Jumat, Mei 25, 2012

Bercinta, secara tidak ilmiah


Cinta itu, sayang, percaya, atau nyaman?


Itu adalah pertanyaan yang tiba-tiba saja diajukan kepada saya, di suatu malam dimana hujan sedang mengamuk dan atap kosan yang terbuat dari asbes berderit-derit mengharukan. Lihat, bahkan alam pun mendukung pembicaraan cinta ini. Benar, cinta itu mengharukan. Membicarakan cinta, seperi membicarakan udara. Tidak akan berhenti sampai manusia mati dan tidak lagi membutuhkan udara. Tidak bisa menyalahkan juga, jika lagu-lagu dan novel-novel banyak yang membicarakan tentang cinta, karena cinta adalah tema yang tidak pernah terpatok era ataupun wilayah. Mungkin cinta itu trasenden, terlepas dari kategori 'space' and 'time'. Sebelumnya, mari kita perjelas dahulu, bahwa walaupun memasukkan unsur-unsur ilmiah, namun tulisan ini tetap tidak bisa diterakan metode verivikasi ataupun falsifikasi. Ini memang bukan tulisan ilmiah. Semi ilmiah pun bukan. Ini hanya sekedar refleksi atas kejenuhan mengerjakan tugas, yang mengundang kegalauan. Seorang teman pernah berkata, bahwa kegalauan adalah sumber kreativitas. Bukankah itu juga yang membuat para filosof eksistensialis mendadak terkenal dan masuk ke dalam berbagai buku sejarah? Mari berpikir ulang bagi mereka-mereka yang selalu menerakan makna peyoratif pada kata galau. Namun, mari sejenak kita melupakan logika, karena pembicaraan ini tentang cinta, maka saya akan mendukung sebuah frasa yang saya buat sendiri, namun sangat-sangat terinspirasi oleh Nietzsche
'Rasionalitas sedang pingsan, saatnya Irrasionalitas berjaya!'
Baik, ini memang sebuah pembelaan atas sebuah karya yang belum pasti. Lalu kenapa?


Baiklah, sebelum melebar kemana-mana, mari kita 'bercinta' secara tidak ilmiah. 

Cinta  terlepas dari kategori 'Space' dan 'Time' , kenapa? Karena saya setuju dengan pendapat Gabriel Marcel, bahwa cinta itu dasarnya adalah fidelity. Dalam cinta, kehadiran secara harafiah tidak lagi diperlukan, ketika perjumpaan telah dilewati, maka kedua subyek dalah cinta itu telag menghadirkan dirinya kepada subyek yang lain dengan cara yang berlainan. Cinta mengatasi dunia, karena sifatnya yang membangkitkan. Seseorang mencintai yang sudah mati, itu bukan sesuatu yang patut dipertanyakan. Seseorang mencintai orang yang tidak pernah ditemuinya di dunia nyata selain di layar laptop atau di siaran-siaran televisi, itu juga tidak perlu dipertanyakan. Bukankah sudah jelas? Fidelity atau kesetiaan subyek akan subyek lain, adalah sebuah jaminan atau labirin kehidupan bagi cinta. Ketika subyek I mempertahankan cintanya untuk subyek II yang sudah mati, bukankah cinta telah mengatasi dunia? Tidak ada harapan yang diharapkan oleh si Subyek I atas Subyek II yang sifatnya materi.

Oke oke, pembicaraan tentang cinta yang mengatasi dunia dan waktu ini memang sedikit utopis. Karena Sartre mengatakan bahwa karena pada dasarnya Subyek I adalah predator bagi Subyek II, dan keduanya slaing mengobyekan, maka suatu cinta yang tulus tanpa harapan apapun, yang saling memandang antara subyek dengan subyek, bukan subyek dengan obyek, adalah tidak mungkin. Namun apa salahnya mengharap-harap sesuatu yang utopis? Justru karena utopis itulah dia menjadi diharapkan. Bukankah manusia memang suka mengharapkan yang tidak mungkin? Namun selama manusia masih mampu memikirkannya, adakah yang tidak mungkin itu?

Semakin melebar, baiklah. 

Jadi, cinta itu nyaman, sayang, atau percaya?

Jawaban saya: Bukan ketiganya. 

Jika cinta itu adalah  nyaman, maka tujuannya bisa begitu melebar. Perasaan nyaman, bisa terjadi karena faktor apa saja juga kepada siapa saja. Kenyamanan ini begitu terbatas pada kategori space and time. Saya bisa merasa nyaman TIDAK HANYA dengan orang yang saya cintai, tetapi dengan siapapun yang saya SUKAI. Saya nyaman bicara dengan orang yang mengerti dengan apa yang saya bicarakan, saya nyaman berada di samping orang yang seleranya sama, saya nyaman berada di dekat orang yang ramah dan humoris, saya nyaman berada bersama SIAPAPUN asalkan suasana hati saya sedang bagus. Namun saya juga bisa merasa TIDAK NYAMAN dengan SIAPAPUN saat suasana hati saya sedang tidak menyenangkan. 

Jika cinta itu sayang,... bukan. Cinta bukan sayang. Ini memang menyalahi hukum logika nomor sekian, dengan mengatakan bahwa cinta bukan sayang tanpa bisa menjelaskan alasannya. Tidak ada alasan, hanya saja saya merasa sayang berada setingkat di atas cinta. Mungkin sayang itu analog dengan cinta platonis, dimana tidak ada keingin untuk memiliki. Tapi yang paling penting, sayang bisa kepada siapa saja. Entahlah, saya sedang bicara apa. Tapi cinta itu bukan sayang.

Nah, jika cinta itu percaya, apa gunanya Descartes mengagung-agungkan rasio manusia sebagai yang paling utama? Karena bukankah cinta itu sendiri tidak selalu percaya? Jika Subyek I selalu percaya dengan Subyek II atau sebaliknya, maka dimana rasio subyek I? Itu bukan cinta, tetapi sekedar ketergantungan yang mungkin dalam istilah Sartre disebut dengan Bad Faith. Ketika cinta itu adalah percaya, maka cinta tidak bisa lagi didiskusikan. Inilah yang membuatnya, menurut Habermas, menjadi rawan distorsi. Cinta itu melibatkan dua Subyek, yang masing-masing memiliki rasio, yang pastinya berbeda. Percaya, secara tidak tertulis bisa menghancurkan dua rasio itu sendiri. Dan pikirkan hal ini, pengkaitan cinta dengan percaya, bukankah menutupi makna dibaliknya, bahwa Subyek yang menyerahkan kepercayaannya kepada subyek yang dicintainya itu, sebenarnya sedang mencoba berlari dari ketakutannya sendiri, mencoba menghindari kemungkinan terburuk yang sebenarnya telah dia pikirkan. Dengan dalih 'percaya' ia mencoba membuang segala ketakutan-ketakutannya, karena apabila ketakutan itu terjadi maka dia akan kehilangan pegangan. Maka selama ia masih membutuhkan cinta itu, maka selama itulah topeng percaya sedang ia kenakan.
Tapi tidak seperti itu. Cinta itu bukan sekedar percaya, cinta itu harus dipertanyakan.


Lalu cinta itu apa? 


Cinta itu sifatnya sintetis apriori. Konsep cinta ada di dalam kepala manusia sejak zaman Yunani kuno hingga abad kontemporer, namun cinta baru akan terepresentasikan ketika bertemu dengan obyek di dunia nyata. Cinta hanya akan menjadi konsep yang mengawang-ngawang di rasio individu sebelum individu itu menemukan individu lain yang bisa merepresentasikan 'konsep' cinta itu. 


Disinilah masalahnya. Menurut saya pribadi, cinta itu kalau dalam kamus Immanuel Kant sifatnya Das Ding An Sich. Apa itu cinta yang sebenarnya tidak bisa diketahui, karena setiap kaca mata merah yang melihatnya, melihatnya secara berbeda. Cinta adalah nomena, dan yang kita diskusikan berparagraf-paragfar di atas tadi hanya sekedar fenomena. Setiap rasio yang mampu bicara, berhak mengatakan apapun tentang cinta. Definisi tentang cinta, tidak bisa dibekukan dalam kamus besar bahasa Indonesia atau kamus besar Oxford. Definisi tentang cinta telah ada di dalam rasio manusia, seperti ide bawaan, yang artinya tidak selalu sama. Tidak ada definisi tentang cinta yang salah, karena cinta itu Das Ding An Sich.

Saya pribadi, yah, karena cinta itu das ding an sich, dan konsep cinta dalam kepala saya belum bertemu dengan representasinya, maka saya tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana: Cinta Itu Apa?

Dan saya juga belum yakin, bahwa cinta itu ada ataukah hanya sekedar mimpi-mimpi utopis yang sifatnya kolektif. Saya juga tidak tahu apakah cinta itu benar-benar ada ataukah hanya sekedar bahasa penghalus dari hasrat menguasai seperti yang dikatakan oleh Nietzsche.

Namun kali ini untuk menyenangkan para penyair, saya memilih mengatakan: Biar waktu yang menjawabnya.





Semalam aku bertemu peri. Kecil sekali. Mungkin hanya sebesar jari kelingkingmu. Rambutnya berwarna perak, beriap-riap menutupi sebagian wajahnya, dipermainkan angin yang entah berasa darimana. Tubuhnya mungil, dengan sepasang sayap kecil yang mencuat dari balik punggungnya. Walau dia kecil, tentulah aku masih bisa melihat dengan jelas perawakannya. Dibalut sebuah gaun berwarna hijau keemasan sebatas lutut menampakkan kulitnya yang terang benderang seperti disorot lampu yang juga entah berasal dari mana. Namun jangan membayangkan wajahnya cantik jelita. Wajah itu adalah wajah terburuk yang pernah kutemui. Matanya menyipit bagai mata ular, tidak berwarna hitam tapi kuning. Hidungnya mungil dan meruncing seperti jarum di ujungnya. Bibirnya seperti moncong, mengeluarkan suara-suara yang mengerikan. Dan percayakah kau, ada sepasang tanduk menyala di kepalanya, menyembul dari balik rambut indah keperakannya. Sayapnya yang dari jauh terlihat indah berwarna-warni, sebenarnya malah bolong-nolong. Seperti bekas terbakar.
Sayangku, aku baru tahu bahwa peri tidak secantik seperti yang sering di gambarkan dalam dongeng-dongeng. Namun aku yakin yang kutemui semalam adalah peri. Kenapa aku bisa yakin? Karena dia sendiri yang menyebut dirinya peri. Aku tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Sudahlah, kali ini aku ingin mempercayainya. Begitu saja.
Peri buruk rupa itu turun dari langit yang mendung lalu menempel di kaca jendela kamarku. Hidungnya yang runcing seperti bengkok ketika menekan permukaan kaca. Mulutnya mengoceh, menggumankan entah apa. Lalu tanpa permisi dia masuk ke dalam kamar melalui jendela yang terbukan sedikit, dan melayang tiga puluh senti dari ujung hidungku. Aku nyaris menyebutnya hantu kalau dia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai peri. Bagaimana aku bisa mengerti bahasanya? Entahlah. Mungkin aku mengerti secara begitu saja. Terkadang kita mengetahui sesuatu tanpa kesadaran bukan?
Peri itu, walaupun buruk rupa, tetapi tidak berniat jahat kepadaku, sayang, jangan khawatir. Dia hanya ingin mengajukan pertanyaan, begitu katanya. Meski terheran-heran, aku mengangguk juga dan mempersilahkan dia mengajukan pertanyaannya. Bisakah kau menduga-duga pertanyaan macam apa yang akan diajukan seorang peri yang datang jauh-jauh dari negerinya, entah apa namanya aku tidak bisa mengejanya, malam-malam, menabrak jendela kamar hingga hidungnya bengkok, kepadaku? Aku sama sekali tidak bisa menduganya.
Sebelum bertanya, peri itu melantunkan sesuatu yang terdengar seperti lagu. Suaranya menyayat, melengking sedih sampai aku khawatir orang-orang di luar kamarku akan mendengarnya. Namun peri itu tidak tampak cemas.
Lalu dengan matanya yang hanya seperti garis berwarna kuning dia menatapku. Kelihatan seperti sedang menyipit, walau tampak sama saja. Mungkin dia sedang mempertimbangkan ulang apakah aku cukup bisa dipercaya, untuk mendengarkan kata-katanya atau tidak. Aku sedikit berharap dia tidak mempercayaiku. Sebenarnya, aku kurang mempercayai diriku sendiri.
Lalu apa yang terjadi setelah dia menyanyi dan mempertimbangkan ulang kapabilitasku sebagai narasumber pertanyaannya? Dia menangis, sayang. Benar, dia menangis. Air matanya berupa titik-titik perak berkilauan menuruni pipinya yang mungil, lalu jatuh mengenau ujung kakiku. Namun aku tidak merasakan apa-apa, karena air mata itu terlampau kecil untuk bisa kurasakan.
Aku bertanya mengapa dia menangis, tetapi dia malah menghardikku galak. ‘Kau pikir kau tahu siapa dirimu, manusia?!’ Dengan jarinya yang runcing dia menuding tepat di depan mataku. Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Tentu saja aku tahu siapa diriku. Pertanyaan macam apa itu?
Dia buru-buru menggoyangkan tangannya ketika aku menjawab bahwa aku tahu siapa diriku.
‘Tahukah kau darimana asalmu? Untuk apa kau ada di dunia ini? Dan apa yang kau cari di dunia ini? Dan apa yang akan terjadi dua menit ke depan? Dan kapan kau akan mati serta dengan cara apa? Pernahkah kau bertanya-tanya kenapa kau dilahirkan? Pernahkan kau mencoba menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini? Tidak, tidak. Kau tidak pernah, manusia. Kau hanya menjalani hidup sebagai rutinitas tanpa pernah mengetahui apa maknanya. Benar kan yang kukatakan? Ah ya, tentu saja. Apa yang bisa kuharapkan dari manusia?’
Lalu dia mendengus keras, merentangkan sayapnya, lalu melesat terbang keluar jendela, meninggalkanku yang masih duduk bersila seperti sebelumnya, mencoba memahami pertanyaan-pertanyaan yang baru saja kuterima.
Sayangku, kurasa kau benar, aku sudah mulai gila.