Jumat, Mei 25, 2012


Semalam aku bertemu peri. Kecil sekali. Mungkin hanya sebesar jari kelingkingmu. Rambutnya berwarna perak, beriap-riap menutupi sebagian wajahnya, dipermainkan angin yang entah berasa darimana. Tubuhnya mungil, dengan sepasang sayap kecil yang mencuat dari balik punggungnya. Walau dia kecil, tentulah aku masih bisa melihat dengan jelas perawakannya. Dibalut sebuah gaun berwarna hijau keemasan sebatas lutut menampakkan kulitnya yang terang benderang seperti disorot lampu yang juga entah berasal dari mana. Namun jangan membayangkan wajahnya cantik jelita. Wajah itu adalah wajah terburuk yang pernah kutemui. Matanya menyipit bagai mata ular, tidak berwarna hitam tapi kuning. Hidungnya mungil dan meruncing seperti jarum di ujungnya. Bibirnya seperti moncong, mengeluarkan suara-suara yang mengerikan. Dan percayakah kau, ada sepasang tanduk menyala di kepalanya, menyembul dari balik rambut indah keperakannya. Sayapnya yang dari jauh terlihat indah berwarna-warni, sebenarnya malah bolong-nolong. Seperti bekas terbakar.
Sayangku, aku baru tahu bahwa peri tidak secantik seperti yang sering di gambarkan dalam dongeng-dongeng. Namun aku yakin yang kutemui semalam adalah peri. Kenapa aku bisa yakin? Karena dia sendiri yang menyebut dirinya peri. Aku tidak punya pilihan lain selain mempercayainya. Sudahlah, kali ini aku ingin mempercayainya. Begitu saja.
Peri buruk rupa itu turun dari langit yang mendung lalu menempel di kaca jendela kamarku. Hidungnya yang runcing seperti bengkok ketika menekan permukaan kaca. Mulutnya mengoceh, menggumankan entah apa. Lalu tanpa permisi dia masuk ke dalam kamar melalui jendela yang terbukan sedikit, dan melayang tiga puluh senti dari ujung hidungku. Aku nyaris menyebutnya hantu kalau dia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai peri. Bagaimana aku bisa mengerti bahasanya? Entahlah. Mungkin aku mengerti secara begitu saja. Terkadang kita mengetahui sesuatu tanpa kesadaran bukan?
Peri itu, walaupun buruk rupa, tetapi tidak berniat jahat kepadaku, sayang, jangan khawatir. Dia hanya ingin mengajukan pertanyaan, begitu katanya. Meski terheran-heran, aku mengangguk juga dan mempersilahkan dia mengajukan pertanyaannya. Bisakah kau menduga-duga pertanyaan macam apa yang akan diajukan seorang peri yang datang jauh-jauh dari negerinya, entah apa namanya aku tidak bisa mengejanya, malam-malam, menabrak jendela kamar hingga hidungnya bengkok, kepadaku? Aku sama sekali tidak bisa menduganya.
Sebelum bertanya, peri itu melantunkan sesuatu yang terdengar seperti lagu. Suaranya menyayat, melengking sedih sampai aku khawatir orang-orang di luar kamarku akan mendengarnya. Namun peri itu tidak tampak cemas.
Lalu dengan matanya yang hanya seperti garis berwarna kuning dia menatapku. Kelihatan seperti sedang menyipit, walau tampak sama saja. Mungkin dia sedang mempertimbangkan ulang apakah aku cukup bisa dipercaya, untuk mendengarkan kata-katanya atau tidak. Aku sedikit berharap dia tidak mempercayaiku. Sebenarnya, aku kurang mempercayai diriku sendiri.
Lalu apa yang terjadi setelah dia menyanyi dan mempertimbangkan ulang kapabilitasku sebagai narasumber pertanyaannya? Dia menangis, sayang. Benar, dia menangis. Air matanya berupa titik-titik perak berkilauan menuruni pipinya yang mungil, lalu jatuh mengenau ujung kakiku. Namun aku tidak merasakan apa-apa, karena air mata itu terlampau kecil untuk bisa kurasakan.
Aku bertanya mengapa dia menangis, tetapi dia malah menghardikku galak. ‘Kau pikir kau tahu siapa dirimu, manusia?!’ Dengan jarinya yang runcing dia menuding tepat di depan mataku. Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Tentu saja aku tahu siapa diriku. Pertanyaan macam apa itu?
Dia buru-buru menggoyangkan tangannya ketika aku menjawab bahwa aku tahu siapa diriku.
‘Tahukah kau darimana asalmu? Untuk apa kau ada di dunia ini? Dan apa yang kau cari di dunia ini? Dan apa yang akan terjadi dua menit ke depan? Dan kapan kau akan mati serta dengan cara apa? Pernahkah kau bertanya-tanya kenapa kau dilahirkan? Pernahkan kau mencoba menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini? Tidak, tidak. Kau tidak pernah, manusia. Kau hanya menjalani hidup sebagai rutinitas tanpa pernah mengetahui apa maknanya. Benar kan yang kukatakan? Ah ya, tentu saja. Apa yang bisa kuharapkan dari manusia?’
Lalu dia mendengus keras, merentangkan sayapnya, lalu melesat terbang keluar jendela, meninggalkanku yang masih duduk bersila seperti sebelumnya, mencoba memahami pertanyaan-pertanyaan yang baru saja kuterima.
Sayangku, kurasa kau benar, aku sudah mulai gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar