Senin, November 28, 2011

Ecstasy

‘I become through my relation to the Thou, as I become I, I say thou. All real living is meeting.’
-Martin Buber-

Ini adalah sebuah protes. Murni sebuah protes dari sebuah hubungan yang telah berjalan bertahun-tahun. Namun protes kali ini sungguh mengganggu segala nuraniku. Tapi apakah kau menyadarinya? Jika nuraninya tersentak atas protes yang kau ajukan siang tadi? Ataukah kau sudah tidak lagi memikirkannya? Mungkin aku juga seharusnya sudah melupakannya, saat kau memutuskan untuk memaafkanku. Tapi tidak bisa. Protesmu itu masih menggaung, memenuhi ruang di otakku.
Aku harus mati-matian memikirkannya.
‘Kenapa kamu selalu menyuruhku ini itu? Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Memangnya kenapa kalau aku merokok? Memangnya kenapa kalau aku berantakan? Kenapa kamu menyuruhku berhenti melakukan hal-hal yang menjadikan identitasku? Untuk apa kamu bersamaku jika kamu terus-terusan memintaku menjadi orang lain? Siapa yang sebenarnya kamu cintai? Aku? Atau orang lain yang kau suruh aku menjadi?’
Sial. Kata-katamu itu terlalu menusuk. Terlalu kasar, walau setelah kupikirkan, aku tidak tahu bagian mana yang kasar.
Tapi kau benar. Kau sungguh benar, sayang. Ini adalah sebuah parados yang ternyata baru kusadari ketika kau membentak, memprotes, dan menyuruhku berpikir ulang.
Ketika seseorang mencintai orang lain, apa yang sebenarnya Ia lihat? Benarkah Ia melihat Dia yang Ia cintai sebagaimana yang Ia lihat? Ataukah Ia bisa melihat potensi Dia untuk menjadi apa yang Ia mau dengan menawarkan sebuah cinta?
Apakah benar, ada perubahan yang di atas namakan cinta?
Inilah yang sering terjadi di sinetron-sintetron remaja. Dengan cinta seorang preman bisa menjadi santri. Dan atas nama cinta, seorang brengsek bisa menjadi orang baik. Katanya, demi cinta juga, seseorang berubah penampilan. Tapi dengan segala perubahan itu, sayangku, apakah cinta masih ada di tempatnya yang seharusnya?
Dulu ada seorang teman yang mengatakan bawa aku menerima si X menjadi pacarku, mungkin aku bisa mengubahnya menjadi seorang laki-laki yang lebih baikl, yang tidak berandalan, yang tidak suka mabuk-mabukan, dan yang rapi. Ya, memang begitulan si X itu. Jangan cemburu sayang, kejadian itu sudah lama berlalu. Lagipula, aku memang tidak pernah menerima si X.
Kau bertanya mengapa? Bukankah sudah jelas jawabannya. Jika aku menerima si X menjadi kekasihku dengan alasana supaya aku bisa lebih  mengontrolnya, memaksanya merubah diri dengan dalih cinta yang agung, maka sebenarnya aku tidak pernah mencintainya. Aku mencintai sosok yang akan kurubahkan kepadanya, yang sepertinya aku meminta si X menjadi. Lalu kenapa aku harus bersama si X, jika aku aku tidak pernah mencintainya sebagaimana dirinya sendiri?
Kata Martin Buber, hubungan yang seperti itu adalah hubungan I-it. Hubungan dimana aku bisa saja membendakan si X, menjadikannya seperti apa yang aku mau dengan dalih cinta. Kamu tau Martin Buber kan, sayang? Dia adalah seorang filosof cinta, katakan demikian jika lebih mudah. Intinya, aku menyukai konsepnya tentang hubungan antarsubyektifitas. I-it dan I-Thou. I-Thou ini, adalah kebalikan dari I-it. Bukan kebalikan sebenarnya, tetapi adalah tahap kemungkinan metamorofsis sebuah hubungan I-it. Kalau sudah I-Thou, sayang, maka aku tidak akan memintamu menjadi begini, menjadi begitu, harus begini, harus begitu. Bahkan aku tidak akan peduli lagi bagaimana dirimu. Aku tidak bisa menatapnya lagi. Yang kutahu adalah, bahwa aku mencintaimu. Keseluruhan dirimu. Tanpa alasan, tak bisa dijelaskan. Begitu saja.
Bukankah itu indah sekali, sayang?
Maafkan aku khilaf, sayang. Maaf kan tadi aku melarangmu merokok. Maka, atas nama Buber, kupersilahkan kau meneruskan kebiasaanmu itu. Tapi sayang, yang kamu harus tahu adalah, bahwa aku juga mempunyai hak atas paru-paruku sendiri. Aku punya kebebasan untuk menjaga paru-paruku dari asap rokok yang bisa membuat penyakit asmaku kambuh. Jadi bagaimana? Mari kita pikirkan solusinya. Supaya aku tidak mengganggu eksistensimu, dan kamu tidak mengganggu eksistensiku. Supaya dari kita tidak ada yang berubah, tetap sama seperti ketika kita saling jatuh cinta.
Tapi bisakah itu terjadi, sayang? Bisakah kita mempertahankan bagaimana kita, sedangkan dunia terus menggempur kita dari luar. Dunia terus-terusan meminta kita menjadi sesuatu yang lain. Ah, aku sudah mulai keluar dari konteks hubungan kita. Tapi biarlah. Aku sedang ingin berpikir. Aku hanya berharap kau mau mendengarnya, itu saja.
Jadi kembali ke permasalahan tadi. Dunia selalu meminta kita menjadi sesuatu yang lain. Bahkan tidak jarang dunia meminta kita menjadi pembunuh. Bagaimana ini, sayang? Jika kau ingin bertahan dengan rokokmu, sungguh aku tidak keberatan. Tapi bukankah banyak orang lain, yang kebetulan sama sepertiku, terganggu dengan asap rokokmu? Bagaimanapun juga, kebebasan eksistensimu itu dibatasi oleh kebebasan eksistensi orang lain. Begitu kata Jean Paul Sartre. Hell is other people, sayang. Memang sudah takdirnya jika orang lain membuatmu berubah. Bahkan ketika kau ingin mempertahankan dirimu dan tidak menghiraukan pilihan orang lain, tapi kau tidak bisa menghindar dari rasa malu, marah, tertekan, sedih, dan juga cinta. Orang lainlah yang membuatmu bisa merasakan demikian. Maka jangan heran jika banyak orang yang menginginkanmu begini begitu. Mungkin memang itu sudah jalannya. Kebebasan yang kau miliki itu, sekaligus juga ketidakbebasanmu. Ini rumit memang. Aku masih bekerja keras untuk memikirkannya.
Lantas, bagaimana dengan cinta? Mungkin kah ada sebuah hubungan yang tidak mempunyai harapan apa-apa satu sama lain? Mungkinkah jika aku menerimamu begitu saja, bahkan saat asap rokokmu itu menggangguku dan membuatku asma? Dan mungkinkah kau tidak terganggu dengan keadaanku yang sesak nafas, sementara kau tahu sendiri bahwa aku sesak nafas karena rokok yang kau hisap?
Jika orang lain mungkin akan berkata begini: Kalau kau menyayangiku, dan masih ingin bersamaku, maka buanglah benda sialan itu! Aku ingin kita berdua menjadi ornag yang sehat! Bukan ornag yang terancam kanker paru-paru gara-gara rokokmu!
Selintas kalimat itu tampak biasa saja. Tapi aku tidak akan pernah mengatakan itu lagi, sayang. Tidak akan pernah. Aku hanya akan mengatakan bahwa ketika kau berhenti merokok, itu adalah hasil dari kebebasanmu. Itu adalah sebuah tanggung jawabmu kepada dirimu sendiri dan kepada dunia. Aku tidak akan menyuruhmu berhenti merokok lagi. Tidak akan pernah. Mungkin suatu saat nanti, kau akan menyadari bahwa rokok itu buruk, dan berhenti merokok sama sekali. Mungkin suatu saat nanti kau akan bisa membaca harapanku tanpa aku harus bicara. Mungkin suatu saat nanti kau bisa berubah. Tanpa aku harus merubahmu, tapi karena kau ingin merubah dirimu sendiri. Bukan demi aku, tapi demi dirimu sendiri. Begitu juga aku. Namun jika kau memang tidak bisa berubah, aku tidak akan keberatan, sayang. Tidak akan. Karena aku menyadari, kita adalah dua individu yang berbeda. Dua individu yang sebanyak apapun kadar persamaannya, tetap saja kita berbeda. Kita memiliki rasio masing-masing dan cara berpikir masing-masing. Salah jika ada orang yang mengatakan bahwa Cinta menyatukan kita, seperti kata lagu-lagu di radio yang sedang kita dengarkan ini. Selamanya kita adalah dua, tidak akan pernah tereduksi satu. Namun, DUA, juga bukan alasan kita untuk tidak saling bersama bukan? Perbedaan bukan alasan bagi kita untuk saling menjauh dan menyakiti. Bukankah jika segala sesuatu adalah sama, hidup akan terasa membosankan?


Depok, 28 nov 2011

Sabtu, November 26, 2011

Hanya Sebuah Sajak

Bagaimana aku bisa menerjemahkan segala kecemaanku? Bila tak ada lagi kertas kosong dan penaku telah hilang.
Maka segala ketakutan, juga kebahagiaan, tak bisa lagi terlukiskan. tak bisa tertuliskan. Hanya terpasung di kedalaman jiwa.

Aku masih butuh pena. Dan selembar kertas kosong.

Bukankah nurani dan hati tak selamanya berjalan beriringan? Karena berhati tak sama dengan bernurani. Berjiwa, tak selalu bernurani

Lupakan hatimu, maka nurani akan lebih leluasa. 
Jika nurani menang, dan hatimu berserakan, mungkin itulah yang disebut perpisahan. 

Maka kau adalah manusia. Hanya itu yang perlu kau ingat.

Berikan padaku selembar kertas kosong dan sebuah pena yang tak harus hitam. maka akan kuceritakan tentang perpisahan hati dan nurani.

Kepada Ketidakpastian yang pasti


Sudah seminggu berlalu dari hari ketika pengerjaan tugas eksistensialisme tentang Sartre. Tapi konsep tentang faktisitas itu masih saja mengawang-ngawang di kepala.
‘I find myself suddenly alone without help, engaged in a world for which I bear the whole responsibility without being able to tear myself away from this responsibility for an instant.’
Begitu katanya…

Membaca teks ini, rasanya seperti sedang mengangkat batu besar ke atas gunung, dan tidak tau untu apakah batu itu diangkat ke gunung.
Bagaimana rasanya? Jika tiba-tiba kita terlempar di suatu dunia yang tidak kita kenal, dengan segala tanggung jawab yang sudah melekat dalam pundak kita, sementara tidak ada pertolongan untuk kita?
Hidup ini absurd, kata Albert Camus. Hidup ini tidak bisa dijelaskan. Hidup ini tidak bisa dipastikan. Socrates mengatakan, tidak ada yang pasti dalam dunia ini selain ketidak pastian itu sendiri. Lagi-lagi, sedih membacanya. Tapi kalau dipikir-pikir, benar juga.
Lalu, dengan tiba-tibanya terpikirkan rumusan ini, Aksi sama dengan Reaksi. Bagaimana mengatakan bahwa aksa sama dengan reaksi dalam kehidupan yang sungguh absurd ini, wahai Tuan Newton? Apa yang saya dapat, tidak selalu sebanding dengan apa yang saya usahakan. Terkadang saya begitu menginginkan sesuatu, mati-matian mengusahakannya, sampai nyaris gila memikirkannya, namun pada akhirnya, tak ada apapun yang saya dapat kecuali kegilaan itu sendiri. Kalau sudha begitu, yah, mungkin kita akan percaya dengan yang namanya takdir.
Takdir. Konsep itu rasanya begitu menyenangkan. Seandainya saja semuanya bisa diserahkan kepada takdir. Memang bisa. Hanya saja, proses penyerahan itu tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Kata Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Manusia terlahir dengan kebebasan. Yang artinya adalah manusia tidak bisa berlaku seperti batu yang hanya diam menunggu dirinya dihancurkan atau digulingkan, sekeras apapun manusia mencobanya. Karena manusia adalah kebebasan itu sendiri.
Lalu, bagaimana tentang hidup itu sendiri? Saya bukannya akan memberikan definisi ilmiah tentang hidup, atau definisi filosofis tentang kehidupan. Pengetahuan saya terlalu cetek untuk merambah di kedua ranah tersebut. Saya hanya ingin mengatakan tentang apa yang saya lihat, dalam kehidupan yang saya alami. Yang saya dapatkan dari seminar ke seminar. Oh ya, ini semua berpangkal kepada sebuah seminar. Seminar siang hari di sebuah fakultas di kampus, yang untuk mengikutinya saya harus rela membolos salah satu mata kuliah.
Seminar tersebut membahas tentang penyakit membahayakan akibat ‘rasa manis’ yang berlebihan dalam tubuh. Yap, saya sedang membicarakan tentang diabetes. DIABETES! Intinya begini, diabetes bisa diderita oleh siapa saja yang menyukai makanan manis-manis. Disini manis adalah musuh bagi semua orang. Namun mush itu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Coba bayangkan hidup tanpa rasa manis? Bayangkan hidup tanpa gula? Manis, mungkin salah satu anasir penyusun tubuh manusia, yang jika keberadaannya diabsenkan, tubuh manusia tidak akan sama lagi. Manis adalah musuh sekaligus sahabat. Dari situlah perusahaan besar mulai beradu krestifitas untuk menciptakan produk sugar free, sebagai upaya supaya manusia tetap bisa merasakan manisnya hidup sekaligus mengurangi resiko diabetes. Inti dari produk sugar free adalah hadirnya pemanis-pemanis buatan seperti Aspartan, Sakarin, Siklamat, dan lain sebagainya. Pemanis buatan ini mengandung jauh lebih rendah kalori dibandingkan dengan gula asli. Namun jangan salah. Pemanis buatan selain mengandung kalori yang rendah juga mengandung zat karsogenik, yaitu zat yang dapat memicu sel kanker. Dengan pemanis buatan, diabetes menjauh, tapi kanker mendekat.

Mari kita tarik kesimpulannya dari sini.
‘Hidup Dipenuhi mara bahaya yang terus berkembang biak’
-Anonymous-

Diibaratkan sebuah ruangan, hidup adalah ruangan penuh tanpa udara, berdinding tinggi, tidak bisa ditembus, dan mengerikan. Singkatnya seperti mendifinisikan penjara bastile sebelum dia dihancurkan. Ketika kita melarikan diri dari satu permaalahan, sebenarnya kita sedang menuju kepada permasalahan lain. Ketika orang berusaha mencegah penyakit diabetes dengan mengkonsumsi pemanis buatan, sesungguhnya ia sedang menuju kepada penyakit yang lain, kanker. Hidup ini dikepung. Dikepung oleh mara bahaya tak kasat mata, yang terus berkembang biak selama kehidupan itu masih ada. Bagaimana cara keluar dari kepungan marabahaya itu? Mungkin manusia harus mati.
Permasalahan, segala problem, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan itu sendiri.
Kesimpulan yang saya dapat adalah, bahwa hidup adalah sebuah proses mempertahankan diri dari segala gempuran mara bahaya yang terus berlanjut. Jangan berharap untuk bebas, selama masih menginginkan kehidupan itu sendiri. Ini bukan tentang rasa pesimis. Tapi ini adalah sebuah tantangan untuk manusia, seberapa besarkah kemampuan kita untuk bertahan dari segala gempuran bahaya ini. Semakin lama kita bisa bertahan, semakin menang lah kita.

Kamis, November 24, 2011

JEAN-PAUL SARTRE: ‘Manusia dikutuk untuk Bebas’


Sartre secara tegas membedakan antara dua cara berada, yaitu ‘being-in-it-self’ dan ‘being-for-it-self’. Being-in-it-self, adalah sesuatu yang sudah ada begitu saja, berada dalam dirinya sendiri, tidak berubah, serta tidak menyadari keberadaannya sendiri. Berbeda dengan Being-for-it-self, yang merupakan berada untuk dirinya sendiri. Dalam artian subyek yang berada tersebut menyadari keberadaannya sendiri. Segala benda jasmani yang ada di dunia pada dasarnya adalah Being-in-it-self. Tetapi manusia yang memiliki kesadaran, mengadakan jarak dari Being-in-it-self yang lain dan membentuk being-for-it-self. Kita dapat melihat perbedaanya dari fakta, bahwa Meja sebagai being-in-it-self, tidak memiliki tanggung jawab atas kemejaannya, mengapa ia adalah meja, bukan kursi, dan mengapa ia berwarna cokelat, bukan putih. Sementara manusia, yang memiliki kesadaran atas keberadaannya sendiri, tentu memiliki tanggung jawab atas kemanusiaannya.
Dengan tegas Sartre mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Sartre menolak segala konsep determinisme. Pada awalnya manusia bukan siapa-siapa. Manusia sendirilah yang menentukan ia akan menjadi manusia seperti apa. Eksistensi manusia ditentukan oleh perbuatan. Dengan kata lain, manusia menentukan dirinya sendiri.
‘I find myself suddenly alone without help, engaged in a world for which I bear the whole responsibility without being able to tear myself away from this responsibility for an instant.’ (fotocopyan eksistesialisme, hal 229)
Sartre menyebutnya dengan konsep Facticity, dimana kita tidak berharap dilahirkan, namun kenyataannya kita dilahirkan juga, dan ditinggalkan dalam dunia asing yang tidak kita kenal, tanpa seorangpun penolong. Namun demikian, bukan berarti dalam ‘ketidaktahuan’, manusia harus bersikap pasrah dengan apapun yang akan terjadi kepadanya. Manusia dilahirkan dengan kebebasan. Artinya manusia selalu mempunyai kuasa untuk berkata ‘tidak’, dan manusia selalu dihadapkan kepada pilihan untuk menjadi sesuatu atau untuk tidak menjadi sesuatu. Dalam setiap tindakan manusia, dalam setiap pilihan yang dia ambil, manusia memikul tanggung jawab yang luar biasa besar. Tidak hanya bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab untuk keseluruhan kemanusiaan. Segala sesuatu yang terjadi pada hidup manusia adalah pilihannya sendiri. Apabila hidup diibaratkan sebagai sebuah perang, maka perang ini adalah ‘perangku’. Aku bisa memilih untuk berperang, atau untuk tidak berperang (dalam hal ini Sartre menyebutkan bunuh diri sebagai salah satu pilihan). Sementara jika aku memilih untuk berperang, maka aku akan terus dihadapkan pada pilihan-pilihan sepanjang perang itu berlangsung. Kebebasan mutlak untuk memilih itulah yang membawa konsekuensi tanggung jawab yang harus dipikul manusia. Tanggung jawab yang luar biasa berat dalam sebuah dunia yang tidak diketahui kepastiannya inilah yang membawa manusia pada kecemasan dan kemuakan. Dua hal tersebut adalah sifat dasariah dari manusia. Dari sinilah kebebasan mulai disebut sebagai beban.
Tidak ada yang dapat meringankan beban ini, sebagaimana yang disebutkan diatas, bahwa manusia ditinggalkan tanpa seorangpun penolong. Tidak pula Tuhan. Ada atau tidaknya Tuhan tidak akan merubah apa-apa. Seseorang yang menggantungkan diri terhadap Tuhan, atau terhadap sesuatu yang lain disebut Sartre dengan ‘Bad faith’ atau ‘Mauvaise foi’. Hal ini muncul disaat manusia membohongi diri sendiri, dan berniat melarikan diri dari tanggung jawab. Seseorang dengan Bad Faith adalah individu yang tidak otentik. Inilah yang membuat Sartre kemudian dikenal sebagai seorang eksistensialis atheistic.
Kebebasan ini adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal. Bahkan ketika manusia memutuskan untuk hanya berdiam diri, tidak melakukan apapun, untuk melepaskan kebebasannya, sesungguhnya ia sedang menjalankan bagian dari kebebasannya juga, yaitu: memilih untuk tidak bebas. Inilah yang dimaksud Sartre dalam frasanya yang terkenal, ekstrim, dan radikal: Manusia dikutuk untuk bebas.
 “Human reality is free, basically and completely free.’ (Being and Nothingness, hal 479)
Kebebasan adalah eksistensi manusia. Tanpa kebebasan, eksistensi manusia hanya sesuatu yang absurd. Tanpa kebebasan maka manusia hanya akan mempunya esensi semata.
Sartre membagi realitas menjadi dua. Yaitu Facticity dan Transenden. Transenden adalah kemungkinan-kemungkinan, atau kreatifitas dari being dalam bentuk harapan untuk masa depannya. Sedangkah Facticity atau faktisitas adalah fakta tentang Being yang tidak bisa dihilangkan. Faktisitas bisa dilupakan untuk sementara waktu, ditepikan, dan dihindari, namun tetap tidak bisa ditiadakan. Ada lima hal faktisitas menurut Sartre, yaitu: (1) Tempat yang kita huni (2) Masa lalu (3) Lingkungan sekitar (4) kenyataan tentang adanya sesama manusia dengan eksistensi yang sama (5) kematian. Meskipun tidak dapat ditiadakan, bukan berarti hal tersebut mengikat manusia dan membatasi kebebasannya. Dalam faktisitas-faktisitas tersebut, manusia masih bisa menentukan pilihan. Misalkan lingkungan sekitar. Manusia tidak dapat meniadakan adanya benda-benda di sekelilingnya. Namun makna dari keberadaan benda-benda tersebut tetap bergantung kepada cara manusia memaknainya. Lain halnya dengan kematian. Bagi Sartre, kematian bukan lagi bagian dari eksistensi. Kematian adalah batas bagi kebebasan mutlak, tetapi kematian berada di luar eksistensi tersebut. Karena ketika kematian datang, maka secara otomatis eksistensi sudah tidak ada. Akan tetapi selama manusia masih merupakan eksistensi, maka kebebasan yang mutlak tidak dapat disangkal, betapapun kefaktaan melekat pada eksistensinya, sebab ia tetap bebas untuk mengolak kefaktaan itu dalam kebebasannya sendiri serta atas tanggung jawabnya sendiri pula (Berkenalan Dengan Eksistensialisme, hal. 131.).
Tantangan terberat bagi eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain. Dalam hal ini Sartre memaksudkan bahwa dalam hubungan antar subyektifitas selalu berupa konflik. Dimana keduanya saling menempatkan yang lain sebagai obyek. Ketika ‘aku’ bertemu dengan orang lain, maka secara otomatis aku akan melihat orang lain sebagai obyek yang menyusun dunianya sendiri. Kehadiran orang lain dalam kawasan mata aku membuat berkurangnya penghayatan aku terhadap dunia yang kudiami karena sejak saat itu bukan hanya aku yang mendiami dunia, tetapi orang lain juga. Contoh nyatanya adalah timbulnya ‘rasa malu’ pada seseorang. Aku hanya bisa merasakan malu apabila ia berada di dalam pandangan orang lain. Dimana Aku merasa dijadikan obyek bagi orang lain. Hadirnya orang lain dalam dunia aku, dapat mengubah eksistensi aku. Dalam bukunya ‘No Exit’, Sartre menyebutkan: ‘Hell is othe people.’. Dengan begitu, Sartre berpendapat bahwa cinta yang tulus tanpa pamrih, tanpa keingin menempatkan yang lain sebagai obyek, adalah tidak mungkin.

Paramitha Wardhani
1006692133
Sumber: Berkenalan dengan eksistensialisme oleh Fuad Hassan, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 oleh Harun Hadiwijono, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia oleh Dr. P.A. van der Weij, Fotocopyan Eksistensialisme

Kamis, November 17, 2011

GABRIEL MARCEL: Love, Hope, and Fidelity


Bagaimana eksistensi manusia yang sudah mati?
Bagi  Gabriel Marcel, kodrat manusia adalah “ada bersama manusia lain”, karena itu eksistensi manusia tidak pernah lepas dari kebersamaan. Untuk membina kebersamaan, manusia perlu berpartisipasi dan berdialog dalam komunikasi antarpribadi yang disebut komunikasi “intersubjektivitas”. Salah satu kata kunci dalam hubungan intersubyektifitas Marcel adalah presence (kehadiran). Kehadiran merupakan suatu syarat dalam terbentuknya relasi antara ‘Aku’ dan ‘Yang Aku Jumpai’. Dalam kehadiran tersebut muncul sebuah keterbukaan, dalam artian kedua subyek bersikap aktif sekaligus pasif. Aktif, dalam hal membuka diri, dan pasif dalam artian membiarkan seseorang mengenal kita lebih jauh, atau melakukan secondary reflection. Melalu secondary reflection tersebut kemudian tercipta sebuah peleburan. Setelah peleburan terjadi, maka tahap selanjutnya adalah disponsible, dimana antara ‘Aku’ dan ‘Yang Aku Jumpai’ memberikan ketersediaannya bagi yang lain.
Untuk selanjutnya, makna presence tidak lagi terpatok dalam kondisi ruang dan waktu yang sama. Dalam tahap ini hubungan ‘Aku’ dan ‘Yang Aku Jumpai’, atau AKU dengan ENGKAU sudah mencapai tahap KITA. Sehingga antara AKU dan ENGKAU sudah menjadi satu dan tidak bisa dipisahkan lagi. Tahap ini memberikan jawaban tentang bagaimana pandangan Marcel terhadap eksistensi orang mati. Ketidak hadiran dan kematian tidak lagi mempengaruhi ‘Kehadiran’. Fidelity, adalah sebuah konsep yang mendasari hubungan ini. Fidelity atau yang disebut Marcel sebagai creative fidelity, adalah kesetiaan ‘Aku’ untuk tetap melebur dengan ‘Yang Aku Jumpai’ walaupun ‘Yang Aku Jumpai’ sudah tidak ada. Dalam pikiran ‘Aku’, ‘Yang Aku jumpai’ tetaplah eksis sebagaimana seharusnya. Fidelity disebabkan oleh adanya Harapan, yang tidak bisa dilepaskan dari dalam diri manusia dan merupakan penjamin eksistensi manusia.
‘The reality of this relationship is supra-temporal, as the reality of my own being which I create by my fidelity is supra-temporal.’
Kesetiaan kepada seseorang yang sudah mati tidak berarti tetap menjaga harapan kepadanya, tetapi lebih kepada mengenang keberadaan dan keaktifan seseorang yang telah tiada itu dalam ingatan ‘Aku’, karena keberadaannya yang sudah menyatu secara permanen dengan ‘Aku’.

Paramitha Wardhani
1006692133

Sabtu, November 12, 2011

Romantis dan tidak punya hati

‘Love is like sugar. Too much Love will kill you.’
-Anonymous-




Ada sebuah kalimat di sebuah novel remaja yang baru saja habis kubaca pagi ini.  Begini bunyi kalimatnya: ‘Lebih baik dicintai, daripada mencintai.’ . Aku sudah pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. Tadinya aku juga setuju saja. Tapi entah kenapa, setelah aku membaca kalimat tersebut di novel itu, semuanya berubah. Kalimat itu mungkin bagi orang lain adalah sebuah kalimat kesimpulan yang romantis dan dalam. Tapi entah kenapa, saat membacanya yang kurasakan justru sebuah kengerian. Sebuah perasaan kesal tak beralasan yang tiba-tiba hadir begitu saja. Aku tidak setuju? Tentu saja. Sangat tidak setuju.
Apalagi ketika membaca kalimat setelahnya.  ‘Lebih bahagia mengetahui bahwa seseorang memastikan kita tidak akan terluka.’ Aku tidak setuju? Sudah pasti. Sangat tidak setuju. Itu adalah satu diantara kalimat paling mengerikan yang pernah kutemukan. Kalimat yang kejam dan tidak punya hati.
Apa pasalnya? Banyak. Ini bukan soal otakku yang terbalik atau apa kok. Aku punya argument, yang walaupun tidak bisa dibuktikan dengan percobaan-percobaan empiris, tapi aku mempercayainya.
Membaca kalimat itu, membuatku kembali teringat dengan pendapat salah seorang folosof dari Cina tentang manusia, bahwa pada dasarnya semua manusia itu jahat. Kebaikan adalah sebuah hasil dari proses belajar. Apa yang dikatakan oleh filosof Cina yang aku lupa siapa namanya itu jelas bertentangan dengan pendapat Thomas Aquinas, seorang filosof theistic dari eropa yang mengatakan bahwa kodrat manusia adalah baik. Dosa berasal dari cacat manusia yang menyimpang dari kodratnya.
Kenapa aku tiba-tiba membahas masalah filosof? Adakah hubungannya dengan paragraph yang pertama tadi? ADA! Coba baca lagi paragraph pertama dan kedua, terutama di kata-kata kutipan dari novel itu. Setelah membaca kalimat itu, akupun mulai meyakini pendapat filosof kita yang pertama, yang entah bernama siapa itu. Bahwa pada dasarnya manusia adalah jahat. Manusia adalah makkluk super egois yang hanya mencari kebahagiaannya sendiri.
Kalimat ‘Lebih baik dicintai daripada mencintai’ menandakan keegoisan manusia dan juga ‘kehendak berkuasa’nya kalau kata Nietzsche. Dia di dalam kalimat itu hanya ingin dicintai dan tidak ingin mencintai. What the hell. Kurasa itu bukan cinta yang sebenarnya. Yah, semua orang tahu, kata kerja mencintai mempunyai relasi dekat dengan kata-kerja-tidak-sengaja terluka.  Aku bukannya ingin mengatakan bahwa cinta adalah jalan cepat menuju luka, tapi bukankah memang begitu adanya? Atas nama cinta orang-orang melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Atas nama cinta orang-orang menyakiti dirinya sendiri. Atas nama cinta, semua yang tidak benar menjadi bisa dibenarkan. Orang yang mencintai mempunyai banyak kemungkinan untuk dilukai oleh oaring yang dia cintai. Dan orang yang dicintai, mempunyai banyak kesempatan untuk melukai orang yang mencintainya. Orang hanya ingin dicintai tanpa mencintai, adalah orang-orang yang terlalu ketakutan akan luka. Orang-orang yang begitu ketakutan sakit hati sampai mencoba mencintai pun tidak berani. Sebut saja mereka pengecut, kalau itu membuatnya lebih jelas.
Sekarang perhatikan kalimat selanjutnya. ‘Lebih Bahagia mengetahui seseorang memastikan kita tidak tersakiti’. Ya ya ya, bahagia, itu adalah satu term yang tidak bisa ditolak. Siapa yang menolak untu berbahagia? Siapa yang mau menderitakan dirinya sendiri? Siapa yang tidak suka mendengar seseorang menjanjikan kebahagiaan dan ketiadaan sakit? Tapi bukan itu poinnya. Lagi-lagi aku melihat keegoisan dalam kalimat itu yang membuatku muak sendiri, dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang egois. Seseorang memastikan Dia-yang-di-dalam-kalimat-itu tidak akan tersakiti, lalu apa? Tidak ada keterangan lanjutan bahwa Dia-yang-di-dalam-kalimat-itu juga akan melakukan hal yang sama dengan pasangannya? Dia-yang-di-dalam-kalimat-itu lagi-lagi berlaku sebagai subyek, dan membendakan dia yang ada di hadapannya, dia yang mencintai, dan dia yang memastikannya tidak akan tersakiti.
Ketika seseorang merasa dicintai, merasa ada orang yang mau melakukan apapun untuknya, merasa bahwa seseorang akan menjaganya dari sakit hati, maka si orang yang pertama ini akan berada di atas awan. Akan merasa dirinya berkuasa atas orang yang kedua. Lebih parahnya, merasa memiliki orang yang kedua. Tidak heran jika Ada Band sampai terinspirasi menciptakan lagu ‘Manusia Bodoh’ di albumnya yang bertahun-tahun lalu. Manusia bodoh ini pastilah orang yang mencintai, dan sedang berhadapan dengan orang yang hanya ingin dicintai tanpa mencintai.
Well, semua orang ingin bahagia. Memang bahagia saat mengetahui seseorang mencintai kita. Itu menandakan eksistensi kita diakui. Tapi itu bukan cinta jika dalam sebuah hubungan hanya ada satu pihak saja yang terus-terusan menghantarkan cinta sementara yang lain hanya secara pasif menerimanya. Oh oke, mungkin itu bisa saja cinta platonic. Tapi bukan itu yang kumaksudkan.
Tidak ada yang salah saat kita dicintai orang, tapi untuk bersama orang yang mencintaimu tanpa kamu merasakan cinta yang sama, itu salah besar. Jangan bersama orang hanya karena DIA MENCINTAIMU tapi juga karena KAMU MENCINTAINYA. Jangan hanya bersama seseorang hanya karena dia MEMASTIKANMU TIDAK AKAN TERLUKA tetapi juga karena KAMU BERNIAT MELAKUKAN HAL YANG SAMA.
Walaupun berbicara tentang cinta, tidak akan jauh-jauh dari luka sebenarnya. Bukankah ada fase dimana cinta adalah antara menyakiti dan disakiti? Tidak aka nada sakit hati jika kamu tidak memperdulikannya, tidak pernah melihatnya, tidak pernah mencintainya. Tapi itulah poinnya, cinta adalah sebuah arena pembuktian keberanian. Berani mencintai, berani sakit hati. Bukankah hidup yang seperti itu sungguh mengasyikkan?
Just be brave!