Kamis, Juli 26, 2012

Puisi Yang Menggenapi


Suatu malam yang terlalu dingin, saya dikejutkan oleh sebuah twit, yang mengaku tersentuh dengan tulisan-tulisan di blog ini. 'Tersentuh' itu tampaknya term yang berlebihan ya. Lalu apa? Entahlah.
Singkatnya, si pengirim twit, bela-belain membuat satu puisi yang konon katanya sebagai puisi yang menggenapi puisi-puisi saya yang ada di bagian 'Tentang Aku dan Kamu'. Dan penciptanya juga meminta supaya saya memposting puisi itu di label yang sama. Namun rasanya kok puisi ini terlalu berat ditaruh di label itu. Jadi saya memutuskan untuk memindahkan ke label lain. Mau saya labelin apa, ngomong-ngomong? Entahlah. Saya juga bingung. 

Nah, si pengirim twit mengaku ini adalah puisi bertema eksistensialisme. Tentang kegundahan si penulis akan dirinya sendiri. Saya juga merasa begitu. Namun apakah puisi ini hanya bertemakan eksistensialisme? Entahlah juga. Bukankah puisi memang selalu ambigu dan rancu? Jika bingung, cobalah buka tulisan saya yang berjudul 'Tentang Aku dan Kamu', katanya puisi ini berawal darisana. Dan cobalah renungkan, apakah ada kaitannya.
Jadi, silakan dibaca, persoalan penafsiran ganda, tidak masalah. Itu urusan pembaca dan Tuhan yang maha Esa. 



PUISI YANG MENGGENAPI

Kamu boleh saja dapati aku di mulut si pendusta atau rapalan doa si pemuja
Dibedaki oleh si penyair
Dijadikan guyonan oleh si satir

Merangkak dalam lamunan nasib tukang becak
Matanya bertumpu pada atap-atap gedung tukang injak
Menggerogoti layar-layar pesakitan
Berdengung dalam firman tuhan dan setan dan alasan dan kesakitan dan buruan dan ketakutan dan taman-taman para biduan surga melepas pakaian perlahan

Aku hanya kata “jadilah terang!” maka jadilah, katanya
Kamu bisa bunuh siapapun kecuali aku
Padahal aku hanya kata

Tiada beda siapa yang cipta aku
Tiada beda aku terlahir dari si pecundang atau si pelontar peluru
Sebab aku hanyalah kata yang tidak tidur
Dan tidak pula kabur

Serumit-sederhana telur mata sapi, aku menggenapi
Lebih miskin dari para fakir, jika begitu aku lebih kaya dari para kikir
Lebih pintar dari ahli pikir, jika begitu aku lebih jauh berjalan daripada musafir

Bila kamu coba kejar aku dengan pemahamanmu dan akhirnya kau lelah,
Maka bersandarlah pada akar-akar besarku
Bila kamu duduk di antara akarku dan menunggu jatuhnya apel,
Namun ternyata aku menjatuhkan sepotong kalimat cinta yang tak lengkap tepat di ubun-ubun kepalamu
Lihatlah ke atas, niscaya kamu temukan ujung-ujungnya
Jangan kecewa

Kamu,
Ya, kamu yang kecil lagi tak diperhitungkan
Berhentilah sesunggukan
Berhentilah memikirkan
Berhentilah, maka kamu akan menemukan

Ah, siapalah aku?
Hanya puisi, himpunan logika tulisan dan bisikan isi hati
Hanya kata, yang bisa dituturkan agar kekasihmu tak pergi

Hanya tipu muslihat agar kamu terlihat kuat
Hanya cahaya di tangan anak yang berdendang riang di atas kerbau milik alamnya
Hanya cinta sederhana yang dibidani pujangga
Hanya keberanian untuk hidup dan nafas bagi Chairil yang ingin hidup seribu tahun lagi
Hanya apapun di luar yang kamu pikir

Aku bisa memperkaya
Aku bisa memperdaya
Aku ingin kembali pada diriku
Namun diriku ada dalam dirimu

Akulah si puisi
Yang kabarnya bisa bikin kamu lebih mati daripada ditembus pelor senjata api
Akulah si puisi yang konon tak bisa mati
Namun, hingga tulisan ini di akhiri olehmu
Aku belum memutuskan siapa aku

Tapi bolehlah aku berdusta jika malam ini
Dan malam-malam berikutnya sejak kamu, adik, selesai membaca tulisan ini.
Aku sudah dan selalu tertidur bersamamu. Menggenapi


oleh@zisfauzi