Rabu, Oktober 02, 2013

Pernyataan (ber)salah



Aku menyalahkan Tuhan lagi hari ini.

Hariku sudah kacau sejak matahari terbit. Jam wekerku berhenti berbunyi dan membiarkanku tidur pulas hingga tengah hari. Kurasa aku mabuk semalam. Terlalu bersemangat merayakan rencana pernikahan salah satu teman yang terkenal playboy. Pulang ketika orang-orang sedang sholat tahajud dan tidak ingat apa-apa hingga bosku menelfon. Aku dipecat, karena ini sudah ke lima kalinya aku telat. Sialan. Lalu sore harinya, pacarku marah-marah karena aku dipecat. Katanya aku terlalu menyia-nyiakan hidup dan tak serius dengan hubungan kami. Katanya kalau aku serius aku pasti akan serius bekerja demi masa depan kami selanjutnya. Lalu dia memutuskanku. Begitu saja. Bisakah kau bayangkan aku menerima pemecatan dua kali dalam sehari? Seperti jadwal minum antibiotik dari dokter akibat flu berkepanjangan.

Bosku jelas tidak tahu bahwa aku sudah membuang nominal besar di tabunganku yang pasti akan kuperoleh jika aku memilih bekerja di perusahaan mutinasional setahun yang lalu, hanya untuk penerbitan kecil sialan itu. Pacarku juga pasti tidak tahu aku telah membuang pacarku yang dulu demi dirinya. Padahal aku yakin pacarku yang dulu tidak sepenuntut dirinya. Hanya karena aku begitu terlena oleh keindahan pacarku, dan terbutakan oleh hasrat sesaat, lantas aku berpikir bahwa pacarku adalah yang terbaik. Tak apa-apa kalau dia memang memutuskanku. Tapi tak bisakah ia melakukan itu esok hari? Supaya aku bisa mengatasi kesedihanku ini satu persatu? Sekarang bayangkan, temanku yang playboy itu akan segera memasuki jenjang pernikahan, sementara aku yang sangat setia ini justru akan memasuki jenjang kesendirian di usia tiga puluh tahun. Ada di mana keadilan yang katanya diperuntukkan bagi ornag-orang baik sepertiku?

Aku menyalahkan Tuhan atas semuanya. Aku menolak menyalahkan diriku sendiri karena aku adalah makhluk ciptaannya. Aku hanya aktor sementara dia sutradara. Kenapa pula aktor harus bertanggung jawab atas jalan cerita yang tak ia tahu menahu sebelumnya. Memangnya kenapa wekerku tak mau berbunyi di jam 7 pagi padahal ia telah menjalankan tugasnya dengan baik selama lima tahun jika bukan Tuhan yang menggerakannya? Memangnya kenapa bosku yang biasanya pemaaf dan memaklumiku karena prestasi kerjaku yang gilang gemilang menjadi sadar bahwa etika kerja lebih dibutuhkan ketimbang skill dan akademis, jika bukan Tuhan yang memberinya hidayah dan calon-calon karyawan baru yang lebih kompeten dariku? Memangnya hidayah dari siapa yang menuntunku untuk memilih penerbitan kecil ini dibanding sederet perusahaan multinasional, jika bukan Tuhan yang menggerakan hatiku untuk memilih mana yang menjadi passionku? Memangnya kenapa pacarku yang biasanya asik-asik aja dengan gaya hidupku, mendadak sadar bahwa usianya sudah banyak dan cinta kami saja tak cukup untuk hidup bersama, jika bukan Tuhan yang mengarahkannya pada kesadaran akan dosa dan hidup yang sia-sia? Memangnya siapa yang membuat temanku yang playboy harus menikah sementara aku harus patah hati? 

Sekarang bayangkan, bagaimana ku harus menghidupi hidupku yang sendirian ini setelah ini? Lantas apa yang harus kukatakan kepada orang tuaku di kampung sana mengenai kiriman bulan ini yang absen karena aku tak lagi bergaji? Darimana aku harus mulai mencari pekerjaan baru dan pacar baru untuk memasuki kehidupan baru? Ha? Bisakah Tuhan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan ini?
Kenapa aku tidak boleh menyalahkan Tuhan atas kacaunya hidupku sementara Dia adalah penciptaku? Bukankah Dia penggerak yang tidak digerakkan? Bukankah Dia penyebab awal dan penyebab final atas segala sesuatu? Bukankah Dia hanya memerlukan ‘kun fayakun’ untuk membalik gunung Himalaya dan menjadikannya samudera baru? Lantas mengapa Dia tidak menciptakan skenario yang asik-asik saja untukku?

Aku bertemu dengan tukang sapu di jalan. Ia menguliahiku tentang kehendak bebas yang dimiliki manusia, ketika aku curhat padanya tentang kesialanku seharian ini, dan mungkin beberapa hari ke depan. Katanya, Tuhan hanya mengatur balasan-balasan dari apa yang kulakukan. Aku yang berusaha, Tuhan yang menentukan. Apa yang Tuhan berikan setimpal dengan apa yang telah kulakukan. Ah, omong kosong! Berani-beraninya tukang sapu itu bicara tentang balasan setimpal pada setiap perbuatan kita, sementara dia tak tahu apa yang telah kulakukan hingga di titik ini. Dia tak tahu betapa aku berani mengambil keputusan beresiko di masa lalu, yang tak semua orang berani mengambilnya. Aku berani mengambil keputusan. Seharusnya Tuhan menyiapkan ending yang menyenangkan untuk orang-orang berani sepertiku. 

Seorang ustadz mengatakan aku kafir ketika aku datang padanya dan menyalahkan Tuhan. Ya, terus saja mengafirkan aku. Toh dia tidak mengalami kekacauan hidup seperti yang kualami. Memangnya kepada siapa aku harus meminta pertanggung-jawabkan kehancuran hidupku yang tak bisa kupertanggung-jawabkan sendiri ini selain kepada penciptaku? Siapa yang menciptakan aku? Siapa yang minta diciptakan?

Aku benci menyadari betapa menyedihkannya aku sebagai manusia, hingga terus mencari kambing hitam, karena terlalu pengecut menghadapi perbuatan sendiri. Betapa kecilnya aku. Betapa lemah dan tak diperhitungkannya. Aku benci menyadari bahwa aku menyalahkan Tuhan atas segalanya bukan karena aku selalu benar, tetapi justru karena aku begitu lemah dan selalu salah. Aku menyalahkan Tuhan karena aku terlalu pengecut untuk menyalahkan diriku sendiri. 

Aku begitu mempercayai Tuhan itu Maha Kuasa, dan karena itulah aku menyalahkan-Nya atas segalanya. Silakan kau menyalahkan aku atas pernyataan ini, dan aku akan menyalahkah Tuhan karena membiarkanku mengeluarkan pernyataan ini. Bukankah sudah kubilang, bahwa aku ini manusia lemah yang selalu mencari kambing hitam?


 23.01 WIB
Dalam iringan lagu Utopia, dan
buku sejarah Indonesia

1 komentar:

  1. apple watch 6 titanium - TITanium Art | TITanium Art
    Tinted titanium undertaker with gold, ivory and the natural titanium water bottle color of the revlon titanium max edition cherry. Made trex titanium headphones for the faintest touch of the gold. thaitanium

    BalasHapus