Jumat, September 06, 2013

Pertanyaan Untuk Masa Depan



Aku selalu bertanya-tanya, apa salahnya berimajinasi?
Aku tak menemukan dosanya orang berimajinasi, bahkan sampai yang paling tidak masuk akalpun? Lagipula seberat-beratnya imajinasi, hanya akan berefek pada diriku sendiri. Misalnya, aku jadi lupa waktu, aku lupa makan, aku lupa dunia (yang katanya) nyata, dan aku tersesat dalam imajinasiku. Tapi kan aku tidak merugikan siapapun, yah, selain ibu-ibu warteg yang tidak lagi kukunjungi karena aku sibuk berimajinasi. Tapi tetap saja, tidak ada pasal-pasal dalam undang-undang yang mampu menghukum sesuatu yang hanya ada dalam pikiranku. Aku yakin, karena aku telah mempelajarinya selama 4 bulan. Aku aman. Imajinasiku kebal hukum. 

Aku suka membayangkan segala sesuatu. Termasuk apa yang kira-kira akan terjadi dua menit ke depan. Apa aku masih hidup? Apa aku masih bernapas? Ataukah aku mati? Jika aku mati, kira-kira karena apa? Dan bagaimana reaksi keluargaku ketika aku mati? Berapa lama aku akan hidup, ngomong-ngomong? Aku tidak mau hidup yang sebentar. Juga hidup yang terlalu lama. Yang sedang-sedang saja. Yang penting aku harus melakukan segala hal yang kuinginkan sebelum aku mati dan melepaskan semuanya. 

Aku selalu membayangkan bagaimana kehidupanku nanti. Sekarang aku masih enak-enakan hidup di kota besar, dengan tugas yang hanya satu: belajar. Hidupku sudah ditentukan. Jam sekian sampai jam sekian aku harus ke kampus untuk menyimak kuliah yang terkadang asik terkadang membosankan. Jam sekian aku harus sudah berada di kos, sebelum Ibu kosku yang galak mengunci pintu dan membiarkanku tidur di luar sampai pagi. Akhir pekan aku harus mencuci bajuku yang sudah seperti gununga Himalaya, dan mengepel kamarku agar tuntutan lingkungan sehat dari menteri kesehatan terpenuhi. Sesekali aku juga memasak jika aku bosan dengan masakan ibu warteg yang itu-itu saja dan sering keasinan untuk lidah jawa ku yang kental. Setelah semua beres, aku bisa jalan-jalan melepas penat setelah lima hari sebelumnya berkutat dengn buku-buku. Biasanya aku ke toko buku. Memborong beberapa buku secukup sisa uang bulanan dari orang tua. Lalu aku akan menghabiskan dua sampai tiga jam untuk duduk di sebuah kafe yang menjual donat dan kopi bohong-bohongan. Kubeli dua potong donat dan secangkir kopi, kuhabiskan perlahan demi wifi gratis. Persis seperti iklan kartu perdana di televise. 

Sejak tingkat tiga kuliahku, aku seperti kehilangan hasrat untuk membentuk peer-grup. Aku tak lagi berminat nongkrong-nongkrong dengan temanku, menghabisan sisa uang bulanan dengan wisata kuliner atau cuci mata di mall yang berjejeran seperti jamur panu. Entah kenapa, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan diriku sendiri. Ketika kuceritakan pada temanku yang mengambil jurusan psikologi, tentang keenggananku untuk berinteraksi dengan orang lain, temanku itu hanya ternganga. Baginya, aku ini aneh sekali. Katanya aku ramah dan asik untuk diajak hang out. Dia tak menyangka sebenarnya aku hanya basa-basi saja melakukan itu semua. Aku hanyalah orang yang kesulitan berkata tidak ketika temanku mengajak jalan. Namun sebenarnya, aku lebih suka menghabiskan waktu dan uang dengan diriku sendiri. 

Kehidupan masa kuliahku benar-benar aman. Tidak ada gejolak apapun. Uang bulanan yang cukup, tugas-tugas yang terselesaikan, jam-jam yang telah tertata rapi setiap harinya. Aku tak perlu risau memikirkan harus apa jam sekian dan harus apa jam sekian. Aku cukup menjalankan jadwal-jadwal yang telah dipersiapkan. 

Tidakkah itu menyenangkan? Aku hanya tinggal menjalani saja yang sudah diaturkan. Tidak perlu memutuskan sendiri. Tidak perlu memikirkan sendiri. Jikalau ada resiko atas yang kulakukan, toh, itu bukan salahku. Aku hanya melakukan yang seharusnya kulakukan. 

Bandingkan jika aku sudah lulus nanti. Tidak ada jadwal kuliah, tidak ada aturan-aturan untukku karena aku dianggap sepenuhnya dewasa. Lantas aku harus memutuskan sendiri hidupku selanjutnya. Apa yang harus kulakukan untuk melanjutkan hidupku. Tidak mungkin aku terus-terusan bergantung kepada uang bulanan orang tuaku bukan? Bahkan begitu lulus, namaku juga akan tercoret dari daftar askes orang tuaku yang pegawai negeri. Aku harus mencari askesku sendiri. 

Bagaimana aku mencari askesku? Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku bekerja yang sesuai dengan minatku dengan gaji kecil yang akan habis hanya di pertengahan bulan? Ataukah aku harus mencari pekerjaan besar, dengan gaji yang mampu membiayaiku ke luar negeri setiap bulan, namun tidak sesuai dengan minatku? Lalu aku akan menambah daftar orang yang meninggal akibat stroke dan serangan jantung akibat stress berkepanjangan. Semua itu, aku yang akan memutuskan. Tidakkah itu mengerikan? Tidak ada orang lain yang bisa campur tangan dengan hidupku. Apa yang terjadi, apa yang kulakukan, berasal dari diriku sendiri. Katanya, aku bebas. Bebas untuk terus membiarkan diriku bebas maupun bebas untuk membiarkan diriku kembali menjadi robot dalam rutinitas. 

Jika aku memilih untuk (katanya) bebas, aku akan bekerja sesuai dengan minatku. Mungkin di sebuah penerbitan kecil dengan gaji tak seberapa, hanya hanya mampu menyewa kamar kos kecil dengan kamar mandi di luar. Tidak ada anggaran untuk ke luar negeri.

Aku tahu, orang-orang memandang hidupku seperti rutinitas membosankan. Seperti robot yang tak punya kebebasan. Apalagi bagi orang-orang yang memuja kebebasan dan menghujat orang-orang takut susah yang bersembunyi di balik tembok rutinitas yang nyaman. Stasiun tivi berlomba-lomba menayangkan pekerjaan alternative bagai para pegawai yang bosan dengan rutinitasnya. Juga dengan petualangan-petualangan liar di alam-alam bebas. Mereka semua mencari kebebasan. Betapa kebebasan begitu didewakan dan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, yang pantas diperjuangkan dan dicari. 

Namun di usiaku yang masih belia ini, aku hanya bertanya-tanya, apa itu kebebasan? Adakah kebebasan? Jika ada, mungkinkah manusia, aku, kita, mencapainya? Dan jika sudah tercapai, apakah itu berlaku permanen atau temporer? Dan jika permanen, tidakkah yang permanen itu juga membosankan? Mungkinkah suatu saat nanti para pemuja kebebasan merasa jenuh dengan kebebasannya dan mencari rutinitas? Lantas apa bedanya kebebasan dan rutinitas?

Tak perlu kau jawab. Seperti biasa, aku hanya meracau.