Kamis, Oktober 17, 2013

Rumus Adikuasa: Bahagia (dengan B besar)





Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit mendebarkan, seseorang asing bertanya kepadaku. Apa itu Bahagia?
 
Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima. Pertanyaan yang sepanjang empat tahun telah kugeluti, bersamaan dengan migrain permanen akibat bergadang setiap malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus trans-Jogja yang sedikit oleng. 

 Apa itu Bahagia?

Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan dengan mudah menjawabnya. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor, dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping pak kusir yang sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-10 tahun itu. Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.

Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah itu aku akan menangis kecil, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta, yang pada saat itu sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah diterjemahkan. Barangkali sesungguhnya, aku ingin mengatakan bahwa bahagia itu bisa bersama dengan orang yang kucintai dan balas mencintaiku, dan berjanji tidak akan menyakitiku. Barangkali juga, sesungguhnya semboyan ‘cinta tak harus memiliki’ itu adalah kamuflase dari keharusan memiliki dari cinta. Penolakan sesungguhnya adalah suatu upaya untuk mendapatkan cinta. Bingung? Aku juga. Tapi setidaknya aku tahu apa itu bahagia.

Kalau flashback hingga tiga tahun lalu saja, aku juga masih bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah kampur ternama, dengan biaya yang tak terlalu banyak. Orang tuaku bangga, aku senang, dan aku seolah melihat masa depanku cerah mendadak.

Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa depanku cerah, dan si orang asing sialan bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di trans-jogja yang mendebarkan ini.

Apa itu Bahagia (dengan B besar)?

Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.

Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado, punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu ternyata tak berperi kemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat kebetulan dan temporer-temporer yang membuat frustasi semata.

Di tengah kecamuk frustasiku dan desingan otakku yang berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah tujuan hidup manusia.

Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.
Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan sialan itu. Atau jika tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami. Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.

Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah terpenuhi, jawabku sok filosofis. Jadi batas akhirnya adalah ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.

Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?

Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan dengan orang asing dengan topik seaneh dan semenyebalkan keBahagiaan dengan B besar. Ataukan pria ini seorang agen dari reality show yang akan memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku tamat kawan.

Apa itu Bahagia dengan B besar? Apa batas awal dan batas akhir Bahagia? Apakah seseorang yang berusaha memertahankan kebahagiaannya masih bahagia? Itu daftar pertanyaan dari pria ini. Kuserahkan padamu, karena aku telah sampai di halte tujuanku.

Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa pusing-pusing mencari Bahagia dengan B besar, jika bahagia dengan b kecil sudah cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.

Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus memikirkannya?



Pondok Cina

21.40 WIB

#nowplaying: Aku Dimana—Dialog Dini Hari

Rabu, Oktober 02, 2013

Pernyataan (ber)salah



Aku menyalahkan Tuhan lagi hari ini.

Hariku sudah kacau sejak matahari terbit. Jam wekerku berhenti berbunyi dan membiarkanku tidur pulas hingga tengah hari. Kurasa aku mabuk semalam. Terlalu bersemangat merayakan rencana pernikahan salah satu teman yang terkenal playboy. Pulang ketika orang-orang sedang sholat tahajud dan tidak ingat apa-apa hingga bosku menelfon. Aku dipecat, karena ini sudah ke lima kalinya aku telat. Sialan. Lalu sore harinya, pacarku marah-marah karena aku dipecat. Katanya aku terlalu menyia-nyiakan hidup dan tak serius dengan hubungan kami. Katanya kalau aku serius aku pasti akan serius bekerja demi masa depan kami selanjutnya. Lalu dia memutuskanku. Begitu saja. Bisakah kau bayangkan aku menerima pemecatan dua kali dalam sehari? Seperti jadwal minum antibiotik dari dokter akibat flu berkepanjangan.

Bosku jelas tidak tahu bahwa aku sudah membuang nominal besar di tabunganku yang pasti akan kuperoleh jika aku memilih bekerja di perusahaan mutinasional setahun yang lalu, hanya untuk penerbitan kecil sialan itu. Pacarku juga pasti tidak tahu aku telah membuang pacarku yang dulu demi dirinya. Padahal aku yakin pacarku yang dulu tidak sepenuntut dirinya. Hanya karena aku begitu terlena oleh keindahan pacarku, dan terbutakan oleh hasrat sesaat, lantas aku berpikir bahwa pacarku adalah yang terbaik. Tak apa-apa kalau dia memang memutuskanku. Tapi tak bisakah ia melakukan itu esok hari? Supaya aku bisa mengatasi kesedihanku ini satu persatu? Sekarang bayangkan, temanku yang playboy itu akan segera memasuki jenjang pernikahan, sementara aku yang sangat setia ini justru akan memasuki jenjang kesendirian di usia tiga puluh tahun. Ada di mana keadilan yang katanya diperuntukkan bagi ornag-orang baik sepertiku?

Aku menyalahkan Tuhan atas semuanya. Aku menolak menyalahkan diriku sendiri karena aku adalah makhluk ciptaannya. Aku hanya aktor sementara dia sutradara. Kenapa pula aktor harus bertanggung jawab atas jalan cerita yang tak ia tahu menahu sebelumnya. Memangnya kenapa wekerku tak mau berbunyi di jam 7 pagi padahal ia telah menjalankan tugasnya dengan baik selama lima tahun jika bukan Tuhan yang menggerakannya? Memangnya kenapa bosku yang biasanya pemaaf dan memaklumiku karena prestasi kerjaku yang gilang gemilang menjadi sadar bahwa etika kerja lebih dibutuhkan ketimbang skill dan akademis, jika bukan Tuhan yang memberinya hidayah dan calon-calon karyawan baru yang lebih kompeten dariku? Memangnya hidayah dari siapa yang menuntunku untuk memilih penerbitan kecil ini dibanding sederet perusahaan multinasional, jika bukan Tuhan yang menggerakan hatiku untuk memilih mana yang menjadi passionku? Memangnya kenapa pacarku yang biasanya asik-asik aja dengan gaya hidupku, mendadak sadar bahwa usianya sudah banyak dan cinta kami saja tak cukup untuk hidup bersama, jika bukan Tuhan yang mengarahkannya pada kesadaran akan dosa dan hidup yang sia-sia? Memangnya siapa yang membuat temanku yang playboy harus menikah sementara aku harus patah hati? 

Sekarang bayangkan, bagaimana ku harus menghidupi hidupku yang sendirian ini setelah ini? Lantas apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku di kampung sana mengenai kiriman bulan ini yang absen karena aku tak lagi bergaji? Darimana aku harus mulai mencari pekerjaan baru dan pacar baru untuk memasuki kehidupan baru? Ha? Bisakah Tuhan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini?
Kenapa aku tidak boleh menyalahkan Tuhan atas kacaunya hidupku sementara Dia adalah penciptaku? Bukankah Dia penggerak yang tidak digerakkan? Bukankah Dia penyebab awal dan penyebab final atas segala sesuatu? Bukankah Dia hanya memerlukan ‘kun fayakun’ untuk membalik gunung Himalaya dan menjadikannya samudera baru? Lantas mengapa Dia tidak menciptakan skenario yang asik-asik saja untukku?

Aku bertemu dengan tukang sapu di jalan. Ia menguliahiku tentang kehendak bebas yang dimiliki manusia, ketika aku curhat padanya tentang kesialanku seharian ini, dan mungkin beberapa hari ke depan. Katanya, Tuhan hanya mengatur balasan-balasan dari apa yang kulakukan. Aku yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Apa yang Tuhan berikan setimpal dengan apa yang telah kulakukan. Ah, omong kosong! Berani-beraninya tukang sapu itu bicara tentang balasan setimpal pada setiap perbuatan kita, sementara dia tak tahu apa yang telah kulakukan hingga di titik ini. Dia tak tahu betapa aku berani mengambil keputusan beresiko di masa lalu, yang tak semua orang berani mengambilnya. Aku berani mengambil keputusan. Seharusnya Tuhan menyiapkan ending yang menyenangkan untuk orang-orang berani sepertiku. 

Seorang ustadz mengatakan aku kafir ketika aku datang padanya dan menyalahkan Tuhan. Ya, terus saja mengafirkan aku. Toh dia tidak mengalami kekacauan hidup seperti yang kualami. Memangnya kepada siapa aku harus meminta pertanggung-jawabkan kehancuran hidupku yang tak bisa kupertanggung-jawabkan sendiri ini selain kepada penciptaku? Siapa yang menciptakan aku? Siapa yang minta diciptakan?

Aku benci menyadari betapa menyedihkannya aku sebagai manusia, hingga terus mencari kambing hitam, karena terlalu pengecut menghadapi perbuatan sendiri. Betapa kecilnya aku. Betapa lemah dan tak diperhitungkannya. Aku benci menyadari bahwa aku menyalahkan Tuhan atas segalanya bukan karena aku selalu benar, tetapi justru karena aku begitu lemah dan selalu salah. Aku menyalahkan Tuhan karena aku terlalu pengecut untuk menyalahkan diriku sendiri. 

Aku begitu mempercayai Tuhan itu Maha Kuasa, dan karena itulah aku menyalahkan-Nya atas segalanya. Silakan kau menyalahkan aku atas pernyataan ini, dan aku akan menyalahkah Tuhan karena membiarkanku mengeluarkan pernyataan ini. Bukankah sudah kubilang, bahwa aku ini manusia lemah yang selalu mencari kambing hitam?


 23.01 WIB
Dalam iringan lagu Utopia, dan
buku sejarah Indonesia