Rabu, Desember 28, 2011

Colaps

Tuangkan anggur dari gelasmu, untuk membasuh kegelisahan malam ini. Pada malas, yang tak pernah kupikirkan. Pada serpih roti yang kupikir akan mengenyangkan. Pada muara, yang tak tahu kemana arahnya. Berikan satu pena, maka akan kutuliskan pesan singkat tentang takdir Tuhan. Adakah jeda tersisa untuk nama yang sama?

Sabtu, Desember 24, 2011

"Hidup itu memang menyedihkan dan serius. Kita dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain disini, saling menyapa, dan berkelana bersama untuk sejenak. Lalu kita saling kehilangan dan lenyap dengan cara yang sama mendadaknya dan sama tidak masuk akalnya seperti ketika kita datang"
-Alberto Knox-

Selasa, Desember 20, 2011

Candu

Kedua alismu terangkat bertanya, sementara kedua matamu menatap tegas kepadaku. Aku, dengan gerakan yang sangat-sangat kaku, mungkin lebih kaku daripada robot, menganggukan kepala, dan membiarkanmu duduk di sebelahku. Tidak terlalu dekat. Mungkin ada jarak dua kepalan tangan yang memisahkan tubuh kita. Namun, kepada siapa aku akan menyalahkan jika hatiku berdebar tak terkendali? Berdetam-detam sampai telingaku terasa tuli? Bahkan suara benturan-benturan batu di bangunan yang sedang dalam proses di belakang kita tidak terdengar sejelas debaran hatiku.
Ada satu pertanyaan yang menggangguku saat ini, apakah kau tau, berapa lama aku memimpikan saat-saat seperti ini? Saat kau duduk di sebelahku. Walau tidak saling bicara tidak apa-apa, alunan nafasmu yang menandakan kehidupanmu yang berada begitu dekat denganku itu sudah menjadi komunikasi aneh diantara kita. Ah, bukan kita. Mungkin aku saja.
Jutaan kali aku melihatmu. Melintas begitu saja di depanku, meninggalkan debaran-debaran aneh yang tak bisa kuterjemahkan kepada yang lain. Jangankan kepada mereka, kepada diriku saja aku masih belum bisa memahaminya dengan pasti. Mungkin kau tak pernah sadar bahwa ada sepasang mata yang senantiasa mengikuti orbit lintasanmu. Bahwa ada sepotong hati yang berharap bisa memahamimu lebih jauh lagi. Dan bahwa ada ribuan kata-kata yang ingin kuungkapkan kepadamu. Yah, setiap kali kau melintas di depanku.
Apa kabarmu hari ini?
Sudah sarapan kan?
Hari ini sarapan dengan apa?
Hari ini mau pergi kemana?
Apa rencana kegiatan hari ini?
Itu hanya sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu sejak bertahun-tahun lalu. Melihatmu melintas di depanku, dan memendam pertanyaan-pertanyaan ini, sudah seperti rutinitasku entah sejak kapan. Yang pasti sudah lama sekali. Menemukanmu dalam orbit mataku sudah menjadi candu bagiku. 
Aku selalu mengandaikan bahwa suatu saat Tuhan akan memberikan kesempatan itu kepadaku. Apalagi? Tentu kesempatan untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kepadamu. Kepada makhluk-Nya, yang Dia ciptakan terlampau sempurna.
Dan benar sekali bukan? Saat itu akhirnya datang juga. Setelah bertahun-tahun aku menunggu, akhirnya kau datang. Menatapku dengan alis terangkat, dan menanyakan apa aku boleh duduk di sebelahmu. Ah, tentu saja. Tempat di sebelahku selalu kubiarkan kosong, memang karena aku menunggumu duduk disana.
Tapi masalahnya adalah, kenapa Tuhan tidak mengatakan kemungkinan tentang hilangnya semua kosa kataku saat kau duduk di sampingku? Ini yang meleset dari pikiranku. Menggelikan, ya. Menyebalkan, tentu. Anti klimask, pastinya. Daftar pertanyaanku yang mungkin bisa dijilid dan diterbitkan menjadi sebuah novel, mendadak lenyap tanpa penjelasan apa-apa. Aku ditinggalkan dalam kebingungan. Aku bisu. Mendadak.
Ketika aku berusaha melepaskan diri dari segala keanehan ini dan mulai melontarkan huruf pertama dari kata ‘Halo’, ternyata Tuhan marah padaku karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang Dia berikan untukku. Kau bangkit dari dudukmu dengan ponsel di telinga. Sebuah senyuman kecil kau lempar kepadaku, mungkin sebagai pengganti kalimat ‘Terimakasih atas tempat duduknya’ atau kalimat ‘Permisi ya’. Lalu kaupun pergi dengan ponsel yang masih di telingaku.
Aku menelan ludah. Semarah inikah Tuhan kepadaku? Kenapa Tuhan tidak memberikan waktu sedikit lebih lama lagi padaku? Padahal aku sudah akan memulai mengatakan ‘Halo’? Tapi kenapa aku juga harus menyalahkan Tuhan? Bukanlah ini semua tidak ada hubungannya dengan Tuhan? Ini hanya masalah aku, kau, dan ketololanku. Tidak yang lain.
Aku kecewa? Sudah pasti. Aku masih belum tahu perasaan apa yang sedang kurasakan ini. Terlalu dini untuk menyebutnya cinta. Tapi terlalu sayang untuk menyebutnya hanya sekedar obsesi. Tapi intinya, aku harus memulai rutinitas harianku lagi. Memandangimu saat kau melintas di hadapanku dan memendam jutaan pertanyaan di dalam mulutku. Dan entah berapa purnama lagi aku harus menunggu untuk kesempatan kedua. Kalau kesempatan kedua itu ada.


Depok, 20 Desember 2011

Jumat, Desember 16, 2011

Logika Kacau

Malam ini aku hanya punya satu pertanyaan untukmu, sayang. Tidak terlalu sulit, kau hanya perlu menggabungkan premis mayor dan permis minornya untuk menjawab pertanyaanku. Simak baik-baik ya, sayangku.

Premis mayor:  Egois adalah sifat dasar manusia 

Premis minor :  Aku benci sifat egois


Lalu apa bisa kubilang bahwa aku benci sifat dasar manusia?
Apa aku benci kemanusiaanku?
Apa aku benci semua manusia?
Apa aku benci bahwa aku adalah seorang manusia?



Mungkin logikaku kacau. Tapi pertanyaannya memang ada empat. Bukan satu. Kau tidak salah lihat.

Kamis, Desember 15, 2011

WINE

Satu lagi malam penuh dengan kegelisahan. Kukira dengan berpikir saja akan membuatku hidup. Ternyata, banyak berpikir itu juga tidak terlalu menguntungkan. Pikiran-pikiran di otakku ini berjejal-jejalan. Mengacau. Aku tau, mungkin jika aku mengatakan kepada orang lain, sayang, mereka tidak akan menangkapnya dengan mudah. Permasalahannya, aku hanya tidak bisa mengungkapkannya dengan baik.
Aku senang menulis. Aku senang menggerakkan tokoh-tokoh dalam tulisan semauku. Aku bisa membuat cerita semauku, dan aku bisa menciptakan takdir bagi tokoh-tokoh dalam tulisanku itu. Seolah semuanya berada dalam kendaliku. Aku bisa membuat semuanya berakhir bahagia. Aku bisa menghapuskan semua masalah dan penderitaan. Aku bisa menciptakan kehidupakn yang luar biasa indah dengan tembok kukuh yang menjaganya dari masalah.
Tapi pernahkah kau berpikir seperti ini, apa bedanya aku dengan tokoh-tokoh dalam ceritaku? Bahkan aku sempat berpikir, bagaimana jika aku ini sebenarnya adalah tokoh dalam ceritaku sendiri? Aku selalu bertanya-tanya, dan berharap, bahwa yang nyata adalah apa yang ada di dalam pikiranku, bukan apa yang aku alami.
Pernahkah kau merasa asing dengan dunia kesehari-harianmu? Merasakan keasingan pada orang-orang yang tadinya akrab denganmu? Merasakan seolah-olah dunia menatapmu aneh, ya, hanya kepadamu? Merasakah semuanya salah dan tidak seharusnya? Aku pernah. Sekarang aku sedang merasakannya. Aku asing dengan sekelilingku, dengan orang-orang terdekatku, dengan benda-benda yang kusentuh, serba salah, dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Perasaan asing ini menyelinap begitu saja menembus pori-pori, seperti proses kapilaritas di dinding. Aku hanya merasa…salah.
Mungkin ini yang disebut problem eksistensialisme. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh Sartre, Kierkegaard, Albert Camus, dan orang-orang seperti mereka, atau entahlah. Sebenarnya aku juga tidak bisa menjelaskannya dengan gamblang. Sudah kubilang bukan, aku tidak pandai bicara.
Aku memimpikan kebebasan, walau Sartre mengatakan sejak lahir aku sudah bebas. Bahkan katanya kebebasan adalah sebuah kutukan. Benarkah? Entah. Yang jelas aku tidak merasakan kebebasan itu. Dimana kebebasan, jika orang mulai mencibir jika kau melakukan sesuatu yang lain? Dimana kebebasan jika orang masih mencela apa yang kau pikirkan. Aku bingung dengan makna kebebasan versi Sartre ini, tapi aku mempercayai kalimatnya yang ajaib: Hell is other people. Yakinlah, kau juga akan begitu jika berada di posisiku. Berada di antara orang-orang yang sama dengan mereka yang ada di sekitarku.
Aku bingung bagaimana cara menghadapi dunia. Menghadapi orang-orang. Beberapa saat yang lalu aku mengatakan tentang apa yang ada di kepalaku, mengatakan apa yang kupikirkan, lalu mereka berteriak mencela. Mencibir dan mengatai yang tidak sepantasnya. Padahal aku hanya mengajak mereka berpikir. Berpikir ulang tentang apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka tidak melihat cacat dalam pikiran itu? Aku hanya mengingatkan saja, dan itulah tugasku. Lain waktu aku diam. Diam saja seperti batu. Mendengarkan apa yang mereka bicarakan tanpa banyak menyela. Lalu mereka mengataiku apatis. Acuh. Tidak peduli dan egois. Sok penting.
Sebenarnya mereka ingin aku melakukan apa?
Aku iri dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam tulisanku. Dan berharap aku yang ada disana. Lucukah? Bukanlah itu sudah benar, bahkan mungkin aku sudah ada disana? Bukan mustahil jika sebenarnya aku ini adalah salah satu tokoh di salah satu novel penulis best seller. Atau bukan mustahil pula, bahwa sebenarnya aku sedang bermimpi. Mimpi panjang tentang kehidupan di bumi. Dan ketika terbangun nanti, kita andaikan saja, sebenarnya aku ini adalah maklhuk dari galaksi Adromeda, dan kita andaikan saja, galaksi itu adalah galaksi kehidupan bahagia dengan tembok kukuh yang tidak bisa ditempuh oleh masalah. Yah, kita bisa berandai-andai saja. Bermimpi saja. Toh, apa bedanya mimpi dan kenyataan? Sebenarnya, bagaimana kau bisa membedakan yang mana mimpi dan yang mana kenyataan.
Ini dunia yang absurd kan?
Hyper realitas.
Mimpi.
Sebut saja yang lain.
Tak usah kau membaca tulisan ini. Hanya akan membuatmu bingung, dan mengatakan ini adalah sampah. Walau sebenarnya, hanya karena kau tidak suka, atau kau tidak mengerti, tidak lantas kau bisa mengatakan tulisan ini adalah sampah. Yah, aku sendiri, menganggap ini sampah.
Tapi ini dunia yang aneh bukan? Apa bedanya yang sampah dan yang bukan sampah? Itu hanya urusan di dalam kepala kita saja…

Tengah malam yang berat, 15 Desember 2011
00.31 am

Rabu, Desember 07, 2011

Sampah yang BUKAN Sampah


Malam ini, lagi-lagi, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu, sayang. Jangan bosan, jangan pula buru-buru mengantuk. Simaklah baik-baik, walau ini hanya racauan seperti biasa. Tapi, kenapa pula racauan itu tidak pantas disimak? Terkadang racauan orang-orang di warung kopi jauh lebih berharga untuk disimak daripada pidato politik di layar televise dengan latar gedung pencakar langit. Terkadang racauan para pengamen di stasiun lebih berharga disimak daripada kuliah berjam-berjam di ruangan ber-AC. Bukankah begitu, sayangku?
Hari ini aku sungguh tersinggung, sayang. Ada yang menyinggung sesuatu yang kusukai. Mungkin perasaan tersinggung itu tidak masuk akal, tapi yah, itulah yang terjadi.
Simaklah ceritaku ini, sayangku, lalu berikan komentarmu. Apa yang kau rasakan, saat kau sedang asyik-asyik membaca buku, lalu seseorang datang, melihat buku yang kau baca, kemudian menatapmu dengan pandangan heran, dan berkata dengan nada mencela seolah-olah kamu sedang menggenggam sampah, yang dalam hal ini berarti sedang membaca sampah? Atau, bagaimana jika seorang teman melihatmu bersamaku, dan seseorang itu mengatakan bahwa aku bukan sosok yang pantas untukmu, dan membuatmu terlihat seolah-olah begitu bodoh karena bersama seseorang yang mereka bilang sampah? Atau bagaimana jika ada seseorang membuka file D di komputermu, mengklik folder ‘Movie’ dan berdecak mencela lalu mengatakan bahwa film-film yang kau tonton adalah film sampah? Masih banyak contoh yang lain, sayang, tapi aku tidak akan membuatmu lebih pusing lagi.
Inti dari racauan kegamanganku mala mini adalah itu, sebuah rangkaian huruf yang bila dibaca akan berbunyi ‘Sampah’. S-A-M-P-A-H. Sampah.
Bagaimana cara mendefinisikannya? Sampah, maksudku. Pertama-tama, mari kita pasang atribut-atributnya. Sisa, tidak terpakai, tidak berguna, menjijikkan, kotor, dan sebutkan lagi yang lainnya. Bagaimana jika dari sini aku menyimpulkan bahwa term sampah, berarti sebagai sesuatu yang tidak berguna, yang tidak worthed untuk dikenai suatu tindakan.
Jangan, jangan bosan dahulu. Ceritaku masih panjang. Kalau kau benar-benar mengantuk, sayangku, kau boleh mengambil cangkir dan menyeduh kopi, lalu kembalilah kesini untuk menyimak kelanjutan racauanku. Pokoknya jangan beranjak untuk tidur.
Begini saja, supaya kau tidak bingung dan bosan, aku akan memperkecil ruang lingkup racauanku. Aku akan membicarakan tentang buku saja. Tentang cinta dan film-film itu bisa sepenuhnya kau abaikan.
Mari, kuceritakan sesuatu. Disana, di sudut kamarku, ada sebuah rak kayu dua ruang berwarna biru tua yang berisi benda-benda kesayanganku. Buku. Dan hanya kepadamu saja kuceritakan ya, bahwa buku-buku yang ada disana itu, KEMUNGKINAN akan dianggap ‘sampah’ jika dilihat oleh teman-temanku. Nah, permasalahannya adalah, banyak orang yang menyebut buku yang menurutnya tidak layak dia baca, tidak memberikan manfaat, dan tidak berguna sebagai bacaan sampah. Apa definisi sampah disini, sayang? Masihkah sama dengan definisi yang kusimpulkan sendiri tadi? Entahlah. Intinya adalah, bagaimana seseorang itu mengatakan sesuatu adalah sampah, selama ada orang lain yang mengkonsumsinya sebagai sesuatu yang menarik dan berguna?
Oh, buku yang ‘sampah’ itu memang ada. Menurutku buku-buku yang tidak layak dibaca dan tidak memberikan manfaat apa-apa itu memang ada. Tapi kalau kau teliti sayang, aku memakai kata ‘menurutku’, yang berarti itu hanya berupa sesuatu yang subyektif. Hal yang subyektif itu selamanya tidak akan sama persis antara satu dengan yang lain. Gampangnya begini, kita adalah individu yang berbeda. Tuhan memberi kita rasio yang berbeda-beda, walaupun intinya kita sama-sama punya rasio. Tuhan memberikan kapasitas otak yang berbeda-beda kepada manusia, dan inilah yang menjelaskan mengapa ada anak yang tanpa belajarpun bisa meraih nilai sembilan koma lima sementara anak yang belajar mati-matian hanya mendapatkan nilai tujun koma nol di ujian matematika. Setiap orang punya selera yang berbeda-beda, itu sudah rahasia umum bukan? Jadi salahkah jika aku menarik kesimpulan bahwa Apa yang kau anggap sampah bisa jadi adalah sesuatu yang bagus dan menarik bagi orang lain. Sebaliknya, apa yang kau anggap bagus dan menarik bisa jadi justru adalah sampah bagi orang lain.
Bukankah itu benar? Mari kita runutkan dari awal, dari definisi ‘sampah’ yang kuberikan tadi, sayang. Sampah sebagai sesuatu yang tidak memberikan manfaat apa-apa kepada kita dan apabila kita repot-repot melakukan sesuatu terhadapnya, itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Nah, ini bisa diterapkan pada sebuah buku. Sekedar bocoran, sayang, mari kuberitahukan, bahwa aku adalah seorang pecinta fiksi remaja, sekaligus seorang mahasiswa filsafat. Betapa ironisnya, ya? Aku menyukai buku-buku filosofis yang berat, yang membutuhkan lima kali baca untuk memahami satu paragraph saja, namun disisi lain aku juga menyukai buku-buku fiksi remaja yang MUNGKIN tidak cocok lagi untuk dikonsumsi oleh orang seumuranku, dan MUNGKIN akan dikatakan ‘sampah’ oleh orang-orang sepertiku. Mungkin juga memang benar buku-buku fiksi remaja itu tidak akan memberikan manfaat yang berhubungan dengan pendidikanku. Tapi buku-buku itu, karena aku menyukainya, bisa bermanfaat untuk menyegarkan otakku setelah aku lelah membaca buku-buku lain yang lebih berbobot. Jadi, buku-buku fiksi remaja itu bukan sampah bagiku, walaupun memang ada diantara mereka yang memang sampah. Nah, kau bisa melihat bedanya bukan? Sesuatu yang menurut orang lain adalah sampah, menurutku bukan sampah, karena aku menyukainya, dan aku mampu menangkap manfaat yang sedang dia coba berikan kepadaku. Dan sebaliknya, sayang, buku-buku filsafat yang berat, yang berbobot, yang menurutku seperti keajaiban karena mampu memberikan pencerahan itu, bisa jadi menjadi sampah bagi orang lain yang tidak menyukai filsafat, dan menganggap itu hanya mmebuang-buang waktu saja untuk mempertanyakan eksisitensi kita, atau untuk menjelaskan apa itu ADA sebagai yang ada, yang tiada, dan yang mungkin ada. Semua ini hanya permasalahan selera, sayang. Hanya permasalahan suka atau tidak suka. Tetapi bisakah kita memberikan kesimpulan bahwa orang yang menyukai buku yang berbobot dan berat memiliki selera yang LEBIH TINGGI daripada orang yang menyukai buku-buku ringan dan santai? Otakku tidak bisa membenarkan itu, sayang, karena, yah, apa patokan universalnya tentang tinggi rendahnya sebuah selera?
Ah, kurasa kau mulai bingung disini. Kurasa kau sudah mulai memutuskan untuk meninggalkaku tidur. Baiklah, toh, racauanku juga nyaris selesai.
Yang ingin kukatakan, sayang, walaupun kita menganggap sesuatu itu tidak berguna, menganggap sesuatu itu sebagai sampah, ada baiknya juga jika kita menyimpan pikiran itu di dalam kepala kita sendiri saja. Tidak perlu lah kita membuat semua orang tahu apa tanggapan kita tentang sesuatu yang kita anggap sampah. Simpanlah pikiran itu untuk dirimu sendiri. Karena seperti kata-kataku tadi  Bahwa Apa yang kau anggap sampah bisa jadi adalah sesuatu yang bagus dan menarik bagi orang lain. Sebaliknya, apa yang kau anggap bagus dan menarik bisa jadi justru adalah sampah bagi orang lain. Bukankah tidak ada ruginya jika kita berusaha menjaga perasaan orang lain?
Tulisan ini, mungkin saja akan kau anggap sebagai sampah, sayang. Yah, apalah arti dari sebuah racauan. Tapi sayangku, simpanlah makian ‘sampah banget!’ itu di pikiranmu saja, sayang. Simpan saja. Aku tidak akan pernah ingin mendengarnya. Karena, kau kan juga tahu, aku hanya memintamu mendengarkan racauanku. Itu saja. Kau tak perlu memikirkannya lebih lanjut, jika kau memang tidak mau.

Senin, November 28, 2011

Ecstasy

‘I become through my relation to the Thou, as I become I, I say thou. All real living is meeting.’
-Martin Buber-

Ini adalah sebuah protes. Murni sebuah protes dari sebuah hubungan yang telah berjalan bertahun-tahun. Namun protes kali ini sungguh mengganggu segala nuraniku. Tapi apakah kau menyadarinya? Jika nuraninya tersentak atas protes yang kau ajukan siang tadi? Ataukah kau sudah tidak lagi memikirkannya? Mungkin aku juga seharusnya sudah melupakannya, saat kau memutuskan untuk memaafkanku. Tapi tidak bisa. Protesmu itu masih menggaung, memenuhi ruang di otakku.
Aku harus mati-matian memikirkannya.
‘Kenapa kamu selalu menyuruhku ini itu? Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Memangnya kenapa kalau aku merokok? Memangnya kenapa kalau aku berantakan? Kenapa kamu menyuruhku berhenti melakukan hal-hal yang menjadikan identitasku? Untuk apa kamu bersamaku jika kamu terus-terusan memintaku menjadi orang lain? Siapa yang sebenarnya kamu cintai? Aku? Atau orang lain yang kau suruh aku menjadi?’
Sial. Kata-katamu itu terlalu menusuk. Terlalu kasar, walau setelah kupikirkan, aku tidak tahu bagian mana yang kasar.
Tapi kau benar. Kau sungguh benar, sayang. Ini adalah sebuah parados yang ternyata baru kusadari ketika kau membentak, memprotes, dan menyuruhku berpikir ulang.
Ketika seseorang mencintai orang lain, apa yang sebenarnya Ia lihat? Benarkah Ia melihat Dia yang Ia cintai sebagaimana yang Ia lihat? Ataukah Ia bisa melihat potensi Dia untuk menjadi apa yang Ia mau dengan menawarkan sebuah cinta?
Apakah benar, ada perubahan yang di atas namakan cinta?
Inilah yang sering terjadi di sinetron-sintetron remaja. Dengan cinta seorang preman bisa menjadi santri. Dan atas nama cinta, seorang brengsek bisa menjadi orang baik. Katanya, demi cinta juga, seseorang berubah penampilan. Tapi dengan segala perubahan itu, sayangku, apakah cinta masih ada di tempatnya yang seharusnya?
Dulu ada seorang teman yang mengatakan bawa aku menerima si X menjadi pacarku, mungkin aku bisa mengubahnya menjadi seorang laki-laki yang lebih baikl, yang tidak berandalan, yang tidak suka mabuk-mabukan, dan yang rapi. Ya, memang begitulan si X itu. Jangan cemburu sayang, kejadian itu sudah lama berlalu. Lagipula, aku memang tidak pernah menerima si X.
Kau bertanya mengapa? Bukankah sudah jelas jawabannya. Jika aku menerima si X menjadi kekasihku dengan alasana supaya aku bisa lebih  mengontrolnya, memaksanya merubah diri dengan dalih cinta yang agung, maka sebenarnya aku tidak pernah mencintainya. Aku mencintai sosok yang akan kurubahkan kepadanya, yang sepertinya aku meminta si X menjadi. Lalu kenapa aku harus bersama si X, jika aku aku tidak pernah mencintainya sebagaimana dirinya sendiri?
Kata Martin Buber, hubungan yang seperti itu adalah hubungan I-it. Hubungan dimana aku bisa saja membendakan si X, menjadikannya seperti apa yang aku mau dengan dalih cinta. Kamu tau Martin Buber kan, sayang? Dia adalah seorang filosof cinta, katakan demikian jika lebih mudah. Intinya, aku menyukai konsepnya tentang hubungan antarsubyektifitas. I-it dan I-Thou. I-Thou ini, adalah kebalikan dari I-it. Bukan kebalikan sebenarnya, tetapi adalah tahap kemungkinan metamorofsis sebuah hubungan I-it. Kalau sudah I-Thou, sayang, maka aku tidak akan memintamu menjadi begini, menjadi begitu, harus begini, harus begitu. Bahkan aku tidak akan peduli lagi bagaimana dirimu. Aku tidak bisa menatapnya lagi. Yang kutahu adalah, bahwa aku mencintaimu. Keseluruhan dirimu. Tanpa alasan, tak bisa dijelaskan. Begitu saja.
Bukankah itu indah sekali, sayang?
Maafkan aku khilaf, sayang. Maaf kan tadi aku melarangmu merokok. Maka, atas nama Buber, kupersilahkan kau meneruskan kebiasaanmu itu. Tapi sayang, yang kamu harus tahu adalah, bahwa aku juga mempunyai hak atas paru-paruku sendiri. Aku punya kebebasan untuk menjaga paru-paruku dari asap rokok yang bisa membuat penyakit asmaku kambuh. Jadi bagaimana? Mari kita pikirkan solusinya. Supaya aku tidak mengganggu eksistensimu, dan kamu tidak mengganggu eksistensiku. Supaya dari kita tidak ada yang berubah, tetap sama seperti ketika kita saling jatuh cinta.
Tapi bisakah itu terjadi, sayang? Bisakah kita mempertahankan bagaimana kita, sedangkan dunia terus menggempur kita dari luar. Dunia terus-terusan meminta kita menjadi sesuatu yang lain. Ah, aku sudah mulai keluar dari konteks hubungan kita. Tapi biarlah. Aku sedang ingin berpikir. Aku hanya berharap kau mau mendengarnya, itu saja.
Jadi kembali ke permasalahan tadi. Dunia selalu meminta kita menjadi sesuatu yang lain. Bahkan tidak jarang dunia meminta kita menjadi pembunuh. Bagaimana ini, sayang? Jika kau ingin bertahan dengan rokokmu, sungguh aku tidak keberatan. Tapi bukankah banyak orang lain, yang kebetulan sama sepertiku, terganggu dengan asap rokokmu? Bagaimanapun juga, kebebasan eksistensimu itu dibatasi oleh kebebasan eksistensi orang lain. Begitu kata Jean Paul Sartre. Hell is other people, sayang. Memang sudah takdirnya jika orang lain membuatmu berubah. Bahkan ketika kau ingin mempertahankan dirimu dan tidak menghiraukan pilihan orang lain, tapi kau tidak bisa menghindar dari rasa malu, marah, tertekan, sedih, dan juga cinta. Orang lainlah yang membuatmu bisa merasakan demikian. Maka jangan heran jika banyak orang yang menginginkanmu begini begitu. Mungkin memang itu sudah jalannya. Kebebasan yang kau miliki itu, sekaligus juga ketidakbebasanmu. Ini rumit memang. Aku masih bekerja keras untuk memikirkannya.
Lantas, bagaimana dengan cinta? Mungkin kah ada sebuah hubungan yang tidak mempunyai harapan apa-apa satu sama lain? Mungkinkah jika aku menerimamu begitu saja, bahkan saat asap rokokmu itu menggangguku dan membuatku asma? Dan mungkinkah kau tidak terganggu dengan keadaanku yang sesak nafas, sementara kau tahu sendiri bahwa aku sesak nafas karena rokok yang kau hisap?
Jika orang lain mungkin akan berkata begini: Kalau kau menyayangiku, dan masih ingin bersamaku, maka buanglah benda sialan itu! Aku ingin kita berdua menjadi ornag yang sehat! Bukan ornag yang terancam kanker paru-paru gara-gara rokokmu!
Selintas kalimat itu tampak biasa saja. Tapi aku tidak akan pernah mengatakan itu lagi, sayang. Tidak akan pernah. Aku hanya akan mengatakan bahwa ketika kau berhenti merokok, itu adalah hasil dari kebebasanmu. Itu adalah sebuah tanggung jawabmu kepada dirimu sendiri dan kepada dunia. Aku tidak akan menyuruhmu berhenti merokok lagi. Tidak akan pernah. Mungkin suatu saat nanti, kau akan menyadari bahwa rokok itu buruk, dan berhenti merokok sama sekali. Mungkin suatu saat nanti kau akan bisa membaca harapanku tanpa aku harus bicara. Mungkin suatu saat nanti kau bisa berubah. Tanpa aku harus merubahmu, tapi karena kau ingin merubah dirimu sendiri. Bukan demi aku, tapi demi dirimu sendiri. Begitu juga aku. Namun jika kau memang tidak bisa berubah, aku tidak akan keberatan, sayang. Tidak akan. Karena aku menyadari, kita adalah dua individu yang berbeda. Dua individu yang sebanyak apapun kadar persamaannya, tetap saja kita berbeda. Kita memiliki rasio masing-masing dan cara berpikir masing-masing. Salah jika ada orang yang mengatakan bahwa Cinta menyatukan kita, seperti kata lagu-lagu di radio yang sedang kita dengarkan ini. Selamanya kita adalah dua, tidak akan pernah tereduksi satu. Namun, DUA, juga bukan alasan kita untuk tidak saling bersama bukan? Perbedaan bukan alasan bagi kita untuk saling menjauh dan menyakiti. Bukankah jika segala sesuatu adalah sama, hidup akan terasa membosankan?


Depok, 28 nov 2011

Sabtu, November 26, 2011

Hanya Sebuah Sajak

Bagaimana aku bisa menerjemahkan segala kecemaanku? Bila tak ada lagi kertas kosong dan penaku telah hilang.
Maka segala ketakutan, juga kebahagiaan, tak bisa lagi terlukiskan. tak bisa tertuliskan. Hanya terpasung di kedalaman jiwa.

Aku masih butuh pena. Dan selembar kertas kosong.

Bukankah nurani dan hati tak selamanya berjalan beriringan? Karena berhati tak sama dengan bernurani. Berjiwa, tak selalu bernurani

Lupakan hatimu, maka nurani akan lebih leluasa. 
Jika nurani menang, dan hatimu berserakan, mungkin itulah yang disebut perpisahan. 

Maka kau adalah manusia. Hanya itu yang perlu kau ingat.

Berikan padaku selembar kertas kosong dan sebuah pena yang tak harus hitam. maka akan kuceritakan tentang perpisahan hati dan nurani.

Kepada Ketidakpastian yang pasti


Sudah seminggu berlalu dari hari ketika pengerjaan tugas eksistensialisme tentang Sartre. Tapi konsep tentang faktisitas itu masih saja mengawang-ngawang di kepala.
‘I find myself suddenly alone without help, engaged in a world for which I bear the whole responsibility without being able to tear myself away from this responsibility for an instant.’
Begitu katanya…

Membaca teks ini, rasanya seperti sedang mengangkat batu besar ke atas gunung, dan tidak tau untu apakah batu itu diangkat ke gunung.
Bagaimana rasanya? Jika tiba-tiba kita terlempar di suatu dunia yang tidak kita kenal, dengan segala tanggung jawab yang sudah melekat dalam pundak kita, sementara tidak ada pertolongan untuk kita?
Hidup ini absurd, kata Albert Camus. Hidup ini tidak bisa dijelaskan. Hidup ini tidak bisa dipastikan. Socrates mengatakan, tidak ada yang pasti dalam dunia ini selain ketidak pastian itu sendiri. Lagi-lagi, sedih membacanya. Tapi kalau dipikir-pikir, benar juga.
Lalu, dengan tiba-tibanya terpikirkan rumusan ini, Aksi sama dengan Reaksi. Bagaimana mengatakan bahwa aksa sama dengan reaksi dalam kehidupan yang sungguh absurd ini, wahai Tuan Newton? Apa yang saya dapat, tidak selalu sebanding dengan apa yang saya usahakan. Terkadang saya begitu menginginkan sesuatu, mati-matian mengusahakannya, sampai nyaris gila memikirkannya, namun pada akhirnya, tak ada apapun yang saya dapat kecuali kegilaan itu sendiri. Kalau sudha begitu, yah, mungkin kita akan percaya dengan yang namanya takdir.
Takdir. Konsep itu rasanya begitu menyenangkan. Seandainya saja semuanya bisa diserahkan kepada takdir. Memang bisa. Hanya saja, proses penyerahan itu tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Kata Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Manusia terlahir dengan kebebasan. Yang artinya adalah manusia tidak bisa berlaku seperti batu yang hanya diam menunggu dirinya dihancurkan atau digulingkan, sekeras apapun manusia mencobanya. Karena manusia adalah kebebasan itu sendiri.
Lalu, bagaimana tentang hidup itu sendiri? Saya bukannya akan memberikan definisi ilmiah tentang hidup, atau definisi filosofis tentang kehidupan. Pengetahuan saya terlalu cetek untuk merambah di kedua ranah tersebut. Saya hanya ingin mengatakan tentang apa yang saya lihat, dalam kehidupan yang saya alami. Yang saya dapatkan dari seminar ke seminar. Oh ya, ini semua berpangkal kepada sebuah seminar. Seminar siang hari di sebuah fakultas di kampus, yang untuk mengikutinya saya harus rela membolos salah satu mata kuliah.
Seminar tersebut membahas tentang penyakit membahayakan akibat ‘rasa manis’ yang berlebihan dalam tubuh. Yap, saya sedang membicarakan tentang diabetes. DIABETES! Intinya begini, diabetes bisa diderita oleh siapa saja yang menyukai makanan manis-manis. Disini manis adalah musuh bagi semua orang. Namun mush itu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Coba bayangkan hidup tanpa rasa manis? Bayangkan hidup tanpa gula? Manis, mungkin salah satu anasir penyusun tubuh manusia, yang jika keberadaannya diabsenkan, tubuh manusia tidak akan sama lagi. Manis adalah musuh sekaligus sahabat. Dari situlah perusahaan besar mulai beradu krestifitas untuk menciptakan produk sugar free, sebagai upaya supaya manusia tetap bisa merasakan manisnya hidup sekaligus mengurangi resiko diabetes. Inti dari produk sugar free adalah hadirnya pemanis-pemanis buatan seperti Aspartan, Sakarin, Siklamat, dan lain sebagainya. Pemanis buatan ini mengandung jauh lebih rendah kalori dibandingkan dengan gula asli. Namun jangan salah. Pemanis buatan selain mengandung kalori yang rendah juga mengandung zat karsogenik, yaitu zat yang dapat memicu sel kanker. Dengan pemanis buatan, diabetes menjauh, tapi kanker mendekat.

Mari kita tarik kesimpulannya dari sini.
‘Hidup Dipenuhi mara bahaya yang terus berkembang biak’
-Anonymous-

Diibaratkan sebuah ruangan, hidup adalah ruangan penuh tanpa udara, berdinding tinggi, tidak bisa ditembus, dan mengerikan. Singkatnya seperti mendifinisikan penjara bastile sebelum dia dihancurkan. Ketika kita melarikan diri dari satu permaalahan, sebenarnya kita sedang menuju kepada permasalahan lain. Ketika orang berusaha mencegah penyakit diabetes dengan mengkonsumsi pemanis buatan, sesungguhnya ia sedang menuju kepada penyakit yang lain, kanker. Hidup ini dikepung. Dikepung oleh mara bahaya tak kasat mata, yang terus berkembang biak selama kehidupan itu masih ada. Bagaimana cara keluar dari kepungan marabahaya itu? Mungkin manusia harus mati.
Permasalahan, segala problem, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan itu sendiri.
Kesimpulan yang saya dapat adalah, bahwa hidup adalah sebuah proses mempertahankan diri dari segala gempuran mara bahaya yang terus berlanjut. Jangan berharap untuk bebas, selama masih menginginkan kehidupan itu sendiri. Ini bukan tentang rasa pesimis. Tapi ini adalah sebuah tantangan untuk manusia, seberapa besarkah kemampuan kita untuk bertahan dari segala gempuran bahaya ini. Semakin lama kita bisa bertahan, semakin menang lah kita.

Kamis, November 24, 2011

JEAN-PAUL SARTRE: ‘Manusia dikutuk untuk Bebas’


Sartre secara tegas membedakan antara dua cara berada, yaitu ‘being-in-it-self’ dan ‘being-for-it-self’. Being-in-it-self, adalah sesuatu yang sudah ada begitu saja, berada dalam dirinya sendiri, tidak berubah, serta tidak menyadari keberadaannya sendiri. Berbeda dengan Being-for-it-self, yang merupakan berada untuk dirinya sendiri. Dalam artian subyek yang berada tersebut menyadari keberadaannya sendiri. Segala benda jasmani yang ada di dunia pada dasarnya adalah Being-in-it-self. Tetapi manusia yang memiliki kesadaran, mengadakan jarak dari Being-in-it-self yang lain dan membentuk being-for-it-self. Kita dapat melihat perbedaanya dari fakta, bahwa Meja sebagai being-in-it-self, tidak memiliki tanggung jawab atas kemejaannya, mengapa ia adalah meja, bukan kursi, dan mengapa ia berwarna cokelat, bukan putih. Sementara manusia, yang memiliki kesadaran atas keberadaannya sendiri, tentu memiliki tanggung jawab atas kemanusiaannya.
Dengan tegas Sartre mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Sartre menolak segala konsep determinisme. Pada awalnya manusia bukan siapa-siapa. Manusia sendirilah yang menentukan ia akan menjadi manusia seperti apa. Eksistensi manusia ditentukan oleh perbuatan. Dengan kata lain, manusia menentukan dirinya sendiri.
‘I find myself suddenly alone without help, engaged in a world for which I bear the whole responsibility without being able to tear myself away from this responsibility for an instant.’ (fotocopyan eksistesialisme, hal 229)
Sartre menyebutnya dengan konsep Facticity, dimana kita tidak berharap dilahirkan, namun kenyataannya kita dilahirkan juga, dan ditinggalkan dalam dunia asing yang tidak kita kenal, tanpa seorangpun penolong. Namun demikian, bukan berarti dalam ‘ketidaktahuan’, manusia harus bersikap pasrah dengan apapun yang akan terjadi kepadanya. Manusia dilahirkan dengan kebebasan. Artinya manusia selalu mempunyai kuasa untuk berkata ‘tidak’, dan manusia selalu dihadapkan kepada pilihan untuk menjadi sesuatu atau untuk tidak menjadi sesuatu. Dalam setiap tindakan manusia, dalam setiap pilihan yang dia ambil, manusia memikul tanggung jawab yang luar biasa besar. Tidak hanya bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab untuk keseluruhan kemanusiaan. Segala sesuatu yang terjadi pada hidup manusia adalah pilihannya sendiri. Apabila hidup diibaratkan sebagai sebuah perang, maka perang ini adalah ‘perangku’. Aku bisa memilih untuk berperang, atau untuk tidak berperang (dalam hal ini Sartre menyebutkan bunuh diri sebagai salah satu pilihan). Sementara jika aku memilih untuk berperang, maka aku akan terus dihadapkan pada pilihan-pilihan sepanjang perang itu berlangsung. Kebebasan mutlak untuk memilih itulah yang membawa konsekuensi tanggung jawab yang harus dipikul manusia. Tanggung jawab yang luar biasa berat dalam sebuah dunia yang tidak diketahui kepastiannya inilah yang membawa manusia pada kecemasan dan kemuakan. Dua hal tersebut adalah sifat dasariah dari manusia. Dari sinilah kebebasan mulai disebut sebagai beban.
Tidak ada yang dapat meringankan beban ini, sebagaimana yang disebutkan diatas, bahwa manusia ditinggalkan tanpa seorangpun penolong. Tidak pula Tuhan. Ada atau tidaknya Tuhan tidak akan merubah apa-apa. Seseorang yang menggantungkan diri terhadap Tuhan, atau terhadap sesuatu yang lain disebut Sartre dengan ‘Bad faith’ atau ‘Mauvaise foi’. Hal ini muncul disaat manusia membohongi diri sendiri, dan berniat melarikan diri dari tanggung jawab. Seseorang dengan Bad Faith adalah individu yang tidak otentik. Inilah yang membuat Sartre kemudian dikenal sebagai seorang eksistensialis atheistic.
Kebebasan ini adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal. Bahkan ketika manusia memutuskan untuk hanya berdiam diri, tidak melakukan apapun, untuk melepaskan kebebasannya, sesungguhnya ia sedang menjalankan bagian dari kebebasannya juga, yaitu: memilih untuk tidak bebas. Inilah yang dimaksud Sartre dalam frasanya yang terkenal, ekstrim, dan radikal: Manusia dikutuk untuk bebas.
 “Human reality is free, basically and completely free.’ (Being and Nothingness, hal 479)
Kebebasan adalah eksistensi manusia. Tanpa kebebasan, eksistensi manusia hanya sesuatu yang absurd. Tanpa kebebasan maka manusia hanya akan mempunya esensi semata.
Sartre membagi realitas menjadi dua. Yaitu Facticity dan Transenden. Transenden adalah kemungkinan-kemungkinan, atau kreatifitas dari being dalam bentuk harapan untuk masa depannya. Sedangkah Facticity atau faktisitas adalah fakta tentang Being yang tidak bisa dihilangkan. Faktisitas bisa dilupakan untuk sementara waktu, ditepikan, dan dihindari, namun tetap tidak bisa ditiadakan. Ada lima hal faktisitas menurut Sartre, yaitu: (1) Tempat yang kita huni (2) Masa lalu (3) Lingkungan sekitar (4) kenyataan tentang adanya sesama manusia dengan eksistensi yang sama (5) kematian. Meskipun tidak dapat ditiadakan, bukan berarti hal tersebut mengikat manusia dan membatasi kebebasannya. Dalam faktisitas-faktisitas tersebut, manusia masih bisa menentukan pilihan. Misalkan lingkungan sekitar. Manusia tidak dapat meniadakan adanya benda-benda di sekelilingnya. Namun makna dari keberadaan benda-benda tersebut tetap bergantung kepada cara manusia memaknainya. Lain halnya dengan kematian. Bagi Sartre, kematian bukan lagi bagian dari eksistensi. Kematian adalah batas bagi kebebasan mutlak, tetapi kematian berada di luar eksistensi tersebut. Karena ketika kematian datang, maka secara otomatis eksistensi sudah tidak ada. Akan tetapi selama manusia masih merupakan eksistensi, maka kebebasan yang mutlak tidak dapat disangkal, betapapun kefaktaan melekat pada eksistensinya, sebab ia tetap bebas untuk mengolak kefaktaan itu dalam kebebasannya sendiri serta atas tanggung jawabnya sendiri pula (Berkenalan Dengan Eksistensialisme, hal. 131.).
Tantangan terberat bagi eksistensi seseorang adalah eksistensi orang lain. Dalam hal ini Sartre memaksudkan bahwa dalam hubungan antar subyektifitas selalu berupa konflik. Dimana keduanya saling menempatkan yang lain sebagai obyek. Ketika ‘aku’ bertemu dengan orang lain, maka secara otomatis aku akan melihat orang lain sebagai obyek yang menyusun dunianya sendiri. Kehadiran orang lain dalam kawasan mata aku membuat berkurangnya penghayatan aku terhadap dunia yang kudiami karena sejak saat itu bukan hanya aku yang mendiami dunia, tetapi orang lain juga. Contoh nyatanya adalah timbulnya ‘rasa malu’ pada seseorang. Aku hanya bisa merasakan malu apabila ia berada di dalam pandangan orang lain. Dimana Aku merasa dijadikan obyek bagi orang lain. Hadirnya orang lain dalam dunia aku, dapat mengubah eksistensi aku. Dalam bukunya ‘No Exit’, Sartre menyebutkan: ‘Hell is othe people.’. Dengan begitu, Sartre berpendapat bahwa cinta yang tulus tanpa pamrih, tanpa keingin menempatkan yang lain sebagai obyek, adalah tidak mungkin.

Paramitha Wardhani
1006692133
Sumber: Berkenalan dengan eksistensialisme oleh Fuad Hassan, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 oleh Harun Hadiwijono, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia oleh Dr. P.A. van der Weij, Fotocopyan Eksistensialisme