Selasa, Desember 17, 2013

Tahukah Kau...




... bahwa dinding jendela ini sudah tak lagi berdebu. Sejak aku termanggu, membersihkan setiap jengkal debu dengan secarik ayat-ayat. Sebagaimana kubersihkan isi kepalaku dan kuisi namamu. Seperti kubuang jauh-jauh prasangka yang membuat hati ini karatan. Lalu akan kutulis namamu seribu kali, tak sebagai hukuman, melainkan sebagai kerinduan. Tapi siapa namamu?


Aku sudah duduk di sini bertahun-tahun. Menatap keluar jendela, pada langit yang biru tak sempurna. Mungkin semalam hujan turun lagi. Resahku kukirimkan pada sang Jatayu, yang menjaga Shinta dari incaran Rahwana. Pergilah, menjauhlah, biarkan aku sendiri. Biarkan Rahwana mendapatkan hak yang telah dijanjikan padanya.  Tapi siapakah namamu, Rahwana? 



Minggu, November 17, 2013

Surat untuk Tuan Dokter


Kepada yth: Tuan dokter di tempat

Selamat malam. Sebelumnya saya mohon maaf jika surat ini mengganggu. Saya menemukan rubrik anda dalam sebuah surat kabar di tahun 60an. Kedua orang tua saya masih kanak-kanak waktu itu. Apakah anda seorang psikiater? Banyaknya orang yang mengeluh pada anda tentang perasaan tak menentu yang dialaminya, serta jawaban-jawaban anda, saya simpulkan jika anda adalah seorang psikiater. Maaf jika saya salah, tapi saya butuh bantuan anda. Asal anda tahu, saya perlu waktu hingga dua minggu untuk memberanikan diri menyampaikan surat ini. Karena mengakui ada kelaian dalam diri sendiri bukankah itu memalukan?

Tuan dokter yang terhormat, bagaimana cara menghilangkan hati? 

Terkadang, pada saat-saat bahagia yang keterlaluan, atau sedih yang berkepanjangan, dan barangkali saat tak terjadi apa-apa, saya merasa ada yang salah dengan diri saya. Saya merasa seperti pengkhianat. Walau sungguh mati saya tak tahu siapa yang saya khianati. Mungkin diri saya sendiri. Tapi untuk apa saya mengkhianati diri sendiri? 

Saya sering gelisah. Merasa tiba-tiba ingin menangis, lalu terdiam, karena saya tahu tak ada yang perlu saya tangisi. Tapi saya masih ingin menangis. Bisakah saya menangisi ketiadaan sebab saya untuk menangis? Saya orang yang bodoh. Bodoh dan pintar. Saya tidak mengenali diri saya sendiri untuk tahu apa yang membuat saya ingin menangis. Tapi bukankah saya cukup pintar karena mengetahui bahwa diri saya ingin menangis? 

Saya sering merasa kehilangan. Tapi tidak tahu kehilangan apa. Mungkin karena itu saya ingin menangis. Freud mengatakan ini adalah reaksi melankolia, saat seseorang kehilangan sesuatu namun dia tidak tahu apa dan bahkan tidak menyadarinya. Melankolia berbeda dengan mourning, yaitu kehilangan sesuatu yang obyeknya jelas. Ya seperti ketika anda kehilangan kekasih. Tapi Melankolia, kehilangan itu tidak berbentuk. Tapi berbekas. Bekas yang barangkali tak pernah disadari oleh otak anda. Tahu-tahu, anda menjadi psikopat. Ah, tapi mungkin itu kata saya saja, bukan Freud. Salah satu dosen saya bisa menjadi sangat relijius karena kehabisan kata makian dan menggantinya dengan istiqfar jika saya menulis sebuah teori ngawur dan mengambing hitamkan salah seorang filsuf. Ah, rasanya sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan dosen itu. Saya kan sudah lulus. Lulus dengan predikat cum laude. Tuan dokter, kadang saya bertanya-tanya, apakah predikat cum laude itu yang membuat kegelisahan tak jelas dalam diri saya ini?
Saya membenci Aristoteles, yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa manusia lain. Tapi saya membenci manusia lain. Saya merasa diri saya mengkerut, seperti parasut kisut setiap kali berada di antara manusia lain. Saya sering berimajinasi bahwa dalam diri saya ada banyak manusia lain. Sehingga saya cukup berinteraksi dengan mereka, tidak perlu keluar dari diri saya. Toh, meski banyak manusia, semuanya masih dalam control saya. Tapi barangkali saya justru membenci diri saya sendiri. Mungkin saya merasa diri saya ini seperti sebuah bisul yang mengganggu dan merusak keharmonisan alam. Makanya saya menarik diri saya dari kegiatan sosial dan mengunci diri saya sendiri dalam kegelapan total diiringi dengung kipas angin yang nyaris pensiun. Saya mencoba kembali kepada diri saya sendiri. Atau jangan-jangan saya memang bukan manusia? 
Saya ini orang tidak tahu diri. Saya diberi kehidupan yang luar biasa tapi sering merasa hidup saya seperti sampah. Saya merasa ada yang tidak beres dengan kehidupan yang saja jalani, tapi saya terus menjalaninya, membiarkan ketidakberesan-ketidakberesan itu menjadi sesuatu yang seolah beres. Saya merasa hidup saya beres meski saya tahu hidup saya tak beres.Mungkin karena itu saya ingin menangis. Terkadang saya mengutuk keberadaan hati dalam diri saya. Hati membuat segalanya menjadi ruwet. Saya harus peduli kepada anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan. Tidakkah itu menjemukan? Saya harus peduli, walau saya tahu anda, dia, mereka, dan entah siapapun yang saya jumpai di jalan tidak pernah peduli pada saya. Hati membuat saya merasa berkhianat pada suatu kesalahan orang yang puluhan juta tahun cahaya jaraknya dengan saya. Tidakkah saya ini orang aneh yang membuang-buang tenaga? Saya tahu. Makanya saya berandai-andai, bagaimana caranya menghilangkan hati dalam diri saya ini. Pada saat itu, barangkali saya bisa membuktikan bahwa Melankolia itu memang hanya kata karangan saya saja, dan Freud adalah sosok tak berdosa yang saya kambing hitamkan.

Tuan Dokter yang terhormat, mengulang pertanyaan saya di atas, apakah saya ini manusia? Jika ya, apakah saya ini normal? Dan jika tidak, apakah kegelisahan-kegelisahan yang saya rasakan ini bisa mengakibatkan kegilaan? Demi Tuhan saya tidak ingin menjadi gila. Terkadang saya heran melihat orang lain yang tidak memahami apa yang saya katakan. Atau memandang aneh dengan apa yang saya lakukan. Saya sering tidak mengerti dengan tingkah laku orang-orang di sekitar saya. Para penjilat yang menatap orang lain dengan mata menyipit seolah orang lain itu, dalam hal ini saya, telah melakukan perbuatan terkutuk yang merusak nama negara. Sungguh saya tak mengerti dimana anehnya. Tapi sumpah, saya tidak gila, tuan dokter. Tolong, saya tidak ingin gila. Hanya orang gila yang tidak punya malu melakukan hal-hal yang menjijikan di depan umum. Orang gila tidak punya akal, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Saya tidak mau gila, tuan dokter. Tolonglah.

Apakah Tuan dokter yang terhormat masih menyimak saya? Ngomong-ngomong, saya merasa tak enak menanyakan hal ini, tapi apakah tuan dokter masih hidup? Masih sehat walafiat dan mampu menjawab surat saya ini? (Bagaimanapun surat kabar yang membuat rubrik anda itu terbit lebih dari lima puluh tahun yang lalu) Jika ya, kirimkan saja suratnya di alamat email saya, tidak usah memuatnya di surat kabar tempat anda bekerja. Biarkan konsultasi ini menjadi rahasia kita berdua. 

Semoga Tuhan Dokter yang terhormat senantiasa diberikan kesejahteraan.


Hormat saya

m(anusia).

Kamis, Oktober 17, 2013

Rumus Adikuasa: Bahagia (dengan B besar)





Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit mendebarkan, seseorang asing bertanya kepadaku. Apa itu Bahagia?
 
Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima. Pertanyaan yang sepanjang empat tahun telah kugeluti, bersamaan dengan migrain permanen akibat bergadang setiap malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus trans-Jogja yang sedikit oleng. 

 Apa itu Bahagia?

Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan dengan mudah menjawabnya. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor, dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping pak kusir yang sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-10 tahun itu. Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.

Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah itu aku akan menangis kecil, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta, yang pada saat itu sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah diterjemahkan. Barangkali sesungguhnya, aku ingin mengatakan bahwa bahagia itu bisa bersama dengan orang yang kucintai dan balas mencintaiku, dan berjanji tidak akan menyakitiku. Barangkali juga, sesungguhnya semboyan ‘cinta tak harus memiliki’ itu adalah kamuflase dari keharusan memiliki dari cinta. Penolakan sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mendapatkan cinta. Bingung? Aku juga. Tapi setidaknya aku tahu apa itu bahagia.

Kalau flashback hingga tiga tahun lalu saja, aku juga masih bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah kampur ternama, dengan biaya yang tak terlalu banyak. Orang tuaku bangga, aku senang, dan aku seolah melihat masa depanku cerah mendadak.

Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa depanku cerah, dan si orang asing sialan bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di trans-jogja yang mendebarkan ini.

Apa itu Bahagia (dengan B besar)?

Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.

Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado, punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu ternyata tak berperi kemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat kebetulan dan temporer-temporer yang membuat frustasi semata.

Di tengah kecamuk frustasiku dan desingan otakku yang berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah tujuan hidup manusia.

Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.
Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan sialan itu. Atau jika tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami. Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.

Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah terpenuhi, jawabku sok filosofis. Jadi batas akhirnya adalah ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.

Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?

Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan dengan orang asing dengan topik seaneh dan semenyebalkan keBahagiaan dengan B besar. Ataukan pria ini seorang agen dari reality show yang akan memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku tamat kawan.

Apa itu Bahagia dengan B besar? Apa batas awal dan batas akhir Bahagia? Apakah seseorang yang berusaha memertahankan kebahagiaannya masih bahagia? Itu daftar pertanyaan dari pria ini. Kuserahkan padamu, karena aku telah sampai di halte tujuanku.

Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa pusing-pusing mencari Bahagia dengan B besar, jika bahagia dengan b kecil sudah cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.

Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus memikirkannya?



Pondok Cina

21.40 WIB

#nowplaying: Aku Dimana—Dialog Dini Hari

Rabu, Oktober 02, 2013

Pernyataan (ber)salah



Aku menyalahkan Tuhan lagi hari ini.

Hariku sudah kacau sejak matahari terbit. Jam wekerku berhenti berbunyi dan membiarkanku tidur pulas hingga tengah hari. Kurasa aku mabuk semalam. Terlalu bersemangat merayakan rencana pernikahan salah satu teman yang terkenal playboy. Pulang ketika orang-orang sedang sholat tahajud dan tidak ingat apa-apa hingga bosku menelfon. Aku dipecat, karena ini sudah ke lima kalinya aku telat. Sialan. Lalu sore harinya, pacarku marah-marah karena aku dipecat. Katanya aku terlalu menyia-nyiakan hidup dan tak serius dengan hubungan kami. Katanya kalau aku serius aku pasti akan serius bekerja demi masa depan kami selanjutnya. Lalu dia memutuskanku. Begitu saja. Bisakah kau bayangkan aku menerima pemecatan dua kali dalam sehari? Seperti jadwal minum antibiotik dari dokter akibat flu berkepanjangan.

Bosku jelas tidak tahu bahwa aku sudah membuang nominal besar di tabunganku yang pasti akan kuperoleh jika aku memilih bekerja di perusahaan mutinasional setahun yang lalu, hanya untuk penerbitan kecil sialan itu. Pacarku juga pasti tidak tahu aku telah membuang pacarku yang dulu demi dirinya. Padahal aku yakin pacarku yang dulu tidak sepenuntut dirinya. Hanya karena aku begitu terlena oleh keindahan pacarku, dan terbutakan oleh hasrat sesaat, lantas aku berpikir bahwa pacarku adalah yang terbaik. Tak apa-apa kalau dia memang memutuskanku. Tapi tak bisakah ia melakukan itu esok hari? Supaya aku bisa mengatasi kesedihanku ini satu persatu? Sekarang bayangkan, temanku yang playboy itu akan segera memasuki jenjang pernikahan, sementara aku yang sangat setia ini justru akan memasuki jenjang kesendirian di usia tiga puluh tahun. Ada di mana keadilan yang katanya diperuntukkan bagi ornag-orang baik sepertiku?

Aku menyalahkan Tuhan atas semuanya. Aku menolak menyalahkan diriku sendiri karena aku adalah makhluk ciptaannya. Aku hanya aktor sementara dia sutradara. Kenapa pula aktor harus bertanggung jawab atas jalan cerita yang tak ia tahu menahu sebelumnya. Memangnya kenapa wekerku tak mau berbunyi di jam 7 pagi padahal ia telah menjalankan tugasnya dengan baik selama lima tahun jika bukan Tuhan yang menggerakannya? Memangnya kenapa bosku yang biasanya pemaaf dan memaklumiku karena prestasi kerjaku yang gilang gemilang menjadi sadar bahwa etika kerja lebih dibutuhkan ketimbang skill dan akademis, jika bukan Tuhan yang memberinya hidayah dan calon-calon karyawan baru yang lebih kompeten dariku? Memangnya hidayah dari siapa yang menuntunku untuk memilih penerbitan kecil ini dibanding sederet perusahaan multinasional, jika bukan Tuhan yang menggerakan hatiku untuk memilih mana yang menjadi passionku? Memangnya kenapa pacarku yang biasanya asik-asik aja dengan gaya hidupku, mendadak sadar bahwa usianya sudah banyak dan cinta kami saja tak cukup untuk hidup bersama, jika bukan Tuhan yang mengarahkannya pada kesadaran akan dosa dan hidup yang sia-sia? Memangnya siapa yang membuat temanku yang playboy harus menikah sementara aku harus patah hati? 

Sekarang bayangkan, bagaimana ku harus menghidupi hidupku yang sendirian ini setelah ini? Lantas apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku di kampung sana mengenai kiriman bulan ini yang absen karena aku tak lagi bergaji? Darimana aku harus mulai mencari pekerjaan baru dan pacar baru untuk memasuki kehidupan baru? Ha? Bisakah Tuhan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini?
Kenapa aku tidak boleh menyalahkan Tuhan atas kacaunya hidupku sementara Dia adalah penciptaku? Bukankah Dia penggerak yang tidak digerakkan? Bukankah Dia penyebab awal dan penyebab final atas segala sesuatu? Bukankah Dia hanya memerlukan ‘kun fayakun’ untuk membalik gunung Himalaya dan menjadikannya samudera baru? Lantas mengapa Dia tidak menciptakan skenario yang asik-asik saja untukku?

Aku bertemu dengan tukang sapu di jalan. Ia menguliahiku tentang kehendak bebas yang dimiliki manusia, ketika aku curhat padanya tentang kesialanku seharian ini, dan mungkin beberapa hari ke depan. Katanya, Tuhan hanya mengatur balasan-balasan dari apa yang kulakukan. Aku yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Apa yang Tuhan berikan setimpal dengan apa yang telah kulakukan. Ah, omong kosong! Berani-beraninya tukang sapu itu bicara tentang balasan setimpal pada setiap perbuatan kita, sementara dia tak tahu apa yang telah kulakukan hingga di titik ini. Dia tak tahu betapa aku berani mengambil keputusan beresiko di masa lalu, yang tak semua orang berani mengambilnya. Aku berani mengambil keputusan. Seharusnya Tuhan menyiapkan ending yang menyenangkan untuk orang-orang berani sepertiku. 

Seorang ustadz mengatakan aku kafir ketika aku datang padanya dan menyalahkan Tuhan. Ya, terus saja mengafirkan aku. Toh dia tidak mengalami kekacauan hidup seperti yang kualami. Memangnya kepada siapa aku harus meminta pertanggung-jawabkan kehancuran hidupku yang tak bisa kupertanggung-jawabkan sendiri ini selain kepada penciptaku? Siapa yang menciptakan aku? Siapa yang minta diciptakan?

Aku benci menyadari betapa menyedihkannya aku sebagai manusia, hingga terus mencari kambing hitam, karena terlalu pengecut menghadapi perbuatan sendiri. Betapa kecilnya aku. Betapa lemah dan tak diperhitungkannya. Aku benci menyadari bahwa aku menyalahkan Tuhan atas segalanya bukan karena aku selalu benar, tetapi justru karena aku begitu lemah dan selalu salah. Aku menyalahkan Tuhan karena aku terlalu pengecut untuk menyalahkan diriku sendiri. 

Aku begitu mempercayai Tuhan itu Maha Kuasa, dan karena itulah aku menyalahkan-Nya atas segalanya. Silakan kau menyalahkan aku atas pernyataan ini, dan aku akan menyalahkah Tuhan karena membiarkanku mengeluarkan pernyataan ini. Bukankah sudah kubilang, bahwa aku ini manusia lemah yang selalu mencari kambing hitam?


 23.01 WIB
Dalam iringan lagu Utopia, dan
buku sejarah Indonesia

Jumat, September 06, 2013

Pertanyaan Untuk Masa Depan



Aku selalu bertanya-tanya, apa salahnya berimajinasi?
Aku tak menemukan dosanya orang berimajinasi, bahkan sampai yang paling tidak masuk akalpun? Lagipula seberat-beratnya imajinasi, hanya akan berefek pada diriku sendiri. Misalnya, aku jadi lupa waktu, aku lupa makan, aku lupa dunia (yang katanya) nyata, dan aku tersesat dalam imajinasiku. Tapi kan aku tidak merugikan siapapun, yah, selain ibu-ibu warteg yang tidak lagi kukunjungi karena aku sibuk berimajinasi. Tapi tetap saja, tidak ada pasal-pasal dalam undang-undang yang mampu menghukum sesuatu yang hanya ada dalam pikiranku. Aku yakin, karena aku telah mempelajarinya selama 4 bulan. Aku aman. Imajinasiku kebal hukum. 

Aku suka membayangkan segala sesuatu. Termasuk apa yang kira-kira akan terjadi dua menit ke depan. Apa aku masih hidup? Apa aku masih bernapas? Ataukah aku mati? Jika aku mati, kira-kira karena apa? Dan bagaimana reaksi keluargaku ketika aku mati? Berapa lama aku akan hidup, ngomong-ngomong? Aku tidak mau hidup yang sebentar. Juga hidup yang terlalu lama. Yang sedang-sedang saja. Yang penting aku harus melakukan segala hal yang kuinginkan sebelum aku mati dan melepaskan semuanya. 

Aku selalu membayangkan bagaimana kehidupanku nanti. Sekarang aku masih enak-enakan hidup di kota besar, dengan tugas yang hanya satu: belajar. Hidupku sudah ditentukan. Jam sekian sampai jam sekian aku harus ke kampus untuk menyimak kuliah yang terkadang asik terkadang membosankan. Jam sekian aku harus sudah berada di kos, sebelum Ibu kosku yang galak mengunci pintu dan membiarkanku tidur di luar sampai pagi. Akhir pekan aku harus mencuci bajuku yang sudah seperti gununga Himalaya, dan mengepel kamarku agar tuntutan lingkungan sehat dari menteri kesehatan terpenuhi. Sesekali aku juga memasak jika aku bosan dengan masakan ibu warteg yang itu-itu saja dan sering keasinan untuk lidah jawa ku yang kental. Setelah semua beres, aku bisa jalan-jalan melepas penat setelah lima hari sebelumnya berkutat dengn buku-buku. Biasanya aku ke toko buku. Memborong beberapa buku secukup sisa uang bulanan dari orang tua. Lalu aku akan menghabiskan dua sampai tiga jam untuk duduk di sebuah kafe yang menjual donat dan kopi bohong-bohongan. Kubeli dua potong donat dan secangkir kopi, kuhabiskan perlahan demi wifi gratis. Persis seperti iklan kartu perdana di televise. 

Sejak tingkat tiga kuliahku, aku seperti kehilangan hasrat untuk membentuk peer-grup. Aku tak lagi berminat nongkrong-nongkrong dengan temanku, menghabisan sisa uang bulanan dengan wisata kuliner atau cuci mata di mall yang berjejeran seperti jamur panu. Entah kenapa, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan diriku sendiri. Ketika kuceritakan pada temanku yang mengambil jurusan psikologi, tentang keenggananku untuk berinteraksi dengan orang lain, temanku itu hanya ternganga. Baginya, aku ini aneh sekali. Katanya aku ramah dan asik untuk diajak hang out. Dia tak menyangka sebenarnya aku hanya basa-basi saja melakukan itu semua. Aku hanyalah orang yang kesulitan berkata tidak ketika temanku mengajak jalan. Namun sebenarnya, aku lebih suka menghabiskan waktu dan uang dengan diriku sendiri. 

Kehidupan masa kuliahku benar-benar aman. Tidak ada gejolak apapun. Uang bulanan yang cukup, tugas-tugas yang terselesaikan, jam-jam yang telah tertata rapi setiap harinya. Aku tak perlu risau memikirkan harus apa jam sekian dan harus apa jam sekian. Aku cukup menjalankan jadwal-jadwal yang telah dipersiapkan. 

Tidakkah itu menyenangkan? Aku hanya tinggal menjalani saja yang sudah diaturkan. Tidak perlu memutuskan sendiri. Tidak perlu memikirkan sendiri. Jikalau ada resiko atas yang kulakukan, toh, itu bukan salahku. Aku hanya melakukan yang seharusnya kulakukan. 

Bandingkan jika aku sudah lulus nanti. Tidak ada jadwal kuliah, tidak ada aturan-aturan untukku karena aku dianggap sepenuhnya dewasa. Lantas aku harus memutuskan sendiri hidupku selanjutnya. Apa yang harus kulakukan untuk melanjutkan hidupku. Tidak mungkin aku terus-terusan bergantung kepada uang bulanan orang tuaku bukan? Bahkan begitu lulus, namaku juga akan tercoret dari daftar askes orang tuaku yang pegawai negeri. Aku harus mencari askesku sendiri. 

Bagaimana aku mencari askesku? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku bekerja yang sesuai dengan minatku dengan gaji kecil yang akan habis hanya di pertengahan bulan? Ataukah aku harus mencari pekerjaan besar, dengan gaji yang mampu membiayaiku ke luar negeri setiap bulan, namun tidak sesuai dengan minatku? Lalu aku akan menambah daftar orang yang meninggal akibat stroke dan serangan jantung akibat stress berkepanjangan. Semua itu, aku yang akan memutuskan. Tidakkah itu mengerikan? Tidak ada orang lain yang bisa campur tangan dengan hidupku. Apa yang terjadi, apa yang kulakukan, berasal dari diriku sendiri. Katanya, aku bebas. Bebas untuk terus membiarkan diriku bebas maupun bebas untuk membiarkan diriku kembali menjadi robot dalam rutinitas. 

Jika aku memilih untuk (katanya) bebas, aku akan bekerja sesuai dengan minatku. Mungkin di sebuah penerbitan kecil dengan gaji tak seberapa, hanya hanya mampu menyewa kamar kos kecil dengan kamar mandi di luar. Tidak ada anggaran untuk ke luar negeri.

Aku tahu, orang-orang memandang hidupku seperti rutinitas membosankan. Seperti robot yang tak punya kebebasan. Apalagi bagi orang-orang yang memuja kebebasan dan menghujat orang-orang takut susah yang bersembunyi di balik tembok rutinitas yang nyaman. Stasiun tivi berlomba-lomba menayangkan pekerjaan alternative bagai para pegawai yang bosan dengan rutinitasnya. Juga dengan petualangan-petualangan liar di alam-alam bebas. Mereka semua mencari kebebasan. Betapa kebebasan begitu didewakan dan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, yang pantas diperjuangkan dan dicari. 

Namun di usiaku yang masih belia ini, aku hanya bertanya-tanya, apa itu kebebasan? Adakah kebebasan? Jika ada, mungkinkah manusia, aku, kita, mencapainya? Dan jika sudah tercapai, apakah itu berlaku permanen atau temporer? Dan jika permanen, tidakkah yang permanen itu juga membosankan? Mungkinkah suatu saat nanti para pemuja kebebasan merasa jenuh dengan kebebasannya dan mencari rutinitas? Lantas apa bedanya kebebasan dan rutinitas?

Tak perlu kau jawab. Seperti biasa, aku hanya meracau.