Rabu, Desember 28, 2011

Colaps

Tuangkan anggur dari gelasmu, untuk membasuh kegelisahan malam ini. Pada malas, yang tak pernah kupikirkan. Pada serpih roti yang kupikir akan mengenyangkan. Pada muara, yang tak tahu kemana arahnya. Berikan satu pena, maka akan kutuliskan pesan singkat tentang takdir Tuhan. Adakah jeda tersisa untuk nama yang sama?

Sabtu, Desember 24, 2011

"Hidup itu memang menyedihkan dan serius. Kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain disini, saling menyapa, dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu kita saling kehilangan dan lenyap dengan cara yang sama mendadaknya dan sama tidak masuk akalnya seperti ketika kita datang"
-Alberto Knox-

Selasa, Desember 20, 2011

Candu

Kedua alismu terangkat bertanya, sementara kedua matamu menatap tegas kepadaku. Aku, dengan gerakan yang sangat-sangat kaku, mungkin lebih kaku daripada robot, menganggukan kepala, dan membiarkanmu duduk di sebelahku. Tidak terlalu dekat. Mungkin ada jarak dua kepalan tangan yang memisahkan tubuh kita. Namun, kepada siapa aku akan menyalahkan jika hatiku berdebar tak terkendali? Berdetam-detam sampai telingaku terasa tuli? Bahkan suara benturan-benturan batu di bangunan yang sedang dalam proses di belakang kita tidak terdengar sejelas debaran hatiku.
Ada satu pertanyaan yang menggangguku saat ini, apakah kau tau, berapa lama aku memimpikan saat-saat seperti ini? Saat kau duduk di sebelahku. Walau tidak saling bicara tidak apa-apa, alunan nafasmu yang menandakan kehidupanmu yang berada begitu dekat denganku itu sudah menjadi komunikasi aneh diantara kita. Ah, bukan kita. Mungkin aku saja.
Jutaan kali aku melihatmu. Melintas begitu saja di depanku, meninggalkan debaran-debaran aneh yang tak bisa kuterjemahkan kepada yang lain. Jangankan kepada mereka, kepada diriku saja aku masih belum bisa memahaminya dengan pasti. Mungkin kau tak pernah sadar bahwa ada sepasang mata yang senantiasa mengikuti orbit lintasanmu. Bahwa ada sepotong hati yang berharap bisa memahamimu lebih jauh lagi. Dan bahwa ada ribuan kata-kata yang ingin kuungkapkan kepadamu. Yah, setiap kali kau melintas di depanku.
Apa kabarmu hari ini?
Sudah sarapan kan?
Hari ini sarapan dengan apa?
Hari ini mau pergi kemana?
Apa rencana kegiatan hari ini?
Itu hanya sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu sejak bertahun-tahun lalu. Melihatmu melintas di depanku, dan memendam pertanyaan-pertanyaan ini, sudah seperti rutinitasku entah sejak kapan. Yang pasti sudah lama sekali. Menemukanmu dalam orbit mataku sudah menjadi candu bagiku. 
Aku selalu mengandaikan bahwa suatu saat Tuhan akan memberikan kesempatan itu kepadaku. Apalagi? Tentu kesempatan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepadamu. Kepada makhluk-Nya, yang Dia ciptakan terlampau sempurna.
Dan benar sekali bukan? Saat itu akhirnya datang juga. Setelah bertahun-tahun aku menunggu, akhirnya kau datang. Menatapku dengan alis terangkat, dan menanyakan apa aku boleh duduk di sebelahmu. Ah, tentu saja. Tempat di sebelahku selalu kubiarkan kosong, memang karena aku menunggumu duduk disana.
Tapi masalahnya adalah, kenapa Tuhan tidak mengatakan kemungkinan tentang hilangnya semua kosa kataku saat kau duduk di sampingku? Ini yang meleset dari pikiranku. Menggelikan, ya. Menyebalkan, tentu. Anti klimask, pastinya. Daftar pertanyaanku yang mungkin bisa dijilid dan diterbitkan menjadi sebuah novel, mendadak lenyap tanpa penjelasan apa-apa. Aku ditinggalkan dalam kebingungan. Aku bisu. Mendadak.
Ketika aku berusaha melepaskan diri dari segala keanehan ini dan mulai melontarkan huruf pertama dari kata ‘Halo’, ternyata Tuhan marah padaku karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang Dia berikan untukku. Kau bangkit dari dudukmu dengan ponsel di telinga. Sebuah senyuman kecil kau lempar kepadaku, mungkin sebagai pengganti kalimat ‘Terimakasih atas tempat duduknya’ atau kalimat ‘Permisi ya’. Lalu kaupun pergi dengan ponsel yang masih di telingaku.
Aku menelan ludah. Semarah inikah Tuhan kepadaku? Kenapa Tuhan tidak memberikan waktu sedikit lebih lama lagi padaku? Padahal aku sudah akan memulai mengatakan ‘Halo’? Tapi kenapa aku juga harus menyalahkan Tuhan? Bukanlah ini semua tidak ada hubungannya dengan Tuhan? Ini hanya masalah aku, kau, dan ketololanku. Tidak yang lain.
Aku kecewa? Sudah pasti. Aku masih belum tahu perasaan apa yang sedang kurasakan ini. Terlalu dini untuk menyebutnya cinta. Tapi terlalu sayang untuk menyebutnya hanya sekedar obsesi. Tapi intinya, aku harus memulai rutinitas harianku lagi. Memandangimu saat kau melintas di hadapanku dan memendam jutaan pertanyaan di dalam mulutku. Dan entah berapa purnama lagi aku harus menunggu untuk kesempatan kedua. Kalau kesempatan kedua itu ada.


Depok, 20 Desember 2011

Jumat, Desember 16, 2011

Logika Kacau

Malam ini aku hanya punya satu pertanyaan untukmu, sayang. Tidak terlalu sulit, kau hanya perlu menggabungkan premis mayor dan permis minornya untuk menjawab pertanyaanku. Simak baik-baik ya, sayangku.

Premis mayor:  Egois adalah sifat dasar manusia 

Premis minor :  Aku benci sifat egois


Lalu apa bisa kubilang bahwa aku benci sifat dasar manusia?
Apa aku benci kemanusiaanku?
Apa aku benci semua manusia?
Apa aku benci bahwa aku adalah seorang manusia?



Mungkin logikaku kacau. Tapi pertanyaannya memang ada empat. Bukan satu. Kau tidak salah lihat.

Kamis, Desember 15, 2011

WINE

Satu lagi malam penuh dengan kegelisahan. Kukira dengan berpikir saja akan membuatku hidup. Ternyata, banyak berpikir itu juga tidak terlalu menguntungkan. Pikiran-pikiran di otakku ini berjejal-jejalan. Mengacau. Aku tau, mungkin jika aku mengatakan kepada orang lain, sayang, mereka tidak akan menangkapnya dengan mudah. Permasalahannya, aku hanya tidak bisa mengungkapkannya dengan baik.
Aku senang menulis. Aku senang menggerakkan tokoh-tokoh dalam tulisan semauku. Aku bisa membuat cerita semauku, dan aku bisa menciptakan takdir bagi tokoh-tokoh dalam tulisanku itu. Seolah semuanya berada dalam kendaliku. Aku bisa membuat semuanya berakhir bahagia. Aku bisa menghapuskan semua masalah dan penderitaan. Aku bisa menciptakan kehidupakn yang luar biasa indah dengan tembok kukuh yang menjaganya dari masalah.
Tapi pernahkah kau berpikir seperti ini, apa bedanya aku dengan tokoh-tokoh dalam ceritaku? Bahkan aku sempat berpikir, bagaimana jika aku ini sebenarnya adalah tokoh dalam ceritaku sendiri? Aku selalu bertanya-tanya, dan berharap, bahwa yang nyata adalah apa yang ada di dalam pikiranku, bukan apa yang aku alami.
Pernahkah kau merasa asing dengan dunia kesehari-harianmu? Merasakan keasingan pada orang-orang yang tadinya akrab denganmu? Merasakan seolah-olah dunia menatapmu aneh, ya, hanya kepadamu? Merasakah semuanya salah dan tidak seharusnya? Aku pernah. Sekarang aku sedang merasakannya. Aku asing dengan sekelilingku, dengan orang-orang terdekatku, dengan benda-benda yang kusentuh, serba salah, dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Perasaan asing ini menyelinap begitu saja menembus pori-pori, seperti proses kapilaritas di dinding. Aku hanya merasa…salah.
Mungkin ini yang disebut problem eksistensialisme. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh Sartre, Kierkegaard, Albert Camus, dan orang-orang seperti mereka, atau entahlah. Sebenarnya aku juga tidak bisa menjelaskannya dengan gamblang. Sudah kubilang bukan, aku tidak pandai bicara.
Aku memimpikan kebebasan, walau Sartre mengatakan sejak lahir aku sudah bebas. Bahkan katanya kebebasan adalah sebuah kutukan. Benarkah? Entah. Yang jelas aku tidak merasakan kebebasan itu. Dimana kebebasan, jika orang mulai mencibir jika kau melakukan sesuatu yang lain? Dimana kebebasan jika orang masih mencela apa yang kau pikirkan. Aku bingung dengan makna kebebasan versi Sartre ini, tapi aku mempercayai kalimatnya yang ajaib: Hell is other people. Yakinlah, kau juga akan begitu jika berada di posisiku. Berada di antara orang-orang yang sama dengan mereka yang ada di sekitarku.
Aku bingung bagaimana cara menghadapi dunia. Menghadapi orang-orang. Beberapa saat yang lalu aku mengatakan tentang apa yang ada di kepalaku, mengatakan apa yang kupikirkan, lalu mereka berteriak mencela. Mencibir dan mengatai yang tidak sepantasnya. Padahal aku hanya mengajak mereka berpikir. Berpikir ulang tentang apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka tidak melihat cacat dalam pikiran itu? Aku hanya mengingatkan saja, dan itulah tugasku. Lain waktu aku diam. Diam saja seperti batu. Mendengarkan apa yang mereka bicarakan tanpa banyak menyela. Lalu mereka mengataiku apatis. Acuh. Tidak peduli dan egois. Sok penting.
Sebenarnya mereka ingin aku melakukan apa?
Aku iri dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam tulisanku. Dan berharap aku yang ada disana. Lucukah? Bukanlah itu sudah benar, bahkan mungkin aku sudah ada disana? Bukan mustahil jika sebenarnya aku ini adalah salah satu tokoh di salah satu novel penulis best seller. Atau bukan mustahil pula, bahwa sebenarnya aku sedang bermimpi. Mimpi panjang tentang kehidupan di bumi. Dan ketika terbangun nanti, kita andaikan saja, sebenarnya aku ini adalah maklhuk dari galaksi Adromeda, dan kita andaikan saja, galaksi itu adalah galaksi kehidupan bahagia dengan tembok kukuh yang tidak bisa ditempuh oleh masalah. Yah, kita bisa berandai-andai saja. Bermimpi saja. Toh, apa bedanya mimpi dan kenyataan? Sebenarnya, bagaimana kau bisa membedakan yang mana mimpi dan yang mana kenyataan.
Ini dunia yang absurd kan?
Hyper realitas.
Mimpi.
Sebut saja yang lain.
Tak usah kau membaca tulisan ini. Hanya akan membuatmu bingung, dan mengatakan ini adalah sampah. Walau sebenarnya, hanya karena kau tidak suka, atau kau tidak mengerti, tidak lantas kau bisa mengatakan tulisan ini adalah sampah. Yah, aku sendiri, menganggap ini sampah.
Tapi ini dunia yang aneh bukan? Apa bedanya yang sampah dan yang bukan sampah? Itu hanya urusan di dalam kepala kita saja…

Tengah malam yang berat, 15 Desember 2011
00.31 am

Rabu, Desember 07, 2011

Sampah yang BUKAN Sampah


Malam ini, lagi-lagi, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu, sayang. Jangan bosan, jangan pula buru-buru mengantuk. Simaklah baik-baik, walau ini hanya racauan seperti biasa. Tapi, kenapa pula racauan itu tidak pantas disimak? Terkadang racauan orang-orang di warung kopi jauh lebih berharga untuk disimak daripada pidato politik di layar televise dengan latar gedung pencakar langit. Terkadang racauan para pengamen di stasiun lebih berharga disimak daripada kuliah berjam-berjam di ruangan ber-AC. Bukankah begitu, sayangku?
Hari ini aku sungguh tersinggung, sayang. Ada yang menyinggung sesuatu yang kusukai. Mungkin perasaan tersinggung itu tidak masuk akal, tapi yah, itulah yang terjadi.
Simaklah ceritaku ini, sayangku, lalu berikan komentarmu. Apa yang kau rasakan, saat kau sedang asyik-asyik membaca buku, lalu seseorang datang, melihat buku yang kau baca, kemudian menatapmu dengan pandangan heran, dan berkata dengan nada mencela seolah-olah kamu sedang menggenggam sampah, yang dalam hal ini berarti sedang membaca sampah? Atau, bagaimana jika seorang teman melihatmu bersamaku, dan seseorang itu mengatakan bahwa aku bukan sosok yang pantas untukmu, dan membuatmu terlihat seolah-olah begitu bodoh karena bersama seseorang yang mereka bilang sampah? Atau bagaimana jika ada seseorang membuka file D di komputermu, mengklik folder ‘Movie’ dan berdecak mencela lalu mengatakan bahwa film-film yang kau tonton adalah film sampah? Masih banyak contoh yang lain, sayang, tapi aku tidak akan membuatmu lebih pusing lagi.
Inti dari racauan kegamanganku mala mini adalah itu, sebuah rangkaian huruf yang bila dibaca akan berbunyi ‘Sampah’. S-A-M-P-A-H. Sampah.
Bagaimana cara mendefinisikannya? Sampah, maksudku. Pertama-tama, mari kita pasang atribut-atributnya. Sisa, tidak terpakai, tidak berguna, menjijikkan, kotor, dan sebutkan lagi yang lainnya. Bagaimana jika dari sini aku menyimpulkan bahwa term sampah, berarti sebagai sesuatu yang tidak berguna, yang tidak worthed untuk dikenai suatu tindakan.
Jangan, jangan bosan dahulu. Ceritaku masih panjang. Kalau kau benar-benar mengantuk, sayangku, kau boleh mengambil cangkir dan menyeduh kopi, lalu kembalilah kesini untuk menyimak kelanjutan racauanku. Pokoknya jangan beranjak untuk tidur.
Begini saja, supaya kau tidak bingung dan bosan, aku akan memperkecil ruang lingkup racauanku. Aku akan membicarakan tentang buku saja. Tentang cinta dan film-film itu bisa sepenuhnya kau abaikan.
Mari, kuceritakan sesuatu. Disana, di sudut kamarku, ada sebuah rak kayu dua ruang berwarna biru tua yang berisi benda-benda kesayanganku. Buku. Dan hanya kepadamu saja kuceritakan ya, bahwa buku-buku yang ada disana itu, KEMUNGKINAN akan dianggap ‘sampah’ jika dilihat oleh teman-temanku. Nah, permasalahannya adalah, banyak orang yang menyebut buku yang menurutnya tidak layak dia baca, tidak memberikan manfaat, dan tidak berguna sebagai bacaan sampah. Apa definisi sampah disini, sayang? Masihkah sama dengan definisi yang kusimpulkan sendiri tadi? Entahlah. Intinya adalah, bagaimana seseorang itu mengatakan sesuatu adalah sampah, selama ada orang lain yang mengkonsumsinya sebagai sesuatu yang menarik dan berguna?
Oh, buku yang ‘sampah’ itu memang ada. Menurutku buku-buku yang tidak layak dibaca dan tidak memberikan manfaat apa-apa itu memang ada. Tapi kalau kau teliti sayang, aku memakai kata ‘menurutku’, yang berarti itu hanya berupa sesuatu yang subyektif. Hal yang subyektif itu selamanya tidak akan sama persis antara satu dengan yang lain. Gampangnya begini, kita adalah individu yang berbeda. Tuhan memberi kita rasio yang berbeda-beda, walaupun intinya kita sama-sama punya rasio. Tuhan memberikan kapasitas otak yang berbeda-beda kepada manusia, dan inilah yang menjelaskan mengapa ada anak yang tanpa belajarpun bisa meraih nilai sembilan koma lima sementara anak yang belajar mati-matian hanya mendapatkan nilai tujun koma nol di ujian matematika. Setiap orang punya selera yang berbeda-beda, itu sudah rahasia umum bukan? Jadi salahkah jika aku menarik kesimpulan bahwa Apa yang kau anggap sampah bisa jadi adalah sesuatu yang bagus dan menarik bagi orang lain. Sebaliknya, apa yang kau anggap bagus dan menarik bisa jadi justru adalah sampah bagi orang lain.
Bukankah itu benar? Mari kita runutkan dari awal, dari definisi ‘sampah’ yang kuberikan tadi, sayang. Sampah sebagai sesuatu yang tidak memberikan manfaat apa-apa kepada kita dan apabila kita repot-repot melakukan sesuatu terhadapnya, itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Nah, ini bisa diterapkan pada sebuah buku. Sekedar bocoran, sayang, mari kuberitahukan, bahwa aku adalah seorang pecinta fiksi remaja, sekaligus seorang mahasiswa filsafat. Betapa ironisnya, ya? Aku menyukai buku-buku filosofis yang berat, yang membutuhkan lima kali baca untuk memahami satu paragraph saja, namun disisi lain aku juga menyukai buku-buku fiksi remaja yang MUNGKIN tidak cocok lagi untuk dikonsumsi oleh orang seumuranku, dan MUNGKIN akan dikatakan ‘sampah’ oleh orang-orang sepertiku. Mungkin juga memang benar buku-buku fiksi remaja itu tidak akan memberikan manfaat yang berhubungan dengan pendidikanku. Tapi buku-buku itu, karena aku menyukainya, bisa bermanfaat untuk menyegarkan otakku setelah aku lelah membaca buku-buku lain yang lebih berbobot. Jadi, buku-buku fiksi remaja itu bukan sampah bagiku, walaupun memang ada diantara mereka yang memang sampah. Nah, kau bisa melihat bedanya bukan? Sesuatu yang menurut orang lain adalah sampah, menurutku bukan sampah, karena aku menyukainya, dan aku mampu menangkap manfaat yang sedang dia coba berikan kepadaku. Dan sebaliknya, sayang, buku-buku filsafat yang berat, yang berbobot, yang menurutku seperti keajaiban karena mampu memberikan pencerahan itu, bisa jadi menjadi sampah bagi orang lain yang tidak menyukai filsafat, dan menganggap itu hanya mmebuang-buang waktu saja untuk mempertanyakan eksisitensi kita, atau untuk menjelaskan apa itu ADA sebagai yang ada, yang tiada, dan yang mungkin ada. Semua ini hanya permasalahan selera, sayang. Hanya permasalahan suka atau tidak suka. Tetapi bisakah kita memberikan kesimpulan bahwa orang yang menyukai buku yang berbobot dan berat memiliki selera yang LEBIH TINGGI daripada orang yang menyukai buku-buku ringan dan santai? Otakku tidak bisa membenarkan itu, sayang, karena, yah, apa patokan universalnya tentang tinggi rendahnya sebuah selera?
Ah, kurasa kau mulai bingung disini. Kurasa kau sudah mulai memutuskan untuk meninggalkaku tidur. Baiklah, toh, racauanku juga nyaris selesai.
Yang ingin kukatakan, sayang, walaupun kita menganggap sesuatu itu tidak berguna, menganggap sesuatu itu sebagai sampah, ada baiknya juga jika kita menyimpan pikiran itu di dalam kepala kita sendiri saja. Tidak perlu lah kita membuat semua orang tahu apa tanggapan kita tentang sesuatu yang kita anggap sampah. Simpanlah pikiran itu untuk dirimu sendiri. Karena seperti kata-kataku tadi  Bahwa Apa yang kau anggap sampah bisa jadi adalah sesuatu yang bagus dan menarik bagi orang lain. Sebaliknya, apa yang kau anggap bagus dan menarik bisa jadi justru adalah sampah bagi orang lain. Bukankah tidak ada ruginya jika kita berusaha menjaga perasaan orang lain?
Tulisan ini, mungkin saja akan kau anggap sebagai sampah, sayang. Yah, apalah arti dari sebuah racauan. Tapi sayangku, simpanlah makian ‘sampah banget!’ itu di pikiranmu saja, sayang. Simpan saja. Aku tidak akan pernah ingin mendengarnya. Karena, kau kan juga tahu, aku hanya memintamu mendengarkan racauanku. Itu saja. Kau tak perlu memikirkannya lebih lanjut, jika kau memang tidak mau.