Minggu, Oktober 23, 2011

Recycle

Lalu kutemukan sepotong senyum itu disana. Diantara wajah-wajah asing yang tak kukenali. Senyum itu masih berupa seringaian yang kukenal dulu, yang selalu menjungkir balikkan duniaku, dan membuatku melupakan siapa aku. Siapa aku, dan siapa kamu, adalah factor terbesar dalam cerita ini, adalah actor utama dalam setiap lipatan penyesalan, yang akhirnya berujung pada suatu kesimpulan: Mungkin aku telah benar-benar kehilanganmu.
Kau yang dulu pernah kumiliki. Sebentar, mungkin lebih tepat kalau kukatakan, kau yang dulu KURASA pernah kumiliki. Walaupun kehilangan kedua itu, sama-sama menyakitkan.
Senyummu semakin dekat, menawarkan kedekatan semu. Dan mendadak saja tanganku berkeringat. Melihat senyummu, otakku mendadak berhenti memproduksi hormon entah apa yang biasanya membuatku tenang, membuatku percaya diri. Demi Tuhan, melihat senyummu membuatku gugup.
Dan kau sudah semakin dekat saja. Tulangku terasa kaku. Jika tidak, mungkin aku sudah berlari kabur jauh-jauh sebelum kau sempat melihatku. Dan menghampiriku.
‘Hai!’ sapamu ramah, seolah jutaan waktu perpisahan ini tidak berarti apa-apa.
Aku menjawabmu. Entah apa yang kukatakan, aku tidak ingat jelas.
‘Apa kabar?’
Aku gila. Nyaris gila memikirkanmu selama berbulan-bulan ini. Menyalahkan diriku sendiri karena menyakiti sepotong hati yang kau sodorkan, memarahi diri sendiri karena membohongi semua orang, dan mengutuk diri sendiri karena mendustakan perasaanku sendiri. Dan kau bertingkah seolah kita tidak pernah ada apa-apa?
‘Aku nggak nyangka kamu ada disini. Kupikir kamu nggak mau ketemu aku lagi?’
Demi Tuhan, akupun menyangka begitu! Aku bahkan tak tahu kenapa aku berada di sini, di hari pentingmu. Setelah apa yang kulakukan padamu, dan pada diriku sendiri, seharusnya aku malu bahkan untuk bertatap muka denganmu.
Aku tersenyum salah tingkah. Dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya meraih apa yang dia cita-citakan sejak dulu. Oh ya, sebenarnya aku selalu memperhatikanmu dan apa yang kau katakan. Aku masih mengingat semuanya. Salah kalau kau mengira aku mengacuhkanmu. Lebih salah lagi jika kau mengira aku sama sekali tak mencintaimu seperti yang selalu kukatakan kepadamu, berwaktu-waktu yang lalu.
‘Mau jalan-jalan sebentar?’ tawarmu sambil mengulurkan tanganmu.
Aku mengangguk, menerima ajakan yang selalu kuimpikan namun juga kumunafikan.
Aku teringat berbulan-bulan lalu, entah sudah berapa lama, saat kau datang padaku, menawarkan sebuah ikatan. Apa yang kurasakan? Kau bertanya apa yang kurasakan? Aku tak bisa menjelaskan bagaimana tepatnya, tapi memang itulah yang kuharapkan sejak pertama kali aku mengenalmu. Aku mencintaimu jauh sebelum kau menawarkan hatimu padaku.
Lalu mengapa aku menolakmu, menyakitimu sedalam-dalamnya? Ah, aku tahu alasanku ini sangat tidak masuk akal. Tapi itulah kenyataannya. Aku terlalu pengecut untuk menyandang nama sebagai gadismu, aku terlalu pengecut untuk menyimpan hatimu, dan untuk menitipkan hatiku padamu. Tentu kau menyadari eksistensimu sebagai seorang Rayya. Sebagai seorang laki-laki yang begitu tinggi, begitu agung, dan tak tersentuh. Lalu kenapa kau memilihku? Memilih seorang aku yang bahkan tak memiliki seujung kukupun dari pesona yang kau miliki. Aku benar-benar kerdil, di bawah pesonamu. Aku merasa seperti sebuah cacat yang akan mengurangi keindahanmu jika aku terus-terusan berada di sampingmu. Perasaan ini tak pernah bisa kutanggungkan.
Yah, itulah alasannya kalau kau mau tahu. Betapa menyedihkannya? Betapa pengecutnya?
Lalu setelah aku menolakmu, dengan dalih aku tak pernah mencintaimu, dan kau berbalik unyuk pergi dengan kepala tertunduk serta hati terluka, sesungguhnya saat itu aku juga sedang berusaha memunguti pecahan hatiku yang berserakan. Aku sama terlukanya denganmu. Aku sama sakitnya. Mungkin kau tak pernah tahu tentang bagian ini, tapi, ya, aku bahkan menangis di belakang punggungmu yang kian jauh. Aku ingin memanggilmu untuk kembali, namun seperti ada tangan gaib yang membungkam mulutku.
Aku berdusta pada semuanya. Pada dunia, padamu, dan pada diriku sendiri.
‘Jadi, ada cerita apa aja selama setahun ini?’ tanyamu lagi.
Tanganmu yang hangat masih menggenggam tanganku yang dingin. Membimbingku untuk berjalan-jalan mengelilingi bangunan bergaya renaissance ini.
‘Tentang apa?’ aku balas bertanya.
‘Apa saja. Apapun yang kamu ceritakan akan selalu menarik untuk kusimak, tenang saja.’ Jawabmu.
Aku menghela nafas. Untuk semua kelembutan ini, apakah ini nyata? Ataukah hanya sepercik basa-basi untuk kawan lama?
‘Nggak ada. Nggak banyak yang berubah dari setahun yang lalu.’ Jawabku.
Kau menghentikan langkah. Menunduk menatap mataku. Tanganmu semakin lama semakin dingin. Apakah suhu tubuhku yang rendah sudah menular padamu?
‘Termasuk soal hati?’
Aku terdiam mendengar pertanyaanmu yang terakhir.
‘Hati?’ aku mengulang pertanyaan itu dengan bodoh. Lalu aku menggeleng dan tersenyum. ‘Mungkin untuk yang satu itu nggak akan pernah ada perubahan apa-apa.’
Aku masih mencintaimu. Selalu mencintaimu. Sabagaimana dulu, sebagaimana sekarang, dan mungkin nanti.
‘Jadi bagaimana?’ aku melempar pertanyaan. ‘Yang mana yang memiliki hatimu sekarang?’ aku mengedikkan mata ke araha gerombolan wanita yang memakai seragam yang sama dengan yang kau kenakan. Mereka tampak seperti sekelompok wanita cerdas dan berkelas. Yang sangat tidak sopan kalau dipersaingkan dengan aku.
‘Jangan bercanda.’ Kau menjawab dengan nada dingin, sambil meneruskan langkah, masih menggenggam tanganku. ‘Itu pertanyaan konyol.’ Itu pertanyaan paling penting bagiku. ‘Ngomong-ngomong, kamu belum menanyakan perubahan hatiku? Lupa? Apa nggak tertarik?’
Aku menelan ludah. Untuk apa aku bertanya, bukankah jawabannya sudah pasti? Karena itulah aku justru menanyakan siapa yang memiliki hatinya.
Lalu kau berkata lagi. ‘Kamu bertanya siapa yang memiliki hatiku? Jawabannya sama dengan jawabanmu tadi. Nggak banyak yang berubah denganku sejak setahun yang lalu.’ Kalimatmu berhenti sebentar. Kau tampak menghela nafas panjang, lalu meneruskan. ‘Terutama soal hati, mungkin itu nggak akan pernah ada perubahan.’
Langkahmu berhenti. Langkahku berhenti. Lalu kau menatapku, seperti menuntut. Aku balas menatapmu, dan menghela nafas panjang. Lega. Ini bukan kesemuan belaka. Ini adalah sebuah kepastian bahwa memang belum ada yang berubah.
‘Tapi aku tahu, selamanya ini hanya akan menjadi cerita yang tak pernah selesai. Mungkin selesai, bagimu, tapi bagiku, ini…entah kapan akan berakhir.’
Aku ingin memelukmu. Ingin memelukmu, dan tak pernah melepaskanmu lagi.
Kau tertawa kecil. ‘Yah, intinya adalah, aku selalu mencintaimu, tak pernah berubah. Dan kau tak pernah mencintaiku, tak pernah berubah juga. Indah sekali bukan?’
Air mataku menetes. Satu, dua, tiga, dan mengisak-isak dengan sendirinya. Kau panik, dan bertanya apa kau menyakitiku. Aku menggeleng. Menggeleng. Dan menggeleng lagi. Bukan kau yang menyakitiku, tapi aku! AKU! Aku yang menyakitimu.
‘Kamu tahu, Rayya,’ kataku di sela-sela isak. ‘Hatiku nggak akan bisa berubah. Aku mencintaimu. Sejak dulu, dan nggak pernah berubah sampai sekarang. Maafkan ketololan ini, maafkan…Aku mencintaimu, Rayya…aku mencintaimu…aku sama hancurnya denganmu…’
**************************************************************

Depok, 23 Oktober 2011
01.51 am



P.S Sebuah do’a, sebuah harapan, sebuah mimpi tentang sepotong hati yang kusakiti berkali-kali. Masihkah ada kesempatan ketiga?
#nowplaying: I will be by Avril Lavigne

Tidak ada komentar:

Posting Komentar