Minggu, Februari 26, 2012

Diatas Normal

Halo sayang, bagaimana kabarmu? Semoga baik-baik saja. Aku merindukanmu, tau?
Ah ya, maaf untuk basa-basi ini, yang hanya peralihan dari ungkapan bersalah karena terlalu lama menelantarkanmu. Tapi aku yakin kau pasti sudah paham. Dunia ini memang perlu basa-basi untuk mencairkan segala kekakuannya. Kau tidak setuju aku menyebut dunia ini kaku? Itu hak mu. Tapi coba bayangkan sebuah dunia tanpa basa-basi? Dimana orang berlari cepat, tidak menoleh kemanapun selain tempat yang menjadi tujuannya. Lalu keapatisan meningkat, membuat moral semakin tergadaikan oleh waktu. Astaga. Bukan maksudku menyalahkan waktu. Tapi itu benar bukan? Semakin lama ‘basa-basi’ semakin menjadi lagu lama. Dan siapa yang bisa disalahkan atas kepunahannya selain waktu? Tidak bagus memang mencari sesuatu untuk kambing hitam. Tapi menyenangkan sekali, punya sesuatu yang masih bisa disalahkan.
Ah sudahlah, basa-basi ini kita tutup sampai disini saja.
Aku ingin bercerita.
Sore ini aku baru saja menyelesaikan novel ‘Joker’ karya Valiant Budi. Yeah, itu novel ringan yang lain. Cukup segar untuk mengisi waktu liburku yang terlalu panjang. Tapi ada sebuah kalimat yang menendang dalam novel itu. Sebuah pertanyaan yang hingga kini aku masih memusingkannya padahal aku sudah beranjak membaca novel yang lain.

‘Apa sih patokannya orang normal?’
Itu dia pertanyaan yang menendang itu.
Benar juga. Di dunia yang serba cepat ini, dimana basa-basi tidak lagi menjadi sesuatu yang seru, patokan orang menjadi ‘normal’ memang perlu dipertanyakan. Memangnya apa definisinya ‘orang normal’? Terlebih lagi, apa itu ‘normal’?. Ketika aku menanyakan ini di sebuah situs jejaring social, seorang sahabatku menjawab bahwa orang normal adalah orang yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Lalu apa patokan dari ‘pada tempatnya’ itu, sayangku?
Ada sebuah sumber yang menyatakan norma, berarti menurut pada aturan umum. Wow! Kata umum itu menakjubkan bukan? Dari definisi di atas, bagaimana jika kita menarik suatu definisi, bahwa orang normal adalah orang yang mengikuti pola umum. Alias manusia pada kebanyakan. Sedangkan orang yang tidak mengikuti pola umum adalah orang yang tidak normal. Alias menyimpang. Namun, jika ada seseorang yang berbeda, yang tidak seperti orang kebanyakan, apakah secara otomatis masuk dalam kategori ‘orang tidak normal’? Misalnya saja, banyak perempuan yang menyukai warna pink, tapi aku justru membencinya, apakah aku tidak normal, sayang? Lalu jika banyak pejabat yang korupsi, dan ada seorang pejabat yang kebetulan memutuskan untuk hidup bersih, apakah pejabat bersih ini juga tidak normal, sayang?
Dari sini, aku melihat bahwa normal berhubungan orang dengan kebiasaan. Apa yang sesuai dengan kebiasaan, itulah yang disebut normal. Pantas saja Copernicus dan Galileo Galilei dianggap gila ketika mengumumkan bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya. Bagi masyarakat zaman dulu yang terbiasa dengan ‘Bumi sebagai pusat tata surya’, pastilah dua orang itu dianggap mengada-ada. Dan tidak normal. 
Lalu aku ingat, tentang ramalan Soren Kierkegaard, bahwa akan ada suatu zaman dimana yang berlaku, yang benar, dan otomatis adalah sesuatu yang berlaku bagi orang banyak. Kierkegaard menyebutnya dengan era massivikasi. Sesuatu yang subyektif tidak lagi benar, dan obyektifitas semu mengalami era kejayaannya. Mungkin era ini lah yang diramalkan oleh Soren Kierkegaard. Maka, sayangku, berhati-hatilah, jangan menolak apa yang banyak disukai orang dan jangan menyukai apa yang tidak disukai oleh kebanyakan orang kalau kau tidak ingin di cap tidak normal.
Dan pertanyaannya sekarang, apakah yang ‘tidak normal’ itu bersifat kekal seperti enerji, sayang? Dan apakah apa yang ‘normal’ selalu benar?
Kuberitahukan padamu, ini adalah sebuah catatan yang belum selesai, jadi tak perlu kau risaukan. Ini jug hanya sebuah racauan seperti biasa, bukan jurnal ilmiah untuk syarat kelulusan.