Sabtu, Oktober 22, 2011

Senyap bersama kopi dingin

There is someone walking behind you
Turn around, look at me
There is someone watching your footsteps
Turn around, look at me
There is someone, who really needs you
Here’s my heart, in my hand
Turn around, look at me
Understand…understand,
That there is someone who’ll stand beside you
Turn around, look at me
And there is someone who’ll love and guide you
Turn around, look at me
I’ve waited, but I’ll wait forever for you to come to me
Look at someone, who really love you,
Yeah, really love you
Turn around, look at me…                           
(Turn Around, Look at Me--The  Vogues)

Kopi dalam cangkirku sudah mendingin. Tidak ada lagi uap-uap panas yang mengepul dari sana. Genggamanku tak lagi terasa hangat. Rasa dingin justru terpancar dari cangkir bergambar kucing yang tadinya berisi kopi panas itu. Aku mulai kedinginan.
Kusesap kopi hitam yang sudah dingin itu. Rasanya hambar. Tak jauh berbeda dengan air putih. Hanya ada tambahan rasa pahit dan sedikit getir disana. Tapi aku menyukai kopi yang seperti ini. Kopi dingin dan pahit dan getir. Bukan menyukai, tapi lebih karena aku terbiasa dengannya.
Di depanku, kau duduk dengan gelisah. Mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja. Cangkir kopimu sudah kosong. Kau selalu terbiasa meminum kopimu selagi kopimu masih panas. Mengepulkan uap-uap panas ke wajahmu. Membuat hangat, begitu katamu dulu. Ah, tidak. Aku tak berminat mencoba kebiasaanmu. Aku akan mempertahankan kebiasaanku sendiri. Menunggu sampai kopiku sedingin air putih, dan mencecap rasa pahit disana.
Dalam diam, aku menyesap kopiku lagi.
Kau sedang bicara. Bicara entah soal apa. Aku tak mendengarkannya. Sama sekali tak berminat mendengarkannya. Kau sibuk bicara, aku sibuk dengan kopiku sendiri. Kita duduk bersama, tapi sibuk sendirian.
Kau sentuh tanganku yang sedang melingkari cangkir kopi, mencoba membawaku masuk ke dalam kesibukanmu. Aku mengeluh. Hanya dalam hati. Lalu aku pun masuk ke dalam kesibukanmu. Bukan karena aku menyukainya, tapi karena aku terlalu terbiasa dengannya.
‘Dia punya yang lain.’ Katamu.
Aku mendengarkan dengan dahi berkerut. Lalu bertanya, ‘Bukankah kau sudah tau dari dulu? Kenapa baru sekarang kau menegaskannya?’
Kau terdiam. Yah, selalu begitu kelakuanmu. Terkadang aku ingin berteriak, ingin memakimu, ingin menanyakan apa yang sebenarnya sedang kau cari. Kau mencintai dengan segala yang kau punya, kau mengejar dengan peluh bercucuran dan nafas putus-putus, tapi kau juga tau bahwa yang kau cintai dank au kejar bukan hanya tak pernah mencintaimu, tapi juga tak pernah melihatmu. Aku yakin kau sudah tau itu entah sejak kapan.
Kau mencintai sampai kau lupakan duniamu. Kau terlalu sibuk memperhatikannya, sampai-sampai kau tak pernah melihatku. Hei, benarkah itu? Benarkah kau tak pernah melihatku? Pernahkan kau mencoba menyadarinya, sebentar saja. Bahwa ada aku disini, di depanmu, yang selalu menjadi kaset usang yang merekam semua kata-katamu tentang cintamu? Pernahkah kau bertanya-tanya kenapa aku selalu bersedia tersiksa bosan saat harus mendengarmu mengeluhkan segala hal? Pernahkah kau sedikit saja mencari tau tentang aku, aku yang hanya kau ajak bicara saat kau memerlukan kaset perekam? Dan pernahkan sempat terpikir dalam pikiranmu, bahwa aku mencintaimu?
‘Cinta itu bikin sakit hati, ya? Bagaimana mungkin dia tidak tau aku mencintainya setelah apapun yang kulakukan untuknya?’ kau mengeluh lagi.
Bagaimana mungkin kau bisa tidak tau aku mencintaimu setelah apapun yang kulakukan untukmu? Coba jawab pertanyaanku, dan aku akan membantumu memecahkan masalahmu.
‘Apa yang harus kulakukan?’
Ah, akhirnya sampai juga kau pada pertanyaan itu. Ini juga sudah berulang kali kau tanyakan kepadaku. Apa yang harus kau lakukan untuk menghadapi cintamu yang tidak pernah memahami perasaanmu. Namun izinkan aku menanyakan hal yang sama kepadamu. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapimu yang tak pernah memahami perasaanku?
Ah, Rayya, sadarkah kau? Kita ini sama-sama kaset usang yang hanya diperlukan saat seseorang ingin merekam sesuatu.
‘Mungkin sebaiknya kau melupakannya saja.’ Jawabku. ‘Hidupmu terlalu singkat kalau hanya kau habiskan semua waktumu untuk menunggunya untuk  mengerti.’
Saran yang sama juga kutujukan pada diriku sendiri.
Kau termenung. Diam, menatap tanganku yang masih memutari cangkir kucingku. Kopiku masih ada setengahnya.
‘Aku mencintainya.’ Katamu kemudian, dengan mata menerawang jauh.
Dan aku mencintaimu.
Aku masih ingat saat kita pertama kali bertemu. Saat kau menanyakan waktu, dan aku menjawabnya dengan keringat bercucuran. Aku mengenalmu, jauh sebelum kau mengenali dirimu sendiri. Setelah ratusan waktu yang kupergunakan untuk menatapku, untuk menghafalkan semua kebiasaanmu, pada akhirnya kau mendatangiku.
Aku dan kamu mulai tak searah. Aku menujumu, sementara kau mungkin juga menujuku. Itu yang kubisikkan dalam do’aku setiap hari. Kuharap Tuhan mendengarnya. Semoga saja arah kita saling mendekati.
Namun pada hari itu, di suatu senja yang kusam, aku menunggumu di bangunan Belanda ini, menunggumu datang seperti yang kau janjikan. Kau memang datang. Kau tak pernah ingkar janji. Tapi hari itu kau datang dengan membawa sebuah nama baru yang kelak akan sangat kusesali kenapa kau datang hari itu.
Sejak saat itulah, kita mulai searah. Mungkin kita akan selamanya searah.
Jangan bertanya apa maksudnya. Bukankah sudah jelas? Aku menghabiskan seluruh hidupku dengan arah yang menujumu, sementara kau menghabiskan seluruh waktumu untuk menujunya. Aku menujumu, sementara kau menjauhiku dan menuju yang lain. Selamanya akan begitu.
Tapi walau kau menjauhiku, aku tak pernah bisa menjauhimu. Aku tak bisa mengubah arahku, dan itulah yang menjadi kesalahanku. Salahku sendirilah kenapa aku selalu terperangkap dalam bangunan Belanda dengan cangkir kopi dingin, dan kata-katamu yang seringkali membunuh hatiku.
Aku yang menentukan arahku sendiri bukan?
‘Aku tak bisa melupakannya, Dy.’ Katamu.
‘Yeah, kau tak pernah mencobanya.’
‘Bagaimana caranya?’
Aku memajukan tubuh, melepaskan cangkir dari genggamanku. ‘Kau bisa mengabaikannya kan? Coba abaikan dia, dan cobalah lihat yang lain. Kau pasti bisa, Rayya.’
Kau mengerutkan dahi. ‘Tak semudah itu.’
Memang. Sampai sekaranpun aku belum berhasil melakukannya.
‘Tapi kau bisa mencobanya pelan-pelan…’
Kau melambaikan tangan, memutus kalimatku, karena bunyi ponselmu terdengar mengganggu. Kau menatapku sejenak, sebelum menjawab panggilan dengan ringtone khusus itu. Matamu terlihat berbinar, sekaligus terlihat pasrah. Bahagia, sekaligus menderita. Itu ekspresimu setiap kali bicara dengan cintamu.
Aku menggigit bibir. Menyadari bahwa pembicaraan ini masih saja sia-sia. Kuraih cangkirku kembali. Mencecap rasa pahit dan dingin, yang bukan kusukai, tapi kubiasai.
Kau masih sibuk dengan ponselmu yang menyeru-nyerukan nama cintamu. Aku sibuk memunguti kepingan hatiku yang hancur, entah untuk yang keberapa kalinya. Lagi-lagi kita duduk bersama, tapi sibuk sendirian.
Mungkin akan selamanya begitu.
*************************************************************
Depok, 01/10/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar