ke atas. Pada bintang-bintang yang entah berapa jumlahnya.
‘Indah ya? Bintang-bintang itu tak pernah kesepian.’ Aku berkata, sambil terus menatap bintang.
Tanganmu jatuh kembali ke bumi. Dengan mata bulat kau menatapku, seolah sedang memprotes pernyataanku tadi. Aku balas menatapmu, menanyakan apa ada yang salah dengan kalimatku tadi. Lalu kau kembali menatap langit, seolah mencari jawaban disana. Aku masih menatapmu dengan bingung.
‘Pernah nggak, Rayya, kamu mencoba menghitung jumlah bintang di langit?’ kau bertanya lagi.
Aku menggeleng. Sepertinya hari ini kau sedang aneh. Pertanyaan-pertanyaan yang kau tanyakan terlalu aneh bagiku.
‘Kamu percaya jodoh, Rayya?’ lagi-lagi kau bertanya.
Aku mengangguk. ‘Semua diciptakan saling berpasangan.’
Lalu kau tertawa kecil. Sebuah tawa yang mengandung kesinisan dan kegetiran. Juga sebuah ketidak yakinan. Tapi ketidak yakinan akan apa?
‘Aku nggak percaya.’ Katamu kemudian. ‘Bukan nggak percaya, tapi…’ kau bingung mencari kata yang tepat. ‘…entahlah, kadang banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Aku pusing, Rayya.’
Kugenggam tanganmu di atas rumput. Tanganmu sungguh dingin, seolah tidak ada aliran darah disana. Apa kau sedang kedinginan. Lalu kuajak kau untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan perbukitan yang setengah basah oleh hujan tadi sore. Tapi kau malah menolak dan menginginkan untuk tinggal sebentar lagi.
‘Bagaimana jika Tuhan menciptakan manusia dengan jumlah ganjil, Rayya?’
Aku menggelengkan kepala. Demi Tuhan, kenapa kau suka sekali membuatku terlihat bodoh seperti ini, Dy? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau bicarakan.
Kau tersenyum menghadapi wajahku yang tidak mengerti. ‘Aku sering berpikir,’ katamu. ‘…bagaimana jika Tuhan menciptakan manusia dengan jumlah ganjil. Bagaimana jika konsep semua diciptakan saling berpasangan itu nggak benar. Kamu tahu rasanya Rayya, bukan mustahil bukan jika diantara semua yang berpasangan itu ada satu saja yang tidak punya pasangan?’
Ah, aku mulai mengerti arah pembicaraan ini.
‘Benarkah ada seseorang di luar sana yang diciptakan khusus untukku, Rayya? Benarkah di luar sana ada seseorang yang menjadi jodohku seperti yang dijanjikan Tuhan?’
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan polos itu. Ini sama sekali bukan gayamu, Dy. Ini bukan kau yang kukenal. Kemana nada acuhmu, nada nggak pedulimu ketika orang-orang menanyakan mengapa kau selalu sendiri? Pertanyaanmu itu, menjelaskan semuanya. Tentang kebohongan atas ketenangan yang selama ini kau tunjukkan. Kau selalu bilang ‘Jodohku sudah disiapkan, yang perlu dilakukan hanyalah berusaha mencarinya.’. Kemana keyakinanmu akan hal itu, Dy? Kenapa pertanyaan resah dan menggelikan itu yang kau tanyakan sekarang? Padaku? Pada orang yang selalu mencintaimu tapi tak pernah berani mengungkapkannya padamu?
‘Aku takut Tuhan lupa menciptakan seseorang untukku, Rayya.’
‘Tuhan tidak mungkin lupa, Dy. Dia maha segala sesuatu.’
Kau menatapku lagi, dengan kedua bola matamu yang bulat dan lucu. ‘Yah, kamu benar. Tapi bagaimana kenyataannya? Kamu tahu kan? Banyak orang yang memutuskan untuk hidup sendiri selamanya. Bagaimana dengan itu? Bagaimana janji Tuhan dengan itu? Bagaimana jika seseorang yang tadinya Tuhan ciptakan untukku, adalah salah satu dari mereka yang memutuskan untuk hidup sendiri?’
Aku terdiam.
‘Apa takdir bisa berubah, Rayya?’
Aku masih diam sambil memainkan rumput di tanganku. Langit malam mulai mendung.
‘Masihkah menurutmu tidak mungkin, jika Tuhan menciptakan manusia dalam jumlah ganjil, dan Ia lupa menciptakan seseorang untukku, Rayya?’ desakmu. ‘Tolong jawab, aku mulai gila memikirkan tentang ini.’
‘Kalau begitu, berdo’alah, Dy. Berdo’a saja.’ Jawabku.
‘Berdo’a? Bagaimana? Tuhan, jangan lupa menciptakan Dia untukku, ya? Begitu kah cara berdo’a, Rayya?’
Aku tersenyum, lalu bangkit, mengajakmu pulang. Kali ini kau menurut. Dalam perjalanan pulang, aku menceritakan sesuatu.
‘Aku nggak tahu, Dy, aku nggak tahu adakah kemungkinan Tuhan lupa itu ada atau tidak. Aku nggak tau apakah ada seseorang diluar sana yang diciptakan khusus untuk kamu, dan untuk aku juga. Aku nggak tahu bagaimana pastinya, tapi aku memilih untuk mempercayainya. Iya, ini adalah spekulasi besar-besaran.’
Kau mencari-cari tanganku. Dan menggenggamnya erat, aku tahu kau sedang mencari kehangatan untuk menetralisir dingin dari tubuhmu. Aku balas menggenggem tanganmu lebih erat lagi. Lebih dari yang biasanya kulakukan.
‘Tapi bukankah jodoh itu memang harus dicari, Dy? Masuk akalkah, jika jodohmu datang begitu saja saat kamu sedang duduk di ruang tamu rumahmu? Tanpa usaha? Tanpa pencarian? Itu agak abstrak. Jodoh itu perlu dicari. Hatimu itu perlu dibuka untuk merasakah cinta, untuk menyambut kedatangan seseorang yang diciptakan khusus untukmu. Mengerti kan?’
‘Jadi?’
‘Jadi, ya itu tadi. Aku nggak tau siapa jodohku, siapa jodohmu, ada atau tidaknya. Tapi aku menjanjikan ini, Dy, dengarkan baik-baik, jika benar Tuhan lupa menciptakan seseorang untuk kamu, jika benar kamu nggak punya jodoh, aku nggak akan membiarkan itu terjadi. Kamu mengerti? Aku bisa saja menjadi jodohmu, mungkin saja akulah orang yang diciptakan Tuhan khusus untukmu, dan aku selalu menginginkannya. Aku bisa menjadi jodohmu, asalkan kamu mau membuka hatimu.’ Aku menghela nafas panjang. ‘Bukalah hatimu, Dy, lihatlah cinta yang begitu dekat ini. Lihatlah, dan coba pertimbangkan.’
Langkahmu tiba-tiba terhenti. Berbarengan dengan hujan yang tiba-tiba turun deras mengguyur perbungkitan. Mengguyur kita, menghukum kita yang sedang berusaha menciptakan takdir sendiri.
Namun di sudut hatiku yang lain, pertanyaan itu mulai terpatri. Bagaimana jika kau menolakku? Bagaimana jika Tuhan juga lupa menciptakan seseorang untukku? Adakah seseorang itu berada di luar sana? Ah, Dy, lagi-lagi kau mengacaukan hatiku.
Depok, 23 Oktober 2011




#Nowplaying: AKU ADA by Dee feat Rinna 'Mocca'

Recycle

Lalu kutemukan sepotong senyum itu disana. Diantara wajah-wajah asing yang tak kukenali. Senyum itu masih berupa seringaian yang kukenal dulu, yang selalu menjungkir balikkan duniaku, dan membuatku melupakan siapa aku. Siapa aku, dan siapa kamu, adalah factor terbesar dalam cerita ini, adalah actor utama dalam setiap lipatan penyesalan, yang akhirnya berujung pada suatu kesimpulan: Mungkin aku telah benar-benar kehilanganmu.
Kau yang dulu pernah kumiliki. Sebentar, mungkin lebih tepat kalau kukatakan, kau yang dulu KURASA pernah kumiliki. Walaupun kehilangan kedua itu, sama-sama menyakitkan.
Senyummu semakin dekat, menawarkan kedekatan semu. Dan mendadak saja tanganku berkeringat. Melihat senyummu, otakku mendadak berhenti memproduksi hormon entah apa yang biasanya membuatku tenang, membuatku percaya diri. Demi Tuhan, melihat senyummu membuatku gugup.
Dan kau sudah semakin dekat saja. Tulangku terasa kaku. Jika tidak, mungkin aku sudah berlari kabur jauh-jauh sebelum kau sempat melihatku. Dan menghampiriku.
‘Hai!’ sapamu ramah, seolah jutaan waktu perpisahan ini tidak berarti apa-apa.
Aku menjawabmu. Entah apa yang kukatakan, aku tidak ingat jelas.
‘Apa kabar?’
Aku gila. Nyaris gila memikirkanmu selama berbulan-bulan ini. Menyalahkan diriku sendiri karena menyakiti sepotong hati yang kau sodorkan, memarahi diri sendiri karena membohongi semua orang, dan mengutuk diri sendiri karena mendustakan perasaanku sendiri. Dan kau bertingkah seolah kita tidak pernah ada apa-apa?
‘Aku nggak nyangka kamu ada disini. Kupikir kamu nggak mau ketemu aku lagi?’
Demi Tuhan, akupun menyangka begitu! Aku bahkan tak tahu kenapa aku berada di sini, di hari pentingmu. Setelah apa yang kulakukan padamu, dan pada diriku sendiri, seharusnya aku malu bahkan untuk bertatap muka denganmu.
Aku tersenyum salah tingkah. Dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya meraih apa yang dia cita-citakan sejak dulu. Oh ya, sebenarnya aku selalu memperhatikanmu dan apa yang kau katakan. Aku masih mengingat semuanya. Salah kalau kau mengira aku mengacuhkanmu. Lebih salah lagi jika kau mengira aku sama sekali tak mencintaimu seperti yang selalu kukatakan kepadamu, berwaktu-waktu yang lalu.
‘Mau jalan-jalan sebentar?’ tawarmu sambil mengulurkan tanganmu.
Aku mengangguk, menerima ajakan yang selalu kuimpikan namun juga kumunafikan.
Aku teringat berbulan-bulan lalu, entah sudah berapa lama, saat kau datang padaku, menawarkan sebuah ikatan. Apa yang kurasakan? Kau bertanya apa yang kurasakan? Aku tak bisa menjelaskan bagaimana tepatnya, tapi memang itulah yang kuharapkan sejak pertama kali aku mengenalmu. Aku mencintaimu jauh sebelum kau menawarkan hatimu padaku.
Lalu mengapa aku menolakmu, menyakitimu sedalam-dalamnya? Ah, aku tahu alasanku ini sangat tidak masuk akal. Tapi itulah kenyataannya. Aku terlalu pengecut untuk menyandang nama sebagai gadismu, aku terlalu pengecut untuk menyimpan hatimu, dan untuk menitipkan hatiku padamu. Tentu kau menyadari eksistensimu sebagai seorang Rayya. Sebagai seorang laki-laki yang begitu tinggi, begitu agung, dan tak tersentuh. Lalu kenapa kau memilihku? Memilih seorang aku yang bahkan tak memiliki seujung kukupun dari pesona yang kau miliki. Aku benar-benar kerdil, di bawah pesonamu. Aku merasa seperti sebuah cacat yang akan mengurangi keindahanmu jika aku terus-terusan berada di sampingmu. Perasaan ini tak pernah bisa kutanggungkan.
Yah, itulah alasannya kalau kau mau tahu. Betapa menyedihkannya? Betapa pengecutnya?
Lalu setelah aku menolakmu, dengan dalih aku tak pernah mencintaimu, dan kau berbalik unyuk pergi dengan kepala tertunduk serta hati terluka, sesungguhnya saat itu aku juga sedang berusaha memunguti pecahan hatiku yang berserakan. Aku sama terlukanya denganmu. Aku sama sakitnya. Mungkin kau tak pernah tahu tentang bagian ini, tapi, ya, aku bahkan menangis di belakang punggungmu yang kian jauh. Aku ingin memanggilmu untuk kembali, namun seperti ada tangan gaib yang membungkam mulutku.
Aku berdusta pada semuanya. Pada dunia, padamu, dan pada diriku sendiri.
‘Jadi, ada cerita apa aja selama setahun ini?’ tanyamu lagi.
Tanganmu yang hangat masih menggenggam tanganku yang dingin. Membimbingku untuk berjalan-jalan mengelilingi bangunan bergaya renaissance ini.
‘Tentang apa?’ aku balas bertanya.
‘Apa saja. Apapun yang kamu ceritakan akan selalu menarik untuk kusimak, tenang saja.’ Jawabmu.
Aku menghela nafas. Untuk semua kelembutan ini, apakah ini nyata? Ataukah hanya sepercik basa-basi untuk kawan lama?
‘Nggak ada. Nggak banyak yang berubah dari setahun yang lalu.’ Jawabku.
Kau menghentikan langkah. Menunduk menatap mataku. Tanganmu semakin lama semakin dingin. Apakah suhu tubuhku yang rendah sudah menular padamu?
‘Termasuk soal hati?’
Aku terdiam mendengar pertanyaanmu yang terakhir.
‘Hati?’ aku mengulang pertanyaan itu dengan bodoh. Lalu aku menggeleng dan tersenyum. ‘Mungkin untuk yang satu itu nggak akan pernah ada perubahan apa-apa.’
Aku masih mencintaimu. Selalu mencintaimu. Sabagaimana dulu, sebagaimana sekarang, dan mungkin nanti.
‘Jadi bagaimana?’ aku melempar pertanyaan. ‘Yang mana yang memiliki hatimu sekarang?’ aku mengedikkan mata ke araha gerombolan wanita yang memakai seragam yang sama dengan yang kau kenakan. Mereka tampak seperti sekelompok wanita cerdas dan berkelas. Yang sangat tidak sopan kalau dipersaingkan dengan aku.
‘Jangan bercanda.’ Kau menjawab dengan nada dingin, sambil meneruskan langkah, masih menggenggam tanganku. ‘Itu pertanyaan konyol.’ Itu pertanyaan paling penting bagiku. ‘Ngomong-ngomong, kamu belum menanyakan perubahan hatiku? Lupa? Apa nggak tertarik?’
Aku menelan ludah. Untuk apa aku bertanya, bukankah jawabannya sudah pasti? Karena itulah aku justru menanyakan siapa yang memiliki hatinya.
Lalu kau berkata lagi. ‘Kamu bertanya siapa yang memiliki hatiku? Jawabannya sama dengan jawabanmu tadi. Nggak banyak yang berubah denganku sejak setahun yang lalu.’ Kalimatmu berhenti sebentar. Kau tampak menghela nafas panjang, lalu meneruskan. ‘Terutama soal hati, mungkin itu nggak akan pernah ada perubahan.’
Langkahmu berhenti. Langkahku berhenti. Lalu kau menatapku, seperti menuntut. Aku balas menatapmu, dan menghela nafas panjang. Lega. Ini bukan kesemuan belaka. Ini adalah sebuah kepastian bahwa memang belum ada yang berubah.
‘Tapi aku tahu, selamanya ini hanya akan menjadi cerita yang tak pernah selesai. Mungkin selesai, bagimu, tapi bagiku, ini…entah kapan akan berakhir.’
Aku ingin memelukmu. Ingin memelukmu, dan tak pernah melepaskanmu lagi.
Kau tertawa kecil. ‘Yah, intinya adalah, aku selalu mencintaimu, tak pernah berubah. Dan kau tak pernah mencintaiku, tak pernah berubah juga. Indah sekali bukan?’
Air mataku menetes. Satu, dua, tiga, dan mengisak-isak dengan sendirinya. Kau panik, dan bertanya apa kau menyakitiku. Aku menggeleng. Menggeleng. Dan menggeleng lagi. Bukan kau yang menyakitiku, tapi aku! AKU! Aku yang menyakitimu.
‘Kamu tahu, Rayya,’ kataku di sela-sela isak. ‘Hatiku nggak akan bisa berubah. Aku mencintaimu. Sejak dulu, dan nggak pernah berubah sampai sekarang. Maafkan ketololan ini, maafkan…Aku mencintaimu, Rayya…aku mencintaimu…aku sama hancurnya denganmu…’
**************************************************************

Depok, 23 Oktober 2011
01.51 am



P.S Sebuah do’a, sebuah harapan, sebuah mimpi tentang sepotong hati yang kusakiti berkali-kali. Masihkah ada kesempatan ketiga?
#nowplaying: I will be by Avril Lavigne

Sabtu, Oktober 22, 2011

Senyap bersama kopi dingin

There is someone walking behind you
Turn around, look at me
There is someone watching your footsteps
Turn around, look at me
There is someone, who really needs you
Here’s my heart, in my hand
Turn around, look at me
Understand…understand,
That there is someone who’ll stand beside you
Turn around, look at me
And there is someone who’ll love and guide you
Turn around, look at me
I’ve waited, but I’ll wait forever for you to come to me
Look at someone, who really love you,
Yeah, really love you
Turn around, look at me…                           
(Turn Around, Look at Me--The  Vogues)

Kopi dalam cangkirku sudah mendingin. Tidak ada lagi uap-uap panas yang mengepul dari sana. Genggamanku tak lagi terasa hangat. Rasa dingin justru terpancar dari cangkir bergambar kucing yang tadinya berisi kopi panas itu. Aku mulai kedinginan.
Kusesap kopi hitam yang sudah dingin itu. Rasanya hambar. Tak jauh berbeda dengan air putih. Hanya ada tambahan rasa pahit dan sedikit getir disana. Tapi aku menyukai kopi yang seperti ini. Kopi dingin dan pahit dan getir. Bukan menyukai, tapi lebih karena aku terbiasa dengannya.
Di depanku, kau duduk dengan gelisah. Mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja. Cangkir kopimu sudah kosong. Kau selalu terbiasa meminum kopimu selagi kopimu masih panas. Mengepulkan uap-uap panas ke wajahmu. Membuat hangat, begitu katamu dulu. Ah, tidak. Aku tak berminat mencoba kebiasaanmu. Aku akan mempertahankan kebiasaanku sendiri. Menunggu sampai kopiku sedingin air putih, dan mencecap rasa pahit disana.
Dalam diam, aku menyesap kopiku lagi.
Kau sedang bicara. Bicara entah soal apa. Aku tak mendengarkannya. Sama sekali tak berminat mendengarkannya. Kau sibuk bicara, aku sibuk dengan kopiku sendiri. Kita duduk bersama, tapi sibuk sendirian.
Kau sentuh tanganku yang sedang melingkari cangkir kopi, mencoba membawaku masuk ke dalam kesibukanmu. Aku mengeluh. Hanya dalam hati. Lalu aku pun masuk ke dalam kesibukanmu. Bukan karena aku menyukainya, tapi karena aku terlalu terbiasa dengannya.
‘Dia punya yang lain.’ Katamu.
Aku mendengarkan dengan dahi berkerut. Lalu bertanya, ‘Bukankah kau sudah tau dari dulu? Kenapa baru sekarang kau menegaskannya?’
Kau terdiam. Yah, selalu begitu kelakuanmu. Terkadang aku ingin berteriak, ingin memakimu, ingin menanyakan apa yang sebenarnya sedang kau cari. Kau mencintai dengan segala yang kau punya, kau mengejar dengan peluh bercucuran dan nafas putus-putus, tapi kau juga tau bahwa yang kau cintai dank au kejar bukan hanya tak pernah mencintaimu, tapi juga tak pernah melihatmu. Aku yakin kau sudah tau itu entah sejak kapan.
Kau mencintai sampai kau lupakan duniamu. Kau terlalu sibuk memperhatikannya, sampai-sampai kau tak pernah melihatku. Hei, benarkah itu? Benarkah kau tak pernah melihatku? Pernahkan kau mencoba menyadarinya, sebentar saja. Bahwa ada aku disini, di depanmu, yang selalu menjadi kaset usang yang merekam semua kata-katamu tentang cintamu? Pernahkah kau bertanya-tanya kenapa aku selalu bersedia tersiksa bosan saat harus mendengarmu mengeluhkan segala hal? Pernahkah kau sedikit saja mencari tau tentang aku, aku yang hanya kau ajak bicara saat kau memerlukan kaset perekam? Dan pernahkan sempat terpikir dalam pikiranmu, bahwa aku mencintaimu?
‘Cinta itu bikin sakit hati, ya? Bagaimana mungkin dia tidak tau aku mencintainya setelah apapun yang kulakukan untuknya?’ kau mengeluh lagi.
Bagaimana mungkin kau bisa tidak tau aku mencintaimu setelah apapun yang kulakukan untukmu? Coba jawab pertanyaanku, dan aku akan membantumu memecahkan masalahmu.
‘Apa yang harus kulakukan?’
Ah, akhirnya sampai juga kau pada pertanyaan itu. Ini juga sudah berulang kali kau tanyakan kepadaku. Apa yang harus kau lakukan untuk menghadapi cintamu yang tidak pernah memahami perasaanmu. Namun izinkan aku menanyakan hal yang sama kepadamu. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapimu yang tak pernah memahami perasaanku?
Ah, Rayya, sadarkah kau? Kita ini sama-sama kaset usang yang hanya diperlukan saat seseorang ingin merekam sesuatu.
‘Mungkin sebaiknya kau melupakannya saja.’ Jawabku. ‘Hidupmu terlalu singkat kalau hanya kau habiskan semua waktumu untuk menunggunya untuk  mengerti.’
Saran yang sama juga kutujukan pada diriku sendiri.
Kau termenung. Diam, menatap tanganku yang masih memutari cangkir kucingku. Kopiku masih ada setengahnya.
‘Aku mencintainya.’ Katamu kemudian, dengan mata menerawang jauh.
Dan aku mencintaimu.
Aku masih ingat saat kita pertama kali bertemu. Saat kau menanyakan waktu, dan aku menjawabnya dengan keringat bercucuran. Aku mengenalmu, jauh sebelum kau mengenali dirimu sendiri. Setelah ratusan waktu yang kupergunakan untuk menatapku, untuk menghafalkan semua kebiasaanmu, pada akhirnya kau mendatangiku.
Aku dan kamu mulai tak searah. Aku menujumu, sementara kau mungkin juga menujuku. Itu yang kubisikkan dalam do’aku setiap hari. Kuharap Tuhan mendengarnya. Semoga saja arah kita saling mendekati.
Namun pada hari itu, di suatu senja yang kusam, aku menunggumu di bangunan Belanda ini, menunggumu datang seperti yang kau janjikan. Kau memang datang. Kau tak pernah ingkar janji. Tapi hari itu kau datang dengan membawa sebuah nama baru yang kelak akan sangat kusesali kenapa kau datang hari itu.
Sejak saat itulah, kita mulai searah. Mungkin kita akan selamanya searah.
Jangan bertanya apa maksudnya. Bukankah sudah jelas? Aku menghabiskan seluruh hidupku dengan arah yang menujumu, sementara kau menghabiskan seluruh waktumu untuk menujunya. Aku menujumu, sementara kau menjauhiku dan menuju yang lain. Selamanya akan begitu.
Tapi walau kau menjauhiku, aku tak pernah bisa menjauhimu. Aku tak bisa mengubah arahku, dan itulah yang menjadi kesalahanku. Salahku sendirilah kenapa aku selalu terperangkap dalam bangunan Belanda dengan cangkir kopi dingin, dan kata-katamu yang seringkali membunuh hatiku.
Aku yang menentukan arahku sendiri bukan?
‘Aku tak bisa melupakannya, Dy.’ Katamu.
‘Yeah, kau tak pernah mencobanya.’
‘Bagaimana caranya?’
Aku memajukan tubuh, melepaskan cangkir dari genggamanku. ‘Kau bisa mengabaikannya kan? Coba abaikan dia, dan cobalah lihat yang lain. Kau pasti bisa, Rayya.’
Kau mengerutkan dahi. ‘Tak semudah itu.’
Memang. Sampai sekaranpun aku belum berhasil melakukannya.
‘Tapi kau bisa mencobanya pelan-pelan…’
Kau melambaikan tangan, memutus kalimatku, karena bunyi ponselmu terdengar mengganggu. Kau menatapku sejenak, sebelum menjawab panggilan dengan ringtone khusus itu. Matamu terlihat berbinar, sekaligus terlihat pasrah. Bahagia, sekaligus menderita. Itu ekspresimu setiap kali bicara dengan cintamu.
Aku menggigit bibir. Menyadari bahwa pembicaraan ini masih saja sia-sia. Kuraih cangkirku kembali. Mencecap rasa pahit dan dingin, yang bukan kusukai, tapi kubiasai.
Kau masih sibuk dengan ponselmu yang menyeru-nyerukan nama cintamu. Aku sibuk memunguti kepingan hatiku yang hancur, entah untuk yang keberapa kalinya. Lagi-lagi kita duduk bersama, tapi sibuk sendirian.
Mungkin akan selamanya begitu.
*************************************************************
Depok, 01/10/2011

Senin, Oktober 10, 2011

'Ketika cinta itu datang, maka yang kau tahu hanyalah bahwa dia tiba-tiba ada. Tanpa permulaan, tanpa kata pembuka, tanpa izin. Tak bisa kau hindari, tak bisa kau sangkal. Ini adalah tentang sesuatu yang terjadi begitu saja.'
 -Paramitha Wardhani-