Rabu, Desember 07, 2011

Sampah yang BUKAN Sampah


Malam ini, lagi-lagi, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu, sayang. Jangan bosan, jangan pula buru-buru mengantuk. Simaklah baik-baik, walau ini hanya racauan seperti biasa. Tapi, kenapa pula racauan itu tidak pantas disimak? Terkadang racauan orang-orang di warung kopi jauh lebih berharga untuk disimak daripada pidato politik di layar televise dengan latar gedung pencakar langit. Terkadang racauan para pengamen di stasiun lebih berharga disimak daripada kuliah berjam-berjam di ruangan ber-AC. Bukankah begitu, sayangku?
Hari ini aku sungguh tersinggung, sayang. Ada yang menyinggung sesuatu yang kusukai. Mungkin perasaan tersinggung itu tidak masuk akal, tapi yah, itulah yang terjadi.
Simaklah ceritaku ini, sayangku, lalu berikan komentarmu. Apa yang kau rasakan, saat kau sedang asyik-asyik membaca buku, lalu seseorang datang, melihat buku yang kau baca, kemudian menatapmu dengan pandangan heran, dan berkata dengan nada mencela seolah-olah kamu sedang menggenggam sampah, yang dalam hal ini berarti sedang membaca sampah? Atau, bagaimana jika seorang teman melihatmu bersamaku, dan seseorang itu mengatakan bahwa aku bukan sosok yang pantas untukmu, dan membuatmu terlihat seolah-olah begitu bodoh karena bersama seseorang yang mereka bilang sampah? Atau bagaimana jika ada seseorang membuka file D di komputermu, mengklik folder ‘Movie’ dan berdecak mencela lalu mengatakan bahwa film-film yang kau tonton adalah film sampah? Masih banyak contoh yang lain, sayang, tapi aku tidak akan membuatmu lebih pusing lagi.
Inti dari racauan kegamanganku mala mini adalah itu, sebuah rangkaian huruf yang bila dibaca akan berbunyi ‘Sampah’. S-A-M-P-A-H. Sampah.
Bagaimana cara mendefinisikannya? Sampah, maksudku. Pertama-tama, mari kita pasang atribut-atributnya. Sisa, tidak terpakai, tidak berguna, menjijikkan, kotor, dan sebutkan lagi yang lainnya. Bagaimana jika dari sini aku menyimpulkan bahwa term sampah, berarti sebagai sesuatu yang tidak berguna, yang tidak worthed untuk dikenai suatu tindakan.
Jangan, jangan bosan dahulu. Ceritaku masih panjang. Kalau kau benar-benar mengantuk, sayangku, kau boleh mengambil cangkir dan menyeduh kopi, lalu kembalilah kesini untuk menyimak kelanjutan racauanku. Pokoknya jangan beranjak untuk tidur.
Begini saja, supaya kau tidak bingung dan bosan, aku akan memperkecil ruang lingkup racauanku. Aku akan membicarakan tentang buku saja. Tentang cinta dan film-film itu bisa sepenuhnya kau abaikan.
Mari, kuceritakan sesuatu. Disana, di sudut kamarku, ada sebuah rak kayu dua ruang berwarna biru tua yang berisi benda-benda kesayanganku. Buku. Dan hanya kepadamu saja kuceritakan ya, bahwa buku-buku yang ada disana itu, KEMUNGKINAN akan dianggap ‘sampah’ jika dilihat oleh teman-temanku. Nah, permasalahannya adalah, banyak orang yang menyebut buku yang menurutnya tidak layak dia baca, tidak memberikan manfaat, dan tidak berguna sebagai bacaan sampah. Apa definisi sampah disini, sayang? Masihkah sama dengan definisi yang kusimpulkan sendiri tadi? Entahlah. Intinya adalah, bagaimana seseorang itu mengatakan sesuatu adalah sampah, selama ada orang lain yang mengkonsumsinya sebagai sesuatu yang menarik dan berguna?
Oh, buku yang ‘sampah’ itu memang ada. Menurutku buku-buku yang tidak layak dibaca dan tidak memberikan manfaat apa-apa itu memang ada. Tapi kalau kau teliti sayang, aku memakai kata ‘menurutku’, yang berarti itu hanya berupa sesuatu yang subyektif. Hal yang subyektif itu selamanya tidak akan sama persis antara satu dengan yang lain. Gampangnya begini, kita adalah individu yang berbeda. Tuhan memberi kita rasio yang berbeda-beda, walaupun intinya kita sama-sama punya rasio. Tuhan memberikan kapasitas otak yang berbeda-beda kepada manusia, dan inilah yang menjelaskan mengapa ada anak yang tanpa belajarpun bisa meraih nilai sembilan koma lima sementara anak yang belajar mati-matian hanya mendapatkan nilai tujun koma nol di ujian matematika. Setiap orang punya selera yang berbeda-beda, itu sudah rahasia umum bukan? Jadi salahkah jika aku menarik kesimpulan bahwa Apa yang kau anggap sampah bisa jadi adalah sesuatu yang bagus dan menarik bagi orang lain. Sebaliknya, apa yang kau anggap bagus dan menarik bisa jadi justru adalah sampah bagi orang lain.
Bukankah itu benar? Mari kita runutkan dari awal, dari definisi ‘sampah’ yang kuberikan tadi, sayang. Sampah sebagai sesuatu yang tidak memberikan manfaat apa-apa kepada kita dan apabila kita repot-repot melakukan sesuatu terhadapnya, itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Nah, ini bisa diterapkan pada sebuah buku. Sekedar bocoran, sayang, mari kuberitahukan, bahwa aku adalah seorang pecinta fiksi remaja, sekaligus seorang mahasiswa filsafat. Betapa ironisnya, ya? Aku menyukai buku-buku filosofis yang berat, yang membutuhkan lima kali baca untuk memahami satu paragraph saja, namun disisi lain aku juga menyukai buku-buku fiksi remaja yang MUNGKIN tidak cocok lagi untuk dikonsumsi oleh orang seumuranku, dan MUNGKIN akan dikatakan ‘sampah’ oleh orang-orang sepertiku. Mungkin juga memang benar buku-buku fiksi remaja itu tidak akan memberikan manfaat yang berhubungan dengan pendidikanku. Tapi buku-buku itu, karena aku menyukainya, bisa bermanfaat untuk menyegarkan otakku setelah aku lelah membaca buku-buku lain yang lebih berbobot. Jadi, buku-buku fiksi remaja itu bukan sampah bagiku, walaupun memang ada diantara mereka yang memang sampah. Nah, kau bisa melihat bedanya bukan? Sesuatu yang menurut orang lain adalah sampah, menurutku bukan sampah, karena aku menyukainya, dan aku mampu menangkap manfaat yang sedang dia coba berikan kepadaku. Dan sebaliknya, sayang, buku-buku filsafat yang berat, yang berbobot, yang menurutku seperti keajaiban karena mampu memberikan pencerahan itu, bisa jadi menjadi sampah bagi orang lain yang tidak menyukai filsafat, dan menganggap itu hanya mmebuang-buang waktu saja untuk mempertanyakan eksisitensi kita, atau untuk menjelaskan apa itu ADA sebagai yang ada, yang tiada, dan yang mungkin ada. Semua ini hanya permasalahan selera, sayang. Hanya permasalahan suka atau tidak suka. Tetapi bisakah kita memberikan kesimpulan bahwa orang yang menyukai buku yang berbobot dan berat memiliki selera yang LEBIH TINGGI daripada orang yang menyukai buku-buku ringan dan santai? Otakku tidak bisa membenarkan itu, sayang, karena, yah, apa patokan universalnya tentang tinggi rendahnya sebuah selera?
Ah, kurasa kau mulai bingung disini. Kurasa kau sudah mulai memutuskan untuk meninggalkaku tidur. Baiklah, toh, racauanku juga nyaris selesai.
Yang ingin kukatakan, sayang, walaupun kita menganggap sesuatu itu tidak berguna, menganggap sesuatu itu sebagai sampah, ada baiknya juga jika kita menyimpan pikiran itu di dalam kepala kita sendiri saja. Tidak perlu lah kita membuat semua orang tahu apa tanggapan kita tentang sesuatu yang kita anggap sampah. Simpanlah pikiran itu untuk dirimu sendiri. Karena seperti kata-kataku tadi  Bahwa Apa yang kau anggap sampah bisa jadi adalah sesuatu yang bagus dan menarik bagi orang lain. Sebaliknya, apa yang kau anggap bagus dan menarik bisa jadi justru adalah sampah bagi orang lain. Bukankah tidak ada ruginya jika kita berusaha menjaga perasaan orang lain?
Tulisan ini, mungkin saja akan kau anggap sebagai sampah, sayang. Yah, apalah arti dari sebuah racauan. Tapi sayangku, simpanlah makian ‘sampah banget!’ itu di pikiranmu saja, sayang. Simpan saja. Aku tidak akan pernah ingin mendengarnya. Karena, kau kan juga tahu, aku hanya memintamu mendengarkan racauanku. Itu saja. Kau tak perlu memikirkannya lebih lanjut, jika kau memang tidak mau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar